Bahkan saat aku tak menyapa-Mu, kita sudah bercakap dalam diam. |
Habis rapat redaksi di Arena,
sekitar jam 19.35 WIB, saya keluar menuju gelanggang untuk nonton produksi
Teater Eska ke XXXII. Kamis kemarin saya sudah pesan 2 tiket sama Mas Zulfan
(anak Sanggar Nuun) tapi tidak ketemu dia lagi. Beruntungnya, dapat tiket
gratis dari Mas Robi Arena (terima kasih Mas Sabiq, loh?).
Seperti hawa-hawa pementasan.
Ngisi daftar tamu trus nulis nama disana. Saya masuk sendirian (sebenarnya tadi
bareng Jevi, entah dia kemana). Setelah masuk gelanggang, saya memilih duduk di
tangga ke dua dari belakang. Disitu saya menikmati peran saya sebagai
“penonton”. Saya sengaja tidak membuka-buka bookleaf
yang dibagikan panitia. Alasan pertama, kalau saya tahu nama para aktornya dan
saya kenal, saya bisa menelanjangi kelemahan mereka satu-per satu sekaligus
mengurangi keobjektifan saya. Kedua, saya sengaja tidak ingin membaca sinopsis
(yang mungkin dihadirkan dalam bookleaf
itu), biar surprise.
Setelah menunggu sambil observasi
keadaan. Akhirnya, Kang Amin sang MC keluar. Setelah menjelaskan gambaran
proses dan ucapan terima kasih, lampu mati. Cerita dimulai…….
Seorang kakek berpakaian putih
berjanggut lebat berdiri di tengah panggung. Ia berada dalam kurungan (yang
dalam konteks ini mungkin itu labirinnya) dan bermonolog, yang saya tangkap ia
sedang gelisah menanyakan Tuhannya. Di luar kurungan, banyak orang ber-riwa-riwi berjalan membawa mawar merah.
Pakaiaan mereka beragam, mungkin ini simbol kemajemukan hamba Tuhan yang mereka
sama-sama bingung mencari bolak-balik Tuhanku dimana? Tentang Mawar merah,
bukankah itu simbol cinta?
Lalu, seorang aktor wanita
berkerudung biru (sebut wanita satu) sambil membawa payung ia bertanya tentang
Tuhannya. Ada beberapa dialog yang saya ingat kira-kira begini: Sejak dalam
kandungan aku mengenal-Mu, sejak kecil orang tuaku mengajariku menyebut-nyebut
nama-Mu, belajar kitab-Mu, mengenalkan makhluk suci tanpa nafsu bernama
malaikat, dan menyembah-Mu. Lalu Kau
dimana?
Pertanyaan yang sama dilontarkan
dengan tiga aktor lain yang habis melakukan simbol solat, wirid, dll (yang juga
membawa payung dan tas panjat gunung), lalu mereka melalui perjalanan
spiritualnya masing-masing mereka melakukan perjalanan. Kenapa mereka bawa
payung? Asumsi saya, payung adalah simbol rumah. Nah, di tengah perjalanan itu
panggung diisi dengan banyak adegan. Pemetaan saya seperti ini:
Adegan seorang mencuri komputer,
lalu bentrokan terjadi. Berganti dengan aktivitas manusia sehari-hari dengan
alatnya masing-masing seperti panci, bak sampah, boneka yang digantung-gantung
sambil kutangkap satu nilai: manusia-manusia ini sama-sama bingung. Seorang aktor
wanita berpakaiaan merah (sebut wanita dua), ia datang bermonolog dan
membersihkan barang-barang yang ditinggalkan manusia-manusia bingung tadi.
Lalu, sebuah suku primitif gitu
dihadirkan di atas panggung. Sang pencari Tuhan bermonolog, siapa Tuhan mereka?
Ada satu pertanyaan yang membuatku mengganjal: Tuhan, pernahkah Kau cemas?
Lalu adegan perang. Antara dua
kerajaan gitu, sebut kerajaan putih dan merah (karena pakaian mereka putih dan
merah). Dari kerajaan merah senjatanya bambu runcing dan kerajaan putih pedang
yang gedhe banget. Dua kerajaan ini perang, lalu satu persatu aktor pencari
Tuhan bermonolog, dan aktor yang menjadi latar bergerak statis. Disini seolah waktu
berhenti berputar, lalu manusia dari dunia lain datang dengan kegelisahannya.
Saya jadi berfikir tentang mati. Saya membayangkan, latar-latar itu adalah masa
lalu saya dan aktor yang bermonolog adalah saya yang sadar bahwa ‘dulu aku
begini ya?’.
Lalu hal yang paling menarik dan
paling saya suka dari semua setting adalah
saat panggung dilempari banyak botol/kaleng dari arah kedua sayap dan
atas panggung. Di tengahnya kalau ada orang bilang will you marry me pada kekasihnya? Romantis sekali #LOL. Lalu
datang aktor pencari Tuhan dan aktor latar yang berjalan mundur. Saya duga ini pemutar balikan waktu. Aktor
pencari Tuhan bertanya-tanya lagi.
Masuklah dua orang penari gitu.
Lalu tiba-tiba dengan lucu dan kontrasnya
seorang penyanyi religi (wanita) datang dengan single religinya “Tuhan Yang Maha Keren” konser dengan pemain musik dan penonton-penonton yang membawa bendera.
Lalu keluarlah semacam satpol PP mengamankan penonton, terjadilah bentrok.
Penyanyinya memaksakan diri menyanyi, lalu semua pergi. Hebat, bisa
menghadirkan ironi yang dibungkus keren kayak gini, haha. Menurut saya ini
realitas sekaligus kritik terhadap musik di Indonesia dan sikap penonton yang
tidak dewasa dalam pertunjukan konser. Nilai poin-nya adalah “religi’nya itu
lho.
Diteruskan dengan masuknya para buruh yang menggendong karungan goni berisi beras ntah apa di dalamnya lalu dikumpulkan di sisi kiri panggung, lalu ada orang mati dalam tumpukannya (mungkin ibarat tikus mati di lumbung padi). Datanglah aktor lagi, dia tinggi dan berbicara lagi mengenai kebobrokan sekarang. Aku nggak ingat bagaimana dialog persisnya, aktor itu bilang: …….. adalah gabungan dari kesalahan-kesalahan. Ia juga mengatakan kalimat yang ditulis di tiket, leaflet, pementasan…
Diteruskan dengan masuknya para buruh yang menggendong karungan goni berisi beras ntah apa di dalamnya lalu dikumpulkan di sisi kiri panggung, lalu ada orang mati dalam tumpukannya (mungkin ibarat tikus mati di lumbung padi). Datanglah aktor lagi, dia tinggi dan berbicara lagi mengenai kebobrokan sekarang. Aku nggak ingat bagaimana dialog persisnya, aktor itu bilang: …….. adalah gabungan dari kesalahan-kesalahan. Ia juga mengatakan kalimat yang ditulis di tiket, leaflet, pementasan…
“Yang pasti bukan permainan kartu atau dadu.
Melainkan permainan yang ada dalam dirimu
sendiri.
berani hidup ialah kesediaan bermain.”
Lalu sang kakek tua dalam
kurungan yang muncul di depan datang lagi. Ia bebas lalu kurungan dari atas
mengurungnya lagi. Lampu mati. Pentas pertama usai.
Para Aktor dan Tim Kerja |
Episode satu ini masih menggantung menurut saya. Yang ingin saya
analisa tentang kelemahan, kelebihan, dan pesan kesan yang saya dapatkan dari
sudut pandang saya pribadi. Kelebihannya, pementasan ini menurut saya
digarap dengan ‘rapi’. Itu saya lihat
dari keluar masuk aktor yang enak dilihat, tidak saling menutupi, titik foskus
tidak saling mengaburkan, move-move-nya
juga keren. Hebatnya, ini adalah pentas pertama yang saya tonton tanpa blackout. Eska bisa mensiasati itu
dengan sangat menarik. Musiknya sendiri, saya suka pas bagian perang. Gila,
menghentak banget dan membuat takut. Apalagi pas di awal perang, rasanya kayak kamu
sedang tidur trus drum yang besar jatuh tepat di kupingmu. Untuk keaktoran, saya sih yes.
Kelemahannya mungkin, kostum
(di aktor tertentu) terlalu dipaksakan. Apalagi dua wanita pencari Tuhan itu. Nyambung nggak sih bawa
tas gunung (carrier) yang segedhe itu
tapi bajunya kayak mau pergi ke pesta? Sandalnya jinjit? Kerudung hijaber seperti itu? Mengalahkan penyanyi religi yang menurutku
nggak begitu glamor? Catatan juga, set panggungnya
kok menurut saya kurang ya? Akan lebih menarik kalau di bagian-bagian tertentu setting-nya dibuat jelas, ini sedang
dimana sih? Kadang-kadang (di bagian tertentu) saya membaca, tidak jelas
latarnya dimana. Apa karena efek dari non
blackout? Juga di bagian-bagian tertentu musik belum menimbulkan kesan
mistis. Ini saran saja (bisa diterima/ditolak/disanggah)…
Mengenai pesan kesan. Pesan
yang saya dapat setelah pulang, sesuatu
apa pun itu akan terjawab “karena aku mencari, karena aku melintasi”. Pun juga,
Tuhan itu kalau dalam bahasa jurnalistik bukan 5W+1H, bukan siapa? apa? kapan?
dimana? Mengapa? Bagaimana? Dia tidak dapat kita jangkau meski dengan pikiran kita yang memukau
sekalipun. Saya jadi teringat pertanyaan teman sekelas saya yang bertanya: “Tuhan itu demokratis atau otoriter?” Lalu guru itu menjawab, “Tuhan bukan
kedua-duanya. Karena bahasa Tuhan tidak sama dengan bahasa kita, manusia”. Kita adalah
pecahan-pecahan yang menunggu dan mencari, bergerak kesana-kemari. Manusia akan
terus memburu-Nya. Terus memburu-Nya.
Ya, setiap pentas teater
memberikan kesan tersendiri, yang menjadi alternatif lain di tengah benturan
budaya elektronik. Meski amat disayangkan teater hanya ada di kota-kota besar
saja. Tidak saya temui teater di desa saya, pun di kota saya.
Baiklah, kita saksikan episode
kedua “Labirin Retakan Bayang-bayangmu” malam ini 1 Juni 2014 bertepatan dengan
hari kelahiran pancasila jam 19.30 di gelanggang teater eska UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar