Malam itu sangat lelah. Pukul 22.00 lebih, saya berniat
makan terlalu malam. Akhir-akhir ini karena kebutuhan sayuran kurang, akhirnya
saya beli capcay—karena memang penggemar capcay, banyak titik penjual capcay di
Jogja yang pernah saya datangi dan saya bisa membedakan rasa hingga tekstur
dari penjual capcay A hingga penjual capcay M.
Salah satu penjual yang pernah saya datangi dan masakannya
enak, ada di daerah Brimob, depan masjid Brimob kalau mau ke arah Stadion
Mandala Krida. Dekatnya ada burjo. Saya suka datang ke sana karena selain
rasanya enak tadi, juga masakan di sana tak pakai garam dan micin. Rasa asin
didapat dari minyak ikan. Sebab kebanyakan garam kata Bapak penjual yang saya
belum sempat menanyakan namanya akan menyumbat pembuluh darah dan kalau micin
Anda tahu sendiri risikonya. Ditambah, Bapak penjualnya sangat sopan dan ramah.
Warung buka sekitar habis magrib hingga pukul 1 atau dua pagi. Satu porsi
sekitar Rp15.000 (lumayan mahal untuk ukuran Jogja, apalagi freelancer kere seperti saya).
1 Oktober 2018, Bapak itu mengajari saya banyak hal terkait
hidup. Beliau korban gempa tahun 2006. Rumahnya di belakang warung, karena
rumah asli telah porak poranda. Beliau menderita komplikasi syaraf terjepit di
bagian tangan dan leher, stroke di kepala bagian kiri, dan penyakit yang
diakibatkan karena kesalahan fisioterapi. Beliau sering berobat di RS Bethesda
dengan menggunakan BPJS. BPJS kata beliau juga sekarang rumit karena beda
penggolongan. Tapi sangat membantu karena sekali berobat bisa habis 1-2 juta,
apalagi ditambah obat sing ora majas banyaknya.
Beliau bukan alergi obat, tapi kebanyakan obat tidak baik untuk tubuh. Di
tengah umur beliau yang tak lagi muda, untuk urusan makan dia sangat selektif. Apalagi
urusan hidup. Beliau lebih mementingkan EQ daripada IQ.
Kami membahas Jogja pula yang saat ini dipenuhi banyak
hotel. Hotel yang sejatinya tidak disukai oleh masyarakat dan investor lokal.
Sebab investinya terlalu tinggi dan masa balik modal (break down) lama, hingga 50-an tahun. Sedang investor lokal tak
kuat dengan semua itu. Hotel yang sudah berbintang dan banyak lantai, pasti
sudah bisa dipastikan itu ada investor asing di dalamnya. Di level menengahnya,
tumbuhnya kos dan penginapan menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel. Dulu
yang awalnya kos minimal setahun atau bulanan, sekarang harian pun bisa.
Apalagi di musim-musim wisuda ketika banyak keluarga hadir. Didukung oleh
ekosistem Jogja sebagai gudangnya universitas di Indonesia. Sehari Rp200.000
sudah menjadi angka yang lumayan.
Hidup sejatinya adalah “menunggu/antri mati”. Untuk menempuh
hidup dan mati, butuh namanya “sangu” (bekal)—sangu urip karo sangu mati. Hidup hari ini adalah sebab dan akibat
dari kemarin. Apa yang disebut karma adalah apa yang kita tanam. Kalau yang
kita tanam baik, niscaya karma juga akan baik. Kalau nanam hal yang tidak benar, tukulnya juga akan seperti itu. Hakikat
kebahagiaan menurut beliau adalah “merasa bersyukur” (urip sing sumeleh, andhap ashor). Tak perlu minder dengan keadaan
semisal (si Bapak menunjuk saya) sudah sarjana kok kerja masih pakai sepeda.
Nilai utama hidup adalah “kejujuran”. Tanpa kejujuran orang
tak akan dipercaya. Apalagi pada orang yang suka senggol sana dan senggol sini, wis
ora ono ajine. Beliau mengajari nilai kejujuran pada anaknya ini pada umur
yang masih sangat kecil. Anak kalau mengambil uang Bapaknya tanpa bilang sekecil
apa pun itu, pasti Bapak akan marah. Tapi kalau bilang dan lagi ada uang pasti
diberi banyak. Sebelum saya datang, Bapak itu juga kedatangan pembeli dari
India. Sempat curhat juga terkait kejujuran pekerja India itu di McMohan, Jalan
Solo.
Semakin banyak diberi titipan maka tanggung jawabnya juga
semakin besar. Entah titipan harta, kecerdasan, dan lain-lain. Cara
mengungkapkannya dengan berbagi. Beliau mengisahkan ada seorang pengemis di
Prancis yang suatu hari mendapat hadiah lotre yang sangat besar. Uang itu tak
dia gunakan sendiri, tapi sekitar 20%-nya diamanatkan untuk diberikan pada
sekaumnya. Karena dia sadar uang itu tak sepenuhnya menjadi hak dia. Beliau
juga menyinggung Bill Gates yang kayanya minta ampun tapi uangnya juga
digunakan untuk kegiatan sosial.
Jogja, 1 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar