Adalah daya tahan yang bisa
membuatku kuat mengakrabi bayanganmu hingga sekarang. Aku sangat tahu jika kau
tak hidup di langit. Mendirikan gubug reyot di sana, sambil ditemani
capung-capung yang duduk riang di tangan. Lalu hujan tak menakuti apapun
kecuali keinginan untuk berdamai dengan manusia-manusia di seluruh bumi. Kau
begitu menyayangi gerombolan itu daripada kau menyayangi diri sendiri.
“Apa yang kokoh akan tetap bergerak,” katamu membisikiku yang saat ini mulai
kehilangan arah menjalani hidup. Kau tahu, kadang aku ingin mati saja saking
membosankannya dunia ini. Tapi tiap kali mendengar kau bernyanyi, seluruh saraf
seperti bertunas lagi. Sebahagia kau melihat jutaan bunga bermekaran di langit.
Ini perjalanan yang masih panjang, hingga berumur
sekarang. Usiaku sudah 25 tahun dan usiamu 40 tahun. Aku mengenalmu di umur 19
tahun. Dan selustrum lebih aku mengenalmu dengan sangat baik. Kau jauh, sangat
jauh. Namun sekali lagi, diri ini selalu bahagia meski hanya berteman dengan
bayangan dan suaramu. Kamu kadang menjelma ekstasi yang membahagiakan.
Dengan bekal kebahagian setiap orang bersinar. Kau
pun mungkin di sana telah bersinar dengan istri yang tak pernah kau
publikasikan dan kedua anak lelaki yang lucu-lucu. Aku sering membayangkan
bagaimana kalau aku saja yang menjadi istrimu? Aku saja yang menggantikan dia,
sebab kau terlalu pelit memberi kisi-kisi bagaimana rupa dan karakter istrimu
itu sampai-sampai kau mempersuntingnya? Aku sangat iri dengan perempuan itu.
Berani-beraninya dia!
Saat aku kalut dengan teman-teman, keluarga, dan
masa depan, aku selalu mereka-reka seandainya kita hidup bersama. Di sebuah
desa yang sejuk di pedalaman Switzerland. Mendirikan rumah di tepi danau dan
pegunungan, membuat taman bunga yang indah di halaman, dan setiap malam minggu
kita bernyanyi bersama membawakan lagu karsamu sendiri. Lagu yang selalu tulus
kudengarkan tiap kali menangis.
Oya, tentang kedua anakmu. Entah kenapa aku begitu
menyukai mereka, seperti halnya kau pada mereka. Rasa itu tumbuh mungkin berkat
kebiasaanmu mengunggah foto-foto mereka yang tengah bermain ke Instagram—tapi
kau tak pernah mengunggah foto istrimu. Foto saat mereka bermain sepeda, foto
saat mereka bermain di tepi sungai, foto saat mereka ada di pelabuhan, atau
video singkat saat mereka tertawa. Teknologi sekarang benar-benar mendekatkan
aku denganmu, dan aku dengan anak-anakmu. Mereka sangat lucu, seperti impian
anakku di masa depan, memiliki anak laki-laki yang seceria mereka. Sungguh, aku
ingin sekali mengajak mereka bermain dan berlari-lari.
Langit yang menaungiku masih biru, jalan di depan
masih panjang, dan aku masih duduk di bawah Ficus religiosa ini, pohon Bodhi di Taman Sepi ini.
Menyandarkan bahu di sana, memikirkan beban-beban yang mengepung dari berbagai
sisi, merasa tak punya siapa-siapa. Aku merasa tak ada manusia tempat
berpulang, selain berpulang kepadamu.
“Kau terlihat sangat abu-abu. Bagaimana kabarmu?”
tanyamu yang tiba-tiba saja datang di hadapan mengenakan kaos putih polos,
celana pendek hitam selutut, dan topi semacam baret hitam khas itu. Gayamu yang
paling orisinal.
“Biasa saja.” Jawabanku yang sinis membuat bibirmu
tersungging ke atas. Ah, kenapa matamu begitu manis ketika kau tersenyum? Aku
tak kuat menatapmu kalau kau begitu. Pandanganmu lalu kau lemparkan ke awan
yang membentuk lukisan absurd itu.
“Sebentar lagi hujan,” kau meramal dengan
bahagia.
“Sebelum hujan, maukah kau mendengar cerita?”
“Ceritalah, bukankah aku selalu setia mendengar
apapun ceritamu?” Tanganmu memainkan daun-daun Bodhi berbentuk hati sempurna yang jatuh. Kulihat lagi
wajahmu, kau tak seperti pria berumur 40 tahun, kau seperti seumuran denganku.
“Hari ini aku sangat sibuk.”
“Sibuk apa?”
“Sibuk hidup, memikirkan tanggung jawab ke pencipta
alam, berdiskusi, bersosialisasi, datang ke pertemuan yang tak penting-penting
amat, membaca buku yang tak perlu-perlu amat, menulis hal yang tak
berguna-berguna amat, mengurus media sosial yang tak signifikan-signifikan
amat, bertemu dengan orang-orang yang selalu bercerita tentang dirinya sendiri,
apalagi?”
“Hidupmu bagaimana?”
“Aku gagal menjadi manusia yang teratur. Gagal dapat
predikat sukses. Sampai aku tua begini, nasib tak pernah jelas,
tersengkrah kayak media sosial. Sedang usia meninggi, masyarakat menekan untuk
selalu bekerja, syukur-syukur menjadi orang yang mapan, agar bisa membantu
mereka yang kekurangan. Rasanya, tak ada yang benar pada pola hidupku.” Nafas
berat, kuhirup nafas dalam-dalam. “Ah! Kenapa aku tak pernah bisa mandiri dan
jarang berhasil!? Aku seperti tak ada gunanya untuk masyarakat dan orang di
sekitar.” Aku menundukkan wajah ke bawah, tak terasa air menetes sedikit.
“Apa itu yang membebanimu?”
Kepala mengangguk lemas.
“Aku juga menderita ugly complex. Selalu
merasa bahwa aku ini jelek. Tak ada orang yang mau dekat-dekat. Pola komunikasi
pun buruk.”
Kamu tak menanggapi. Tanpa angin, tanpa suara, tanpa
bayangan. Kita saling berdiam diri.
“Bagaimana kabar istrimu? Anak-anakmu?” tanyaku
memecah kesunyian. Pertanyaan itu hanya kau jawab dengan mengangkat bahu ke
atas. Seolah kau sadar, bukan itu pertanyaan sesungguhnya. Bukan anak
istrimu yang kugelisahkan, tapi id, ego tanpa superegoku yang
lain. Aku tengah bolong. Kau jawab pertanyaan dengan pertanyaan:
“Kenapa kau bisa berbicara banyak tentang masalah?
Kenapa kau menganggap dengan mudah bahwa dunia ini beban?” Pertanyaan dinginmu
membuat tergagap. Aku lalu menutup mata, sepertinya aku telah melupakan
sesuatu. Kucari-cari itu di kepala. Kucoba mengendapkan sesuatu yang tercecer
di sepanjang jalan nafas.
“Tak ada rumah untuk semua kebijakanku. Banyak
tempat untuk luka. Aku berjalan sendiri ke semua tempat, ke semua kejadian, ke
semua sisi.”
“Apa yang kokoh akan tetap bergerak.” Kudengar lagi kalimatmu yang itu. Kau
seperti tak memberi jawaban.
Kulihat dua kelinci berlari di sekitar kita dengan
bahagia. Bermain-main saling mengejar. Kelinci itu mengenai sebuah bunga yang
belum pernah kulihat sebelumnya. Aku langsung teringat dengan filosofi benih
dalam lirik lagumu, yang isinya semua berawal dari benih tak terlihat yang
setiap orang buang. Benih itu terus tumbuh, dan tanpa sadar benih akan tumbuh
menjadi beragam bunga yang tak pernah kita sangka sebelumnya.
Aku lalu menatapmu dengan sangat erat di bawah pohon
itu sangat lama. Tatapanmu seperti mematahkan kaki. Lalu aku menangis
sejadi-jadinya tanpa sebab.
“Kuat,” katamu menepuk-nepuk pundakku. Kita saling
menatap. Aku hanya mengangguk pelan. Akhir-akhir ini aku nyaris gila. Kepala
batuku muncul lagi, sekuat apapun wacana di luar menggempur. Faktanya aku
sangat lemah kala dikecewakan kenyataan.
“Maaf ya,” aku mengucapkan kata-kata kosong.
Bayanganmu menghilang. Hujan tiba-tiba jatuh
kecil-kecil, aku berlindung di bawah pohon dan menggigil sendirian di sana. Aku
lalu menayangkan ulang masalah-masalah yang tak berkelas di kepala. Apakah aku
bodoh?
“Bagaimana aku bisa jadi manusia berguna kalau sifat
dan sikap seperti ini?” Pertanyaan tiba-tiba mengepung. Air hujan telah
menembus dedaunan. Tak deras tapi cukup membuat basah.
Aku melihatmu berjalan ke arah langit membawa cat
warna warni. Kamu melukis pelangi di langit. Pelangi yang tipis. Kau buat
dengan sangat anggun. Hujan berhenti pelan-pelan dan matahari menyembul dengan
sangat malu-malu, sinarnya semakin membuat pelangi itu berklilau-kilau. Kamu
pun pergi lagi.
“Semoga
keindahan ini cukup menemani jalanmu,” kudengar suaramu menggema di seluruh
langit. Ribuan bunga-bunga warna-warni berjatuhan dengan lembut dan alunan
musikmu memenuhi semestaku.
--Isma Swastiningrum. 05102017.--
Top!
BalasHapusTerima kasih telah membaca, Mbak/Mas ☺
Hapus