Butuh usaha yang sangat payah untuk meringkas ingatan. Sudah terlalu banyak logika manusia berhamburan mengkonstruksi logikaku. Membentuk diri dan lakuku yang an-otentik. Diri terbelah yang selalu
berhasrat untuk memenuhi yang lain. Ini permainan yang sungguh membuat capek.
Terlalu banyak kata 'terima kasih' dan 'maaf' beramburan untuk mewajarkan kenyamanan. Sedang aku tak pernah dididik bagaimana melawan musuh dengan benar. Malah lingkungan memintaku untuk mendoakan mereka. Tidak bagaimana melawan dengan tindakan? Musuh menang dan aku masih berusaha bagaimana menyusun metode perlawanan. Atau sekedar bagaimana agar tidak keterlaluan mengkasihani diri sendiri--ini benar-benar menjijikkan.
Ya, ada 'bayaran yang tak tampak' di balik kata terima kasih. Dan ada 'apologi' di balik maaf. Aku tak mau mewajarkannya. Sebagai manusia yang sebenarnya tak punya apa-apa, secara natural aku telah memutuskan: aku tak butuh 'terima kasih' dan 'maaf' dari siapapun. Semua hal aku kembalikan pada diriku.
Aku tak melarang orang mengatakan 'terima kasih' dan 'maaf'. Aku hanya melarang ketidaktulusan dan ketidaksungguhan. Aku tahu, 'terima kasih' dan 'maaf' yang benar dapat mengubah orang. Pun jika aku mengatakan itu, aku harus bekerja keras, agar 'maaf' dan 'terima kasih' ku tak sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar