Bangunan itu
kini tak seperti dulu lagi. Bangunan yang dulu bekas warung kopi dan makan
tempat orang kecil dan pegawai nakal serta pengangguran biasa mangkal, kini
menjadi restaurant yang ramai.
Ku ingat delapan tahun yang lalu…
Saat SD dulu, saat aku berangkat
atau pulang sekolah selalu lewat warung itu. Di sampingnya berdiri kokoh
bangunan gedung pemerintah yang tak boleh seorang gembel pun masuk. Di depan
warung itu ada pipa-pipa panjang berdiameter 20-30 cm. Di bawahnya ada selokan
berair jernih yang banyak ikan mliunnya. Dulu, aku dan temanku sering lewat di
atas pipa-pipa itu untuk menguji keberanian, kadang pula saat pipa itu bocor,
air keluar menyumbar ke atas. Kami bermain-main dengan air itu, tak jarang kami
sampai jatuh ke selokan berjarak satu meter di atas kami. Mbah Tumbu pemilik
warung itu dengan suara yang cempreng dan keras sering memarahi kami, tak
jarang Mbah Tumbu membentak nama orang tua kami di depan pelanggannya yang
seolah menunjukkan orang tua kami tak becus mendidik kami. Sampai di rumah pun
ibu memukul pantatku dan menjewer kupingku sambil berceramah yang tak ku tahu
ibu bicara apa.
Mbah Tumbu tinggal dan bekerja
sekaligus di warung kecil itu, bersama seorang pegawai bernama Raminah,
tetangga dekat rumahku. Mbah Tumbu hidup sendirian di warung itu, tak bersuami
dan beranak lagi. Pernah suatu hari ku tanya pada ibu dimana keluarganya? Ibu
bilang suaminya meninggal karena lumpuh 15 tahun yang lalu saat aku belum
lahir. Ia punya anak satu yang sekarang minggat entah kemana meninggalkan Mbah
Tumbu yang saat itu hidup serba kekurangan. Ia membangun dari nol rumah
kecilnya itu menjadi sebuah warung. Kondisi Mbah Tumbu sendiri juga tidak
sehat, obesitas yang dideritanya membuatnya sedikit melakukan pekerjaan dan
menggantungkan semua pekerjaannya pada Raminah. Suami Raminah kerja serabutan
dan parahnya suaminya sering judi, togel, dan mabuk, saat ia dapat uang dari
hasil kerjanya sebagai pemain ludruk. Anak pertama Raminah pun minggat entah
kemana karena terjadi percekcokan dengan anak dan suaminya itu. Dan kini dia
tinggal dengan anak bungsunya teman sebayaku dan teman mainku bernama Sularsih.
Saat kelas satu SD dulu kami mendaftar bareng, tapi dia terpaksa tidak naik ke
kelas empat karena tak masuk sekolah terlalu lama disebabkan saat naik sepeda
motor dengan ibunya kakinya terjebak dalam jeruji roda sepeda motor yang
membuatnya kehilangan jempol kaki bagian kiri dan sedikit berjalan pincang
hingga sekarang.
Aku ingat saat
aku kelas lima SD dulu ibu menyuruhku membeli sayur dan lauk di warung Mbah
Tumbu, karena waktu itu ibu sakit dan tidak masak. Di depan warung itu ada
empat orang bermain karambol, di samping pojok dekat mencuci piring dan tempat
sampah ku lihat 23 orang sedang berjudi, dan di sebelahnya berserakan kulit
kacang dan beberapa botol arak. Aku sangat takut masuk ke warung, tapi ku
beranikan diri.
“Kopi satu
Mbah,” seorang pegawai kantor saat masih jam kerja memesan kopi, ia keluarkan
rokok dari sakunya, ia naikkan kaki ke kursi, dan mulai menyalakan rokok. Asapnya
menyembur bau ke mukaku. Aku batuk-batuk, diam memandang Mbah Tumbu.
“Golek opo Nduk (Cari apa Nak),” suaranya
yang keras menggetarkan tubuhku.
“Jangan lodeh kaleh tempe goreng sekawan
(Sayur lodeh dan tempe goreng empat),” kataku pelan.
“Entheni sidhiluk yo Nduk, jangane durung mateng
(Tunggu sebentar ya Nak, sayurnya belum matang)”
“Inggih (iya),” aku menunggu di bangku
dekat tukang becak yang sedang makan. Ku perhatikan kondisi warung itu.
Kepalaku tiba-tiba pening. Raminah datang membawakan kopi untuk pegawai kantor
tadi, perhiasan imitasi melekat dengan jelas di telinga, leher, tangan, dan
jarinya. Wanita paruh baya itu dikenal orang yang glamour dan suka bergosip.
“Niki Mas (Ini Mas),” katanya dengan
lembut, Raminah duduk sebentar dan bercakap-cakap. Setelah itu kembali ke
dapur. Di luar kata-kata kotor dan hujatan karena kalah judi terdengar berisik
di telingaku yang seolah tidak aku dengar. Di seberangku duduk buruh bangunan
dan tukang dokar tengah mengeluh karena tiap hari kebutuhan pokok mengangkasa
dan sialnya togel yang dipasang tadi malam tidak tembus.
Tiba-tiba aku
terkejut saat rambutku yang panjang dibelai seseorang, aku refleks memukul
tangannya.
“Iki anak’e sopo toh Mbah, ayu tenan (Ini
anaknya siapa Mbah, cantik sekali),” wajahnya yang berewok penuh bulu tersenyum
manis di depanku.
“Wis, ojo diganggu, mundhak nangis engko. Iku
anak’e Mihardjo (Sudah, jangan diganggu. Membuatnya menangis nanti. Itu
anaknya Mihardjo),” kata Mbah Tumbu menyebutkan nama ayahku.
“Woalah, pemborong ko Solo iku yo. Cah ayu
sopo jenengmu? (Oh, pemborong dari Jogja itu ya? Anak cantik, siapa
namamu?)”
“Gal.. Galuh..”
kataku gemetar, dia senyum lagi.
“Lek cah iki wis gedhe, tak pek bojo mengko
Mbah, hahaha.. (Kalau anak ini sudah besar, aku jadikan istri nanti Mbah,
hahaha..),” katanya sambil tertawa pada Mbah Tumbu, aku semakin tambah takut,
aku ingin menangis.
“Bojomu iku lho diurusi ndisik, ora usah
nambah manih. Cah ayu ngene ki gak pantes karo kowe. Karo anakku ae yo Luh,”
kata Mbah Tumbu manis padaku, aku semakin tak mengerti.
Pria berewokan
itu mendekati Mbah Tumbu, ku perhatikan gerak-gerik mereka yang tengah
mengobrol hal serius.
“Anakku..” sayup
ku dengar suara Mbah Tumbu dengan wajah berseri.
“Nang ndi Yo?? (Dimana Yo??)” ku dengar
suara Mbah Tumbu lagi. Tiba-tiba di luar terdengar jeritan keras.
“POLISI!!
POLISI!!! BUBAR!!! BUBAR!!!”
Semua orang
kalang kabut melarikan diri. Aku meringkuk sembunyi di bawah meja memeluk
lututku, sambil ku alirkan air mata tak bersuara. Bau arak, bau rokok, bau sampah
busuk di kolong meja sudah tak ku rasakan lagi. Semua sibuk mencari
perlindungan. Suara sirine raungan mobil polsi jelas semakin jelas terdengar di
telingaku. Suara itu berhenti, ku dengar derap sepatu pantofel memasuki warung
Mbah Tumbu. Aku semakin meringkuk ketakutan, tiba-tiba sepatu itu ada di
depanku. Ku menahan nafas, sepatu pantofel itu pergi, suara raungan terdengar
lagi, tenggelam, tenggelam, dan hilang. Aku menangis terisak-isak, tiba-tiba
seseorang menemukanku dan memapahku ke atas kursi.
“Wis Nduk gak usah nagis (Sudah Nak, tak
usah menangis),” tangannya yang besar mengusap air mataku. Refleks aku
memeluknya. Tiba-tiba Raminah datang dengan nafas terengah-engah.
“Mbah Tumbu.
Mbah! Waluyo mati ditembak polisi!”
Mbah Tumbu kaget
dan berteriak, “OPO!! Waluyo mati!!” nafas Mbah Tumbu tersenggal-senggal.
“Mbah.. Mbah.. kenek opo? Luh, tulong ewangi
nggowo Mbah Tumbu ning kamar (Mbah.. Mbah.. kenapa? Luh, tolong bantu bawa
Mbah Tumbu ke kamar),” Raminah dan aku memapah Mbah Tumbu membawanya ke kamar.
Raminah
meminumkan air putih ke Mbah Tumbu.
“Anakku..
anakku.. anakku..” kata Mabah Tumbu
“Anakmu kenek opo Mbah? (Anakmu kenapa
mbah?)”
“Anakku Nah, mau Waluyo ngerti anakku nang
endi (Anakku Nah, tadi Waluyo tahu anakku ada dimana)”
Ternyata selama
sepuluh tahun, Mbah Tumbu menyuruh Waluyo untuk mencari dimana keberadaan anaknya.
Raminah langsung menangis, mungkin saat itu ia ingat masa lalunya. Tiba-tiba
Raminah langsung kejang, aku berteriak keluar mencari pertolongan. Raminah pun
dibawa ke rumah sakit.
***
Aku dan Sularsih
sering berangkat dan pulang sekolah bersama, dia selalu ceria, meski terkadang
ada teman yang mengejeknya. Aku kadang ingin menangis sendiri saat kakak-kakak
kelasku mengejeknya dari belakang sambil mengatakan Sularsih “anak pincang”,
tapi entah kenapa ia malah tersenyum saat dihina begitu.
Seminggu sudah ibunya
terbaring lemah di rumah sakit. Raminah menderita penyakit stroke. Setiap malam
Sularsih selalu pergi ke rumah sakit menemani ibunya sambil mengayuh sepeda
yang jaraknya hampir sepuluh kilometer sendirian.
“Luh, pipane ono sing bocor, dolanan yok
(Luh, pipanya ada yang bocor main yuk),” ajaknya.
“Ayo, ayo,”
kataku bersemangat, aku paling senang bermain air.
Dari jauh ku
perhatikan warung Mbah Tumbu, warung kebanggaan beliau. Warungnya kini sepi.
Mbah Tumbu menutup warung sampai Raminah kembali sembuh.
Kami saling
menciprat-cipratkan air. Setelah wajah basah, baju basah, aku berjalan di atas
pipa. Ku rentangkan tanganku menjaga keseimbangan. Sularsih tersenyum
melihatku. Aku tak sadar kalau saat itu aku telah melukai perasaannya. Sularsih
tak berani berdiri di atas pipa-pipa itu. Kemudian Sularsih mengajakku
memancing ikan mliun menggunakan gelas minuman yang diberi tali raffia. Masih
terekam jelas kenangan itu. Kemudian kami pulang bersama-sama, tiba-tiba di
rumah Sularsih banyak sekali orang berdatangan.
“Sih, kowe ulang tahun yo? (Sih, kamu
ulang tahun ya?),” kataku sambil tersenyum, tertawa.
“Mosok ulang tahunku kowe gak eleng
(Masak ulang tahunku kamu gak ingat),”
“Hahaha..” kami
tetawa. Sularsih ulang tahunnya Mei, sekarang Desember.
Aku mengikuti
Sularsih masuk rumah. Suara tangis tiba-tiba menyeruak. Raminah telah tiada.
“MAKKK!!!
MAK’E…!!!,” Sularsih berlari menangis memeluk jenasah ibunya yang terbujur
kaku. Bom seolah meledak di depanku, tiba-tiba semua menjadi gelap.
***
Tiga bulan
kemudian… Mbah Tumbu menyusul kepergian Raminah. Setelah kejadiaan itu orang
tuaku pindah ke Surakarta. Kini warung bersejarah itu pun bermetamorfosis,
dibangun menjadi warung baru yang sangat bagus. Tidak tampak warung lagi, tapi
sudah seperti restaurant, tempat makan orang-orang cilik, orang Pertamina dan
orang-orang berduit.. semuanya bisa makan disini.
Delapan tahun sudah
kejadian itu berlalu. Warung ini tetap menjadi warung kebanggaan dengan berbeda
wajah. Pipa-pia itu sudah tak ada lagi, diganti dengan sebuah taman dan tempat
parkir. Sekarang aku telah menjadi mahasiswi, aku berkunjung ke warung itu,
seorang anak laki-laki lucu menyambutku, kemudian berlari memeluk ibundanya.
“Galuh,”
sambutnya kaget, ternyata dia tak pernah lupa dengan wajahku.
“Sularsih”
Kami berpelukan
melepas rindu, setelah sekian lamanya tak bertemu. Sularsih menikah dengan anak
Mbah Tumbu yang menghilang itu dan dikaruniai seorang malaikat kecil yang lucu.
Selesai.
ISMA SWASTININGRUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar