Senin, 28 Juli 2025

Catatan Film "Love Exposure/Ai No Mukidashi" (2008)

Film ini bukan untuk semua kalangan. 

Jika ada award ide film terbaik yang telah kutonton sejauh ini, aku akan memilih film "Love Exposure/Ai No Mukidashi" (2008) sebagai pemenangnya. Semua perasaan campur setelah aku menontonnya: sedih, marah, lucu, sadis, senang, tragedi, psikopat, senonoh, bodoh, dosa, pendeknya, luar biasa. Selama hampir empat jam aku menonton, tak satu pun ada kejenuhan tiap menitnya. Semua tokohnya problematik dan masing-masing membawa alasannya masing-masing. Film ini hidup bahkan bukan karena kesempurnaan tiap karakter, tapi dari ketidaksempurnaan yang ditunjukkan secara ugal-ugalan. Kritiknya menerobos ranah agama, sopan santun, seksualitas, feminisme, hingga teori-teori psikoanalisis yang rumit.

Secara alur yang kuringkas dalam satu paragraf: film ini bercerita tentang imajinasi cinta ideal yang tak pada tempatnya. Alur diawali dengan kisah Yu Honda (Takahiro Nishijima) yang ditinggal mati ibunya. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar Yu menemukan perempuan yang seperti Bunda Maria. Ayah Yu selepas istrinya meninggal memutuskan untuk jadi pendeta Katolik. Namun, imannya tak sekuat yang dia kira setelah kedatangan Kaori, perek gila yang mengungkapkan ketertarikan dengan cara yang terbuka, bahkan dia hendak memperkosa si pendeta di gereja. 

Oh, ternyata tidak muat dalam satu paragraf, oke lanjut ke dalam sub-bab saja.

Tiga Cegil yang Gak Ada Obatnya

Sepanjang film, aku menaruh minat dengan tiga tokoh utama perempuan yang kupadang sebagai cewek gila (cegil) yang gak ada obatnya, gak ketulungan, dan susah ditolong--karena gak mau minta tolong. Mereka adalah Yoko (Hikari Mitsushima), Koike (Sakura Ando), dan Kaori (Makiko Watanabe). Tiga karakter perempuan di sini bukan tipe Manic Pixie Dream Girl (MPDG) yang hadir untuk menyelamatkan pria kesepian, membosankan, dan unmotivational; mereka mendobrak semua tatanan sosial yang disebut sebagai "perempuan baik-baik". Mereka artistik bukan karena tampilan luar, tapi memang dari dalam, dari karakternya yang "anjir!", sebagai fiksi, ini keren parah.

Aku akan memulainya dari karakter Maria kita, Yoko Ozawa. Hidupnya sudah amburadul sejak balita. Dia hidup bersama ayahnya yang kesepian. Ayahnya hendak memperkosa Yoko, dan anaknya terus melawan. Dia memandang jika semua laki-laki di dunia ini brengsek, kecuali Kurt Cobain. Yoko hobi bertengkar, terlebih bertengkar secara fisik dengan laki-laki. Dia seolah tak memiliki tempat aman, kecuali setelah kedatangan Kaori. Sebelum ayahnya meninggal, pelacur bernama Kaori telah menjadi simpanan ayahnya. Kaori pun suka dengan Yoko dan ingin menjadikan gadis itu anaknya. Kaori bersedia menjadi ibu sambung. Sementara di sisi lain, Yoko juga klik dengan Kaori karena karakternya yang terbuka, cenderung ceria dan tak punya beban, meskipun bebannya segunung. Yoko dan Kaori sering ke klub bareng, sambil nari-nari. Yoko menemukan sosok ibu di diri Kaori. Keduanya klop,

Berikutnya, of course, Kaori Fujiwara. Karakternya mengingatkanku dengan dunia lain yang sangat susah kucapai, karena sosoknya yang terbuka, ekstrovert, cerewet, impulsif, dan terlihat tanpa otak atau setidaknya tidak suka berpikir, bukanlah karakter yang nyaman untukku. Sebenarnya latar belakang Kaori tak terjelaskan dengan baik. Tiba-tiba dia hadir jadi jamaah di gereja ayah Yu yang bernama Tetsu Honda. Kaori tiba-tiba menangis dengan termehek-mehek hingga membuat Tetsu bingung. Tanpa tahu malu, Kaori pun melakukan tindakan-tindakan di luar normal untuk menarik perhatian Tetsu. Dia cinta dengan pendeta itu. Alasannya entahlah, tapi Kaori seperti menemukan Tuhan dan kedamaian ketika dia berada di dekat Tetsu. Sebab hubungannya dengan Kaori, akhirnya Tetsu mengontrak rumah di luar asrama gereja untuk menutupi hubungan kumpul kebo mereka. 

Cegil terakhir, cegil sampai sumsum tentu tokoh antagonis puncaknya, Aya Koike. Aku belum pernah punya imajinasi semengerikan ini akan sosok karakter perempuan sebelum mengenal Koike. Masa lalu Koike kupikir lebih kelam daripada Yoko dan Kaori. Dia yatim piatu, hidup dengan pria yang melakukan kekerasan dan memperkosanya. Koike balas dendam dengan menghilangkan kejantanan pemerkosanya, dengan cara memotong kelamin si pemerkosa, membiarkannya hidup tapi dalam kondisi koma. Ketika terjadi kekerasan pada Koike, yang menemani dia hanya burung kecil warna hijau, sepertinya, hanya burung itu yang jadi teman setianya Koike. Perempuan ini membunuh banyak orang, termasuk siswa-siswa sekolah dengan cara menembaknya. Koike suka berganti-ganti sekolah, dan dia selalu memakai topeng malaikat untuk membalaskan dendam.

Koike juga bergabung dengan sekte gereja bernama Zero. Sekte sesat yang meminta pengikutnya untuk mengumpulkan uang donasi. Ada tiga level pengikut di Zero, dari pemula, pembisik, dan aktor. Mereka dijejali berbagai brainwash dari Alkitab. Ketika sudah di level aktor, sudah sulit disembuhnya, tapi ketika masih di level "pembisik", kemungkinan disembuhkan 50%. Ternyata, Koike termasuk senior dan jadi pemimpin Zero. Tak heran, dia kaya raya, punya banyak pengikut, mengumpulkan banyak orang dalam sebuah gedung besar yang difasilitasi dengan berbagai kebutuhan dasar mirip asrama.  

Fotografi Menyimpang

Dari empat sudut pandang yang kutangkap dari film ini, pokok cerita lebih berat berotasi pada kisah Yu Honda. Aku benar-benar kasihan padanya setelah si ayah menjadi pendeta, bertemu Kaori, dan seolah meninggalkan Yu sendirian. Sebenarnya, dia anak yang baik bak malaikat, tapi dipaksa berubah menjadi setan dan monster oleh lingkungan terdekatnya. Yu mencari-cari dosa agar ayahnya memperhatikan. Dia bergabung pada gangster kota yang hidup nakal, semrawut, dan melanggar norma-norma umum. Termasuk untuk mendapatkan perhatian ayahnya, meskipun dengan tamparan. Yu juga bergabung dengan para senpai cabul yang mengajarinya memotret celana dalam perempuan. 

Suatu hari, Yu dan ketiga sahabat dekatnya sedang main taruhan foto mana yang terbaik. Dalam taruhan itu Yu kalah dan harus berjalan di muka umum mengenakan pakaian perempuan. Lalu, Yu harus mencium salah satu perempuan di tempat umum itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, setelah lama pencarian Maria pesanan ibunya, Yu yang berubah nama menjadi Nona Scorpion, akhirnya bertemu Yoko yang hendak bertengkar dengan gangster suruhan Koike. Di sanalah, Yu membantu Yoko. Moment menjadi Maria pun terlihat jelas, ketika Yoko diberi kerudung (sepertinya ini diada-ada) dan dia merunduk dengan kondisi tangan berdoa seperti umat Kristiani. Yu dan Yoko melawan gangster dan mereka menang. Yu juga diminta mencium Yoko. Keanehan terjadi karena dari ribuan foto celana dalam yang dia hasilkan, tak ada satu pun yang membuatnya terangsang atau kelaminnya berdiri. Namun, setelah bertemu Yoko, hal itu terjadi. 

Moment itu membuat Yoko jatuh cinta pada Scorpion. Naas, suatu hari, Kaori yang jadi ibu angkat Yoko datang ke rumah kontrakan Tetsu. Yu kaget karena ayahnya akan menikah dengan Kaori, melepaskan jabatan pendetanya, dan yang paling menampar, dia akan jadi kakak untuk Yoko. Cinta yang tak saling bertemu di banyak sisi. Di sisi lain, Koike yang jadi murid baru di sekolah Yu dan Yoko berpura-pura menjadi Nona Scorpion. Yoko pun menganggap dirinya lesbi. Koike pun sering menginap di rumah Tetsu di mana Yoko dan Kaori juga tinggal, mereka melakukan hubungan lesbi di kamar samping Yu.

Yu dasarnya memang karakter yang sangat kuat. Dia jadi cabul pun adalah seorang pencabul yang bermartabat. Ini kenapa yang membuat Koike suka dengan Yu, tapi Yu mencintai Yoko. Sebab Koike sudah dekat dengan semua keluarga Yu, akhirnya doktrin gereja Zero dilakukan. Yoko, Kaori, dan Tetsu ditempatkan di asrama untuk dilakukan pencucian otak. Dalam rangka menyelamatkan Yoko, Yu pun rela jadi bintang porno punya prinsip di sebuah agensi terkenal di Jepang. Dia tak mau melakukan hubungan badan, hanya mau memotret celana dalam, dan jadi pendeta palsu yang memaafkan orang-orang yang merasa berdosa karena mengkonsumsi hal porno.

Yu dan teman-temannya juga menculik Yoko di sebuah mobil bekas di dekat pantai untuk menyadarkan perempuan itu dari jebakan Zero Church. Namun, Yoko malah menceramahi Yu tentang kasih, yang bobotnya lebih besar dibandingkan banyak hal-hal baik jadi satu. Yoko tak sadar juga meskipun Yu sudah puasa makan untuk menemaninya. Hingga, Keiko yang karismatik dan sadistik itu datang "menyelamatkan" Yoko. Aku jadi ingat pengakuan Yu, bahwa dia adalah Scorpion. Yu untuk menolong Yoko juga jadi ikut anggota Zero Church, mengikuti ritual dan indoktrinasi mereka. 

Namun, Yu tak sepenuhnya mengikuti aturan gereja itu. Dia diam-diam melawan, hingga puncak perlawanannya itu, dia mengubah pakaiannya jadi Scorpion. Yu mendatangi kantor pusat Zero Church untuk mengeluarkan Yoko, dan sepertinya hendak membunuh Koike. Koike sedari awal mencintai Yu karena dia mengingatkan Koike pada dosa asal Alkitab, Yu bagi Koike terasa dekat. Hari naas itu tiba, ada pengeboman di sana, perang samurai, dan yang paling tak masuk akal, tiba-tiba saja Koike bunuh diri dengan samurai. Aku tak tahu konteksnya, tapi bagiku ini kok pengecut banget, kayak bukan Koike. Tokoh ini memang menyebalkan jadi antagonis, tapi karakternya kuat, dan kayak bodoh banget aja gitu bunuh diri.

Dalam perang di gedung Church Zero, Yoko mencekik Yu hingga mengeluarkan air mata darah. Namun, Yu akhirnya selamat nyawanya, tapi jiwanya tak selamat. Aku cukup terguncang ketika mengetahui jika Yu berakhir di rumah sakit jiwa. Lalu, Yoko hidup dengan saudara jauhnya. Dia berubah, dan tiba-tiba setelah menonton VDC cabul Yu terkait memotret celana dalam, Yoko mendatangi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di mana Yu dirawat. Di sana, Yu jadi orang gila yang hendak perang menggunakan wardrobe Nona Scorpion. Yoko juga membawa pisau di sela pakaian dalamnya. Aku mengira Yoko akan membunuh Yu, ternyata, pisau itu digunakan untuk menakut-nakuit pegawai RSJ agar tak mengganggunya. Yu terguncang, dia yang overaktif dan reaktif jadi slow down ketika Yoko datang. Yoko mencoba mengingatkan Yu terkait dirinya sendiri. Aku senang film ini berakhir indah, setidaknya untuk protagonis film, Yu. Good boy yang nelangsa.

Melampaui yang Konvensional 

Sebenarnya masih jarang ulasan terkait Love Exposure, karena cukup kompleks memang, bahkan untuk direview. Film karya Sion Sono ini kalau kamu mengeceknya di Wikipedia, memenangkan banyak penghargaan di dalam dan luar negeri. Sutradara berani mengeksplorai berbagai tema-tema kontroversial menjadi satu, dan disampaikan secara provokatif. Banyak hal sensitif disinggung, dari agama, seks, kekerasan, nafsu, pleasure guilty. Namun, yang menonjol dari semuanya menurutku adalah karakternya yang kompleks. Semua karakternya menarik, punya dilema emosional yang berbeda, punya pemaknaan akan eksistensi dan kebanggaan yang berbeda, dan ajaibnya, semua begitu hidup dan manusiawi.

Gaya visual yang diahdirkan Sion Sono juga eksploratif, struktur narasi yang tak biasa, durasinya ekstrem, dan memberi pengalaman imersif yang tidak konvensional. Aku merasakan kejutan-kejutan emosional yang kuat. Kritik terkait kepalsuan agama dimunculkan dalam sekte Zero Chruch, yang memanipulasi, dan gagal menyelamatkan manusia dari penderitaan. Genre film ini juga banyak, mungkin cenderung tak konsisten karena ada unsur komedi, romansa, action, drama keluarga, dlsb. 

Dalam memonton film ini, ada baiknya ketika kita bisa memahami konteks pengetahuan yang ada di Jepang. semisal, soal upskirt photography yang proses kreatifnya memang datang dari koran-koran kuning. Lalu, inspirasi Zero Church sebenarnya datang dari sekte di Jepang bernama Aum Shinrikyo. Sekte ini juga menimbulkan pembunuhan berdarah di Tokyo. Sekte ini memadukan ajaran Hindu, Buddha, dan Kristen jadi satu.

Saat aku baca-baca, film ini ternyata lahir dari keinginan Sion Sono untuk membuat film agama, terlebih dia lahir dari keluarga Kristiani. Dia mengalami berbagai konflik batin, moralitas palsu, dan bagaimana agama membuat manusia tertekan (pertanyaan menarik, kenapa agama membuat orang tertekan?) Aku juga baru tahu, awalnya ini film mau dibuat series, tapi gak jadi. Sion Sono juga mengklaim di awal film, jika kisahnya dari kenyataan, meskipun sebetulnya fiksi. Potongan-potongannya memang kenyataan, tapi dia seperti kolase fakta-fakta dan trauma-trauma yang dijadikan satu. 

Metode Sion lebih mirip kolase sinematik dengan menggabungkan potongan kejadian nyata, pengalaman pribadi, fenomena sosial, aib masyarakat, mimpi-mimpi, ketegangan batin, praktek spiritual, dan gagasan-gagasan nyeleneh menjadi satu. Pola umum ini bisa jadi karya yang mengagumkan jika diolah dengan baik. Bahkan sebagai seorang penulis, aku bisa mengambil pelajaran dari metode ini dalam proses penciptaan karya. Sebagai seorang kreator, seperti menggunakan "pengakuan" sebagai energi penciptaannya. It's worth to watch 'though.

Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini berporos pada bentuk cinta yang paling rusak sekaligus paling murni. Aku melihat Yu, Yoko, dan Koike dengan hidupnya yang masing-masing hancur, dengan agama yang dipalsukan, dengan tubuh yang dieksploitasi, masing-masing ingin mendapatkan cinta yang murni. Cinta murni dari ayah, kekasih, dan justru cinta ini memicu timbulnya dosa besar. Masing-masing juga bergulat dengan identitasnya, Yu berpura-pura jadi pendosa, Yoko membenci laki-laki kecuali Kurt Cobain, Koike ingin menyembunyikan masa lalunya yang hitam pekat di balik wajah pemimpin kultus.

Aku juga belajar bagaimana kekerasan sistemik dan struktural pada tubuh dan jiwa seolah dilanggengkan lewat praktik-praktik manipulatif, tidak jujur, dan bersifat menghancurkan diri sendiri. Kita bisa melihat dasar nadanya kemudian, segala bentuk cinta membutuhkan pengorbanan. Cinta soal keberanian menyerahkan diri, bukan soal memiliki.  

Judul: Love Exposure/Ai No Mukidashi | Sutradara: Sion Sono | Genre: Laga, Roman, Komedi, coming-of-age | Tahun rilis: 2008 | Pemeran: Hikari Misushima, Sakura Ando, Takahiro Nishijima, Makiko Watanabe, Atsuro Watabe 

Catatan Film "Your Name/Kimi No Na Wa" (2016)

Suatu waktu di Gramedia, aku menemukan buku berjudul "Your Name" karya Makoto Shinkai. Seorang kawan juga pernah merekomendasikan di story media sosial mereka. Aku termasuk orang yang penasaran dengan alurnya, akhirnya aku menontonnya. Oh, sebelum aku lupa, aku bukan tipe penonton yang mengikuti trend baru, aku lebih suka konsep karya yang old and gold. Alasannya jelas, telah teruji waktu.

Rasanya menyenangkan menonton film ini. Premis umumnya, ada sejoli yang bertukar jiwa, bertukar gender, yang laki-laki ke tubuh perempuan, yang perempuan ke tubuh laki-laki. Pemuda bernama Taki-kun jiwanya berpindah dengan pemudi bernama Mitsuha. Genre film ini cukup romantis. Keduanya hidup di dua masa yang berbeda. Taki-kun adalah seorang pelajar SMA yang hidup di Tokyo bersama ayahnya. Lingkungan urban membuatnya punya karakter yang liat. Setelah dia sekolah, dia bekerja sebagai pelayan restauran. Taki tidak menuruti keinginan kawan-kawannya untuk nongkrong.

Di sisi lain, Mitsuha adalah gadis desa yang tinggal di Itomori, jauh dari Tokyo. Dia hanya tinggal bersama nenek dan adik perempuannya. Ibunya meninggal, sementara ayahnya sibuk kampanye sebagai anggota dewan daerah. Kondisi desa dia rasakan sangat membosankan. Di sana tak ada kafe, tempat perbelanjaan besar, atau kegiatan lain khas kota. Namun, bagiku sebaliknya, di desa itu pemandangannya sangat cantik melebihi Tokyo; di sana juga ada pagelaran budaya rakyat yang menarik. Mitsuha dan adiknya di moment khusus juga melakukan tarian. Entah bagaimana konsepnya, intinya makan nasi hingga dia terfermentasi dan menjadi air. Lalu air ini dimasukkan ke guci kecil, ditaruh di sebuah gua. 

Film ini juga melibatkan kejatuhan komet Tiamat di Itomori. Saat hari H terjadi, sedang berlangsung festival di sana. Namun, ekor komet itu terbelah jadi dua, jatuh di Itomori, dan membuat semua masyarakat di desa itu tak bernyawa, termasuk Mitsuha, keluarga, dan teman-temannya. Di kejatuhan komet Tiamat itulah, Mitsuha meninggal, meski agak aneh menghubungkannya dengan Taki di waktu yang berbeda. Taki dan Mitsuha saling mencari, tapi mereka tak tahu siapa nama masing-masing ketika ketemu dan akan berpisah. Komet Tiamat di sini juga menjadi kewaspadaan rakyat Bumi, agar lebih berhati-hati ketika mendapati ada benda asing luar angkasa yang berpotensi meledakkan manusia. Komet di sini juga bisa berarti suatu takdir yang datang tiba-tiba.  

Tukar Jiwa dan Perjalanan Waktu

Aku kurang setuju jika film ini dianggap tukar tubuh, menurutku lebih tepat jika dijuluki tukar jiwa. Sebab, ketika masing-masing bangun di suatu waktu, keduanya masih di tempat masing-masing, tapi hanya "isi" saja yang berbeda. Konsep body-swap atau body-soul ini, secara ilmiah belum ditemukan di dunia nyata. Di tengah perkembangan teknologi yang semakin cepat, kemungkinannya belum ditemukan. Tukar tubuh ini juga memungkinkan karena Mitsuha menginginkannya. Di sebuah kuil, dia berbicara mau pindah alam ke Tokyo dan jadi laki-laki tampan. Serupa ucapan yang dikatakan oleh orang-orang berweton tulang wangi, Dewa di kuil pun seolah mengaburkan permintaan Mitsuha.

Mereka berpindah jiwa setelah tidur, selisih waktu ketiganya tiga tahun. Mereka seolah memiliki takdir dan koneksi spiritual yang saling mengikat. Di Jepang ada istilah "musubi" (結び), yang dalam kepercayaan Shinto disebut sebagai benang takdir, keterikatan antara jiwa, dan waktu secara tak linier. Bahwa, masing-masing kita ada kekuatan yang menghubungkan kita dengan alam semesta. Kekuatan kreatif ini mendasari suatu penciptaan berbagai entitas. Di film "Your Name" diwakili oleh tali yang mengikat rambut Mitsuha, atau tali yang dibuatnya dengan meditasi tertentu bersama nenek.

Di film ini mengingatkan aku kembali tentang suatu kerinduan yang asing. Ketika kamu ingin bertemu seseorang yang belum pernah kamu temui, tetapi konsep terkait orang itu sudah ada di kepalamu. Ini yang dirasakan Taki ketika mencari Mitsuha dengan mengajak teman dan kolega perempuannya ke reruntuhan Itomori. Meski ingatan kadang memudar, tapi rasa masih kuat. Pasti kamu tak asing dengan konsep di bak truk jalanan, "ilang jenenge, ning iling rasane."  

Jika kita memperdalam visual anime ini, aku jujur sangat kagum dengan orang-orang Jepang yang bisa menghidupkan manga/cerita dengan visual-visual yang tepat. Di sini, kau bisa melihat langit, cahaya matahari, alam khas Jepang yang juga bisa kau tonton di film-film Gibli. Seperti film "Eternal Sunshine of The Spotless Mind", penonton diajak untuk menyusun sendiri timeline para karakternya. Keduanya juga terjebak dalam masalah "lupa" dan "ingatan". 

Beberapa hal yang bisa jadi refleksi:

  1. Koneksi jiwa akan lebih kuat dari waktu. Meskipun kita tiap manusia hidup di masa berbeda, tapi koneksi ini melintasi waktu dan tempat.
  2. Kerinduan tak harus memiliki nama. Rindu ini kadang tak logis, tapi bisa kita rasakan. Dari sini kadang kita bisa menelisik lebih dalam mimpi dan intuisi kita masing-masing setelah tidur. Bisa jadi itu ingatan yang samar akan rasa yang belum selesai.
  3. Jika kau tengah menggambar kenangan dengan seseorang, kejadian bisa jadi hilang, tapi perasaan bisa tinggal. Itu kenapa Pamungkas nulis lirik, "alasan terus bersama bukan karena terlanjur lama, tapi rasanya, yang masih sama." 

Namun, bagiku yang sangat revolusioner dari film ini adalah kemauannya untuk melawan takdir meskipun kemungkinannya sangat tipis. Yah, good job. Btw, namaku Isma dalam bahasa Arab juga artinya nama. Aku gak tahu apa kaitannya, tapi ya, film ini berjodoh denganku saja.

Judul: Your Name (君の名は) | Sutradara: Makoto Shinkai | Produksi: CoMix Wave Films | Rilis: 2016 | Durasi: 107 menit | Pemeran: Ryunosuke Kamiki (Taki Tachibana), Mone Kamishiraishi (Mitsuha Myamizu)

Catatan Film "Eternal Sunshine of the Spotless Mind" (2004)

Usai menonton film ini, jujur aku gak mudeng alur film "Eternal Sunshine of the Spotless Mind". Film yang masuk dalam kategori kultus dan disutradari Michel Gondry ini cukup membingungkanku. Otakku lebih comfort nonton film yang beralur linier. Sementara, kau tahu sendiri jika ingatan sebegitu scattered-nya. Dalam detik satu ke detik lainnya bisa melompat-lompat sesuka dia. Namun, setelah kurenungkan. Ada beberapa hal menarik yang kutangkap. 

Acak dan Bolak-Balik

Mungkin ini kata yang tepat untuk menggambarkan alurnya. Tema yang diangkat adalah penghapusan memori terkait seseorang. Singkatnya, Joely dan Clementine sepasang kekasing yang ingin menghapus memori satu sama lain melalui agensi rumah sakit mental bernama Lacuna Inc. Mereka punya teknologi medis yang cutting edge buat digarap di masa sekarang dan masa depan. Aku tertarik dengan awal film ini ketika Joel bilang, "aku gampang cinta dengan perempuan yang menaruh sedikit perhatian padaku." Joel menganggap gejala ini sebagai suatu masalah. Masalah ini juga di suatu waktu pernah menjangkitiku. 

Setelah Joel mengenal Clementine, hubungan mereka ternyata penuh konflik karena karakter masing-masing. Joel Barish punya kepribadian yang introvert, suka memedam emosinya sendiri, suka menghindari konflik, tidak suka spontanitas, dan punya keterampilan seni menggambar yang baik. Sementara Clementine Kruczynski sebaliknya. Dia ekstrovert, impulsif, ekstrensik, artsy, rapuh, merasa rusak secara psikologi dan takut ditinggalkan. Perubahan warna rambut adalah simbol fase emosional yang dilaluinya.

Kesalahan Joel adalah tidak pernah jujur dengan perasaannya karena sifatnya yang memedam, padahal Clementine membutuhkan komunikasi yang terbuka. Dia juga kurang menghargai keunikan Clementine, pasif dalam hubungan, melarikan diri lewat penghapusan memori, takut akan keterikatan, dan mayan pecundang bagiku. Adapun kesalahan Clementine, dia terlalu impulsif, meledak-ledak, menuntut banyak validasi emosional, tidak sabaran dalam hubungan karena emosinya turun naik dengan cepat, dan satu hal yang khas, dia suka menyalahkan diri sendiri tapi tidak menyelesaikan masalahnya itu. Seperti yang dia katakan: "I'm just a fucked-up girl who's looking for my own peace of mind. Don't assign me yours." Mereka berpisah karena masing-masing tidak tahu bagaimana cara mencintai dengan sehat. Suatu hari, Joel kaget karena Clementine sudah tak mengenal dirinya. Bahkan, Clem sudah jadian dengan pria lain di sebuah toko kaset. 

Sebagian besar film ini terjadi di pikiran Joel, saat dia bermimpi dalam rangka menghapus ingatan-ingatannya akan Clementine. Di ruang ini, segenap hal baik dan buruk satu per satu muncul dan terhapus. Meskipun dia sebenarnya sadar, dia masih mencintai Clementine. Sementara para teknisi Lacuna Inc datang dengan santai, bahkan Dokter Howard Mierzwiak yang merupakan pemilik klinik Lacuna punya riwayat perselingkuhan dengan asistennya, Mary Svevo yang pintar dan suka mengutip puisi. Howard meminta Mary untuk menghapus ingatan itu, karena tidak enak dengan istrinya. Mary dipaksa menghapus ingatan itu. Dia marah dan kecewa lalu mengirimkan rekaman penghapusan memori ke semua pasien Lacuna, termasuk Joel dan Clementine.

Ketika menghapus memori Joel pun, Mary dan teknisi lain, Stan Fink, pun malah berpesta dan menjalin affair di kamar Joel. Bahkan saat Stan kewalahan ketika memori itu perlahan menghilang. Sementara, teknisi lainnya Patrick Wertz, setelah Clementine berhasil menghapus memori, dia mendekati perempuan itu dan menjadikannya pacar. Bahkan Patrick mencuri kenangan yang dimiliki Joel untuk merayu Clementine. Ya, kita bisa berdepat soal konsekuensi etis di sini, terkait pencurian memori dan jangan-jangan di masa depan ada copyright terkait memori. 

Plot twist, Joel dan Clementine bertemu lagi secara kebetulan di pantai. Mereka saling naksir kembali, dan sepertinya film ini berakhir indah. Meskipun keduanya saling melupakan, mereka masih memutuskan untuk bersama. Ya, rasanya ada korelasi sedikitlah dengan film "Sore". Mereka belajar menerima rasa sakit sebagai bagian dari proses mencintai.  

Klasik Modern

Barangkali rating untuk film ini sudah overated. Dia dianggap sebagai film klasik modern dalam genre romansa, fiksi ilmiah, dan drama psikologi. Saat film itu dibuat 21 tahun yang lalu, premisnya dainggap unik, orisinal, dan brilian. Penulis skenarionya Charlie Kaufman memang genius dan nyentrik. Banyak formulasi terkait cinta, tapi kenapa dia memilih yang seperti ini? Bagiku itu pertanyaan menarik. Penonton tidak diberikan timeline yang rapi, tapi suguhan fragmen yang berantakan, seperti kamu menyusun puzzle kamu sendiri. Kelebihan dari metode seperti ini adalah kemungkinannya untuk dianalisis ulang berkali-kali. Film ini juga jadi bahan yang menarik untuk didiskusikan di kelas psikologi, filsafat, dan kahian film.

Entahlah, barangkali ini film Kate Winslet ketiga yang kutonton setelah The Reader dan Titanic, semua film yang dia makinkan bisa menjadi klasik dengan caranya sendiri. Dia memang berani liar, rapuh, dan sekaligus kompleks. Akting ini diimbangi dengan baik oleh Jim Carrey yang menikmati perannya sebagai pria depresif yang ingin hilang ingatan. 

Judul film ini diambil dari kutipan klasik puisi Alexander Pope dalam karyanya "Eloisa to Abelard" (1717). 

"How happy is the blameless vestal's lot!

The world forgetting, by the world forgot.

Eternal sunshine of the spotless mind!

Each pryer accepted, and each wish resigned."

Kau bisa membayangkan dengan menarik, bagaimana puisi bisa dialihwahanakan menjadi karya-karya lain yang tak kalah menarik. Barangkali ini memang tugas penulis dan seniman. Karya ini sebenarnya berkisah tentang biarawati bernama Eloisa yang mencoba melupakan kekasihnya, Abelard, untuk hidup suci. Film ini lewat Mary juga mengutip pemikiran Friedrich Nietzsche dalam buku "Beyond Good and Evil". Si filsuf bilang, "Blessed are the forgetful, for they get the better even of their blunders." (Berbahagialah orang yang pelupa, karena mereka bisa melupakan kesalahan mereka sendiri). Film ini semacam jadi counter, gagasan melupakan kesalahan akan menyembuhkan luka ini tak sepenuhnya berhasil.

Manic Pixie Dream Girl

Ada pemikiran menarik ketika aku mendalami film ini, berkaitan dengan representasi karakter perempuan klise yang dikenal sebagai "manic pixie dream girl" (MPDG). MPDG sederhananya diartikan sebagai karakter perempuan yang tidak punya perjalanan sendiri, dia hanya jadi alat untuk perkembangan tokoh pria. Tokoh Clementine dianggap mewakili gejala MPDG karena sifatnya yang impulsif, quirky, warna-warni, eksentrik. dan seolah hadir untuk "membangunkan" Joel yang pendiam dengan hidupnya yang membosankan. Fokus film berat pada POV Joel, sehingga pandangan pemirsa pada Clementine tidak jelas. Bagiku, saat ini jadi sangat aneh ketika mengharapkan pria datang padaku dan mengubah hidupku. Jika imajinasi romantisku seperti ini, sepertinya memang aku terjebak dalam manic pixie dream boy.

MPDG sendiri istilah yang lahir dari kritikus film Nathan Rabin (2007) saat dia melukiskan Ramona Flowers dari film "Scott Pilgrim vs. the World". Inti fundamental di sini, perempuan jarang digambarkan punya tujuan hidup sendiri, seolah hidupnya hanya untuk menghidupi pria. Terlepas dari kualitas luar terkait warna-warni rambut, pakaian-pakaian aneh, atau hal permukaan lain. MPDG lebih cocok untuk menggambarkan peran naratif alih-alih selera pribadi. Namun, aku juga bisa menangkap pesan jika Clementine muak dengan konsep menjadi penyelamat bagi pria. Perempuan seolah hadir yang berputar para cinta, penyelamatan, perawatan, dan keindahan.

Ini jelas problematik karena mengobjektifikasi perempuan sebagai alat pertumbuhan emosional laki-laki, mengabaikan kompleksitas perempuan, dan menciptakan ekspektasi palsu. Perempuan tak harus jadi obat untuk hidup pria yang menyebalkan. Perempuan juga tak harus bertanggung jawab atas perasaan pasangan dan dia punya narasi hidupnya sendiri. Seolah perempuan tidak punya motivasi independen dan berbahaya bagi otonomi pria. Seolah, seperti dosa asali, perempuan "ideal" (Hawa) itu hadir untuk mengubah hidup laki-laki atau sekadar menemaninya biar tak kesepian. Selain Clementine, karakter Summer yang cantik, cerdas, dan free spirit ini juga kategorit MDPG.

Dari film ini, aku juga belajar terkait "trope" atau pola cerita umum yang sering kita lihat di film, buku, fiksi, dan media-media populer. Trope berkaitan dengan karakter, alur, setting, dan perangkat narasi yang mudah dikenali. Dari bahasan sekilas terkait ini, aku jadi punya prinsip baru, kayak, aku gak mau buat karakter yang perempuannya menderita MPDG. Kalau pun ada, itu lebih kutempatkan sebagai satir dan kritikku. Semacam, aku mau menciptakan karakter yang punya tujuan dan konfliknya sendiri. Perempuan yang tak selalu memenuhi ekspektasi lingkungan, tak haru cantik, kuat, dan bijak; tapi dia juga bisa berantakan. Untuk memastikan ini, perlu ada tes: Ketika tokoh laki-lakinya kuhapus, apakah dia masih punya cerita?

Jebakan "trope" juga menarik, karena aku jadi lebih sadar terkait struktur dan pola-pola yang sangat mudah akan hidup, semisal cinta segitiga (love triangle), punya ide menyelematkan dunia (chosen one), orang kaya yang jatuh cinta dengan gadis miskin. We have seen itu a thousand times, right? Pola-pola ini kayak menyederhanakan kenyataan, merusak representasi, membangun dilusi romantis, perlu dibongkar. Dengan menghindari trope, bisa menghindari klise. Dengan tahu trope, kita bisa membalikkan ekspektasi. Kalau aku tahu struktur, tentu aku bisa membongkarnya.

Judul: Eternal Sunshine of the Spotless Mind | Sutradara: Michel Gondry | Durasi: 1 jam 48 menit | Tahun: 2004 | Genre: Roman, drama, fiksi ilmiah | Pemeran: Jim Carrey, Kate Winslet, Kristen Dunst, Elijah Wood, Mark Ruffalo, Tom Wilkinson 

Jumat, 25 Juli 2025

Catatan Film "Perfect Days" (2023)

Hirayama dan keponakannya bersepeda

Hirayama membersihkan toilet
Hirayama merenung sebelum tidur
Hirayama membaca buku (sangat suka scene ini)
Hirayama mengobrolkan soal bayangan

"Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti." Begitu kira-kira motto singkat terkait hidup yang serba keras dan seperti kata Rony Parulian, "Tak Ada Ujungnya". Aku mendapat rekomendasi menonton film ini dari Arwani. Warlok Blambangan, Jawa Timur itu juga sudah menulis resensi dan komentarnya terkait film dengan baik di blognya: "Film Perfect Day; Tentang Karakter Dalam Menjalani Hidup". Di tulisannya ini, Arwani menulis terkait pentingnya menjalani hidup dengan martabat dan antusiasme yang hadir dari dalam diri sendiri, serta tidak mengharapkan sesuatu yang tak perlu. Martin Suryajawa juga telah mengulas film ini di akun YouTube-nya. Martin menekankan pada pentingnya hidup "mawas", tanpa terlibat dalam "kerumitan yang tidak perlu". Aku belajar tentang "seni tidak terganggu" dalam film imi. Setiap tindakan adalah meditasi.

Alur yang dipilih Wim Wenders sederhana: Tokoh utamanya Hirayama bangun pagi, gosok gigi, merawat tanaman, minum kopi dari mesin minuman, naik mobil kecilnya, bekerja di toilet-toilet umum Tokyo, mandi di air panas umum, makan di kedai langganan, ke laudry, menyetel kaset, baca buku, dan tidur. Seperti halnya Sisifus, pengulangan hidup hari demi hari yang begitu-begitu saja. Semua orang tentu mengalaminya dengan cara masing-masing. Namun, Hirayama ini punya selera yang seperti orang punya "privelege" hidup. Musik-musik dan buku-buku pilihannya top notch, boleh dibilang edgy; meski memungkinkan, tapi aku tak begitu yakin di dunia nyata ada yang seperti itu. Kalau ada, liniaritas antara pekerjaan sebagai penjaga toilet, serta hobi untuk orang-orang yang punya privilege sangatlah jarang.

Keunikan film ini bahkan tidak terletak pada aspek menggelegarnya, tapi di kesederhanaan dan kesahajaannya. Saat dunia sibuk dengan pencapaian dan pencapaian, film ini mau bilang nikmati hidup dengan sungguh-sungguh, sesederhana apa pun peran yang kau emban. Hal berikutnya yang menarik untuk kurefleksikan:

  • Aku suka dengan bagaimana Hirayama menikmati setiap moment hidupnya yang monoton. Seperti lagu Nina Simone yang autentik itu, atau lagu-lagu The Velvet Underground, The Animals, Otis Redding, Rolling Stones, Lou Reed, disetel di mobil saat menyetir dan di kamar saat berbaring dengan chill. Dia juga hidup di masanya, seolah tak berkewajiban untuk mengikuti perkembangan musik terbaru yang anyar tiap harinya.
  • Aku juga suka saat Hirayama datang ke toko buku, memilih buku satu per satu tidak langsung breg dan impulsif seperti yang sering kulakukan. Seolah dia milih dengan pemikiran, jika aku cuma punya waktu hidup sehari, buku apa yang sebaiknya butuh kubaca? Sementara, penjaga toko bukunya juga keren, karena bisa memberi komentar penuis A, B, C sekaligus menyebut kelebihan mereka. Ada penulis yang bisa memakai kata sehari-hari menjadi tampak istimewa. Ada penulis yang underrated dibanding penulis mainstream lainnya tapi punya kualitas yang lebih baik. Kamu juga bisa mengulik bacaaan Hirayama seperti William Faulkner (dengan novel "The Wild Palms"), Aya Koda (dengan buku "Tree(s)"), dan Patricia Highsmith (dengan novel "Eleven").
  • Aku suka pula dengan cara Hirayama membersihkan kamarnya dengan ketelitian yang menarik. Namun, yang lebih penting, bagaimana dia membersihkan toilet-toilet umum yang barangkali sarang penyakit itu. Toh, pekerja anak muda yang menjadi koleganya tak menganggap pekerjaan pembersih toilet sebagai pekerjaan yang berharga hingga pemuda itu asal-asalan saja. Namun, Hirayama berbeda. Dia bahkan punya mobil berisi peralatan kebersihannya sendiri, dari tisu, sapu, alat pel. Dia juga berangkat sejak dari subuh bahkan sebelum matahari menyembut. Dia bahkan juga pakai kaca spion kecil untuk menjangkau sudut-sudut WC yang tak terlihat mata. Bagiku, ini sebuah dedikasi yang sangat berharga.
  • Aku juga suka dengan kebiasaan Hirayama pergi ke taman. Ini mengingatkanku dengan kebiasaanku pergi ke taman-taman di Jakarta, atau pergi ke Embung Langensari di Jogja. Yang kulakukan biasanya hanya menikmati waktu, melihat awan, pohon, dan orang-orang yang memancing. Bagiku itu sudah rekreasi yang purna dan murah meriah. Dulu aku juga punya kodak, tapi sayangnya sudah kujual pas aku butuh uang di Semarang. Melihat film ini, aku jadi ingin punya kodak lagi untuk memotret hal-hal yang menarik di sekitar tempatku hidup. Yang penting pula, Hirayama tak terobsesi memotret segala hal. Objek potretnya spesifik, cahaya matahari di antara pepohonan. Bukan hal humanis terkait manusia yang lebih kompleks. Menurutku ini pilihan yang aman di tengah karakternya yang sangat introvert itu. Oh, satu lagi, dia tak menyimpan semua foto itu. Namun, dia mengkurasinya! Menyimpan yang baik, dan merobek yang tidak baik. Aku merasa, setiap hari aku juga memotret lewat hapeku, tapi tak pernah mengkurasinya hingga menumpuk dan tak tahu akan kuapakan.
  • Aku suka pula dengan kegiatan keseharian seperti menggosok gigi, cukur janggut, memotong kumis yang memanjang, jadi kegiatan yang sangat estetik jika dinikmati. Meskipun ada simbol-simbol yang aku kurang mengerti, seperti adegan pengamen atau seniman teater yang menari-nari di tengah taman, atau di ruang publik ketika Hirayama bekerja. Keanehan lain, bagaimana Hirayama bersedia meladeni teka-teki lewat kertas sebuah permainan SOS dengan stranger yang entah siapa.
  • Aku tertatarik dengan ide yang seolah menjadikan toilet sebagai "tempat suci". Sudah dikenal luas, bagaimana arsitektur toilet umum di Jepang memang sangat baik. Salah satu toilet yang disorot adalah yang ada di Yoyogi Fukamachi Mini Park dan Haru-no-Ogawa Community Park dengan arsitekturnya yang transparan, tapi tetap mengedapankan privasi dan fungsi. Toilet publik ini didesain oleh arsitek Shigeru Ban, yang juga memenangkan penghargaan atas desainnya toilet publiknya itu.
  • Relasi Hirayama denan manusia sebenarnya sangat dingin, tapi menunjukkan penghormatan akan manusia yang lain. Bisa dilihat dari hubungannya dengan keponakan (Niko), ibu Niko atau adiknya, dengan ayahnya yang di panti, dengan Aya dan pacarnya, atau hubungan percintaannya yang samar dengan seorang pemilik kedai makan/minum. Juga bagaimana dia membangun komunikasi dengan mantan suami perempuan yang disukainya melalui permainan bayang-bayang. 
  • Tentang bayangkan, ya, tak diragukan lagi, di scene terakhir film "Perfect Days", kita diajak untuk merenung jika kalau bayangannya bertumpukan, kita tak bisa berpikir atau mengambil keputusan dengan jernih. Pemainan saling menginjak bayangan ini juga menarik karena manusia sebenarnya sering bergulat dengan bayangannya sendiri alih-alih bergulat dengan bayangan orang lain. 
Secara keseluruhan, film ini bagiku merupakan pengamatan yang puitis akan hidup sehari-hari. Di tengah hidup yang bising, tentu film ini bisa jadi oasis. Jika dalam novel "Momo" karya Michael Ende, aku belajar untuk adu pelan; di film "Perfect Days", aku belajar untuk menikmati hal-hal monoton. Tak heran juga jika aktor yang memainkan Hirayama memenangkan Best Actor di Festival Film Cannes 2023, karena ekspresi halusnya yang hening dan menggetarkan. Di Jepang, menikmati ketidaksempurnaan dan kefanaan ini dikenal sebagai budaya wabi-sabi. Hirayama punya karakter yang kuat untuk hidup sederhana, misterius, tak mengeluh di tengah hiruk pikuk Tokyo, dan dia hidup seolah seperti biksu di konteksnya sendiri.

Judul: Perfect Days | Sutradara: Wim Wenders | Tanggal rilis: 25 Mei 2023 | Genre: Drama, Fiksi | Durasi: 2 jam 5 menit | Skenario: Wim Wenders, Takuma Takasaki | Pemain: Koji Yakusho (Hirayama), Arisa Nakano (Niko), Aoi Yamada (Aya), Sayuri Ishikawa (Mama) | Sinematografer: Franz Lustig | Penyunting: Toni Froschhammer | Perusahaan produksi: Master Mind Limited, Spoon Inc., Wenders Images  

Catatan Film "Zindagi Na Milegi Dobara" (2011)

Prolog 

Kemarin aku ke UI, berharap bisa menyelesaikan permintaan LoA untuk daftar LPDP program Magister. Aku izin kerja setengah hari. Aku berangkat dari Stasiun Juanda ke Stasiun UI di pagi hari. Aku terpaksa datang karena sekitar Mei setelah ujian SIMAK, borang yang kukirim tak mendapatkan respons, hingga Juni tak ada balasan, hingga Juli masih menunggu dengan sia-sia. Aku juga menghubungi pihak Humas universitas dan fakultas via, tapi tak ada tanggapan yang konkret dan memuaskan. Sesampainya sana, kesabaranku kembali diuji. Aku seperti diputar-putar dengan pertolongan dari satpam atau penjaga di sana yang tak memuaskan. Dari gedung rektorat, aku diarahkan ke Gedung PMB, dari PMB aku diarahkan lagi ke ULT di Gedung PPMT. Sementara jarak antara satu gedung ke gedung lain cukup lumayan. 

Pas sampai di layanan terpadu di PPMT, petugasnya hanya bilang akan segera bantu proses, karena yang memproses petugas di PMB. Petugas PPMT gelondongan menyerahkan urusan selanjutnya ke PMB, sementara PMB ketika didatangi hanya melayani teknisnya saja, dan tetap diarahkan lagi ke PPMT. Aku hanya diberikan janji saja, tanpa ada jaminan dapat LoA. Dalihnya banyak permohonan serupa dan harus antri. Bahkan ketika masa pendaftaran beasiswa itu hampir habis, dan aku tak berkesempatan untuk mendaftar, barangkali mereka juga tak peduli. Aku diberi nomor orang PMB, sesegera mungkin aku mengetikkan pesan, tapi setelah 24 jam juga tak ada tanda-tanda pesanku dibalas. Aku pun mempertanyakan, di media sosial Instagram yang katanya Humas UI dan PMB-nya itu, yang udah dapat penghargaan pelayanannya semengecewakan seperti ini? Aku prihatin. 

Kejengkelan ini aku yakin tak hanya aku yang merasakan, karena selain aku juga ada banyak yang punya kasus serupa. Segala urusan administrasi dengan gaya seperti ini selalu membuatku muak. Mereka tak bertanggung jawab ketika dengan sengaja memutus harapan orang lain demi meraih pendidikan tinggi dengan kerja-kerja administrasi yang tidak becus. UI kampus besar, tapi pelayanan administrasinya sungguh mengecewakan. Kalau pun saya tidak masuk UI karena ketidakpedulian petugas administrasi yang seperti itu, aku udah bodoh amat. Masih banyak kampus yang punya sistem administrasi yang lebih baik, yang lebih menghargai calon mahasiswa baru untuk bergabung jadi keluarga besar, yang lebih satset terhadap layanan publik yang dibutuhkan. 

Film

Ya, dengan konteks seperti di ataslah yang membuat hariku jadi abu-abu. Sesampainya di kantor, aku lemas. Aku tak berminat melakukan banyak hal, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menonton film India yang sudah parkir di file laptopku. Moshi-moshi, judul film itu "Zindagri Na Milegi Dobara" (आप केवल एक बार जीते हैं) atau bahasa Indonesianya, Kamu Hanya Hidup Sekali, You Only Life Once (YOLO). Film ini cukup memberikan hiburan yang menyenangkan. Aku sedang tak ingin mengulas alurnya, tapi intinya terkait perjalanan three musketeers (Arjun, Imran, dan Kabir) yang menghabiskan liburan masa bujangnya di Spanyol. Mereka berkeliling dan mencoba berbagai tantangan untuk menaklukan rasa takut dan traumanya akan hidup. Beberapa poin yang kusuka dari film ini dan menjadi refleksiku:

  •  Aku suka dengan tokoh para perempuan di film ini, baik Laila, Nuria, maupun Natasha adalah tipe-tipe perempuan yang bebas. Mereka juga cerdas, independen, dan pekerja keras. Terlebih Laila, dia tipe perempuan yang tak memedulikan standar moral yang terkungkung dalam dunia domestik. Laila mendobraknya, sesederhana dia dengan motor gedenya mengejar laju mobil three musketeers hanya untuk mencium Arjun yang akan meninggalkan kota tempat dia bekerja. Natasha juga tipe independen dan pekerja keras, meskipun masih ada sifat kanak-kanak seperti ingin mengontrol Kabir. Nuria juga tipe perempuan yang ekspresif, serupa Imran, dia juga sangat percaya diri dengan apa yang dimilikinya. Perempuan dalam film ini sangat berdaya dan otonom. Dia tak sekadar objek cinta, tapi juga bahkan bisa membimbing pria dengan skill, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki.
  •  Setiap kita punya sudut pandang sendiri dalam menilai sesuatu. Kebenaran dan kepalsuan kadang sekabur itu, dan yang mememangkan bagiku di antara keduanya adalah kejujuran. Seperti saat ayah Imran, Pak Salman Habib dengan alasannya meninggalkan Imran saat kecil bersama ibu karena perbedaan prinsip hidup. Salman memutuskan pindah ke Spanyol, hidup menikah lagi dan tanpa anak. Salman ingin kehidupan yang bebas dengan menjadi seniman, sementara ibu Imran ingin sesuatu yang stabil. Keduanya tidak bertemu dan mereka pun berpisah. Semakin dewasa, aku semakin memahami keputusan besar seperti ini.
  • Saat muda, kita berambisi untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Juga membuat ambisi-ambisi besar seperti pensiun di usia 40 tahun mungkin, tapi seperti kata Laila ke Arjun, apakah kita bisa hidup sampai umur 40 tahun? Tidak ada orang yang menjamin, maka kawan, nikmatilah hari ini. Laila benar-benar memahami prinsip ini dengan baik. Sejak kecil dia sudah punya cita-cita jadi penyelam di laut dalam dan jadi pemandu scuba diving. Di laut dalam dia merupakan moment serupa meditasi, menghening. Ini berbanding terbalik dengan Arjun yang hidupnya serupa robot dan harus kerja, kerja, dan kerja. Aku suka dengan bagian ketika Arjun dan Laila tidur di bawah hamparan langit dan bintang pada malam hari. Juga saat Arjun tidur di mobil terbuka lalu mengamati langit dan pohon-pohon.
  • Seorang sahabat dekat yang seperti saudara akan bisa memahamimu dengan lebih baik. Seperti Arjun dan Imran yang merasa jika Kabir dan Natasha sebenarnya tidak menemukan chemistry, tapi dipaksakan untuk menikah. Ya, meskipun perjodohan mereka sebenarnya konyol. Kabir ingin memberikan kado cincin ke mamanya yang sedang ulang tahun dengan terlebih dulu ditunjukkan ke Natasha. Namun, Natasha sudah terburu berteriak menganggap Kabir melamarnya. Saat tantangan akhir di Spanyol, ketika mereka harus kejar-kejaran dengan Banteng (running of the bulls in Pamplona). Ketika dia selamat, janji Kabir adalah berani berkata kepada Natasha jika dia tidak mencintainya, dan menunda pernikahan ini atau membatalkannya. Meskipun undangan dan persiapan pernikahan sudah dilakukan, tapi yang menikah bukan orangtua atau keluarga besar, yang utama adalah pengantin itu sendiri.
  • Berani mengalahkan rasa takut. Arjun takut dengan air, Imran takut pada ayah dan ketinggian, Kabir takut pada pernikahan dan pertunangannya dengan Natasha. Semua akhirnya bisa mereka lalui dengan keberanian. Sebab film ini, aku jadi punya mimpi baru, aku ingin mencoba skydiving suatu hari nanti. Bisa berenang di udara terlihat keren sekali di film ini, seperti ada kebebasan yang purna. Aku paham ini olahraga mahal, semahal perjalanan mereka di Spanyol. Namun, mimpi mencoba terjun payung ini patut diperjuangkan. 
  • Aku juga menyukai arsitektur rumah yang disewa three musketeers atau hotel-hotel antik mereka. Juga perjalanan mereka yang mengagumkan di jalanan-jalanan dekat pantai menuju Seville. Kota Tua di Spanyol yang menarik dikunjungi, aku ingin mengunjunginya juga suatu hari. Atau juga pesta lempar-lemparan tomat di Spanyol, btw, aku suka makan tomat.
  • Aku suka dengan premis "semua manusia di dunia ini dasarnya sama", saat adegan three musketeer mengerjai orang-orang asing di toilet pria, di jalan, sampai di bar (yang terakhir berujung pada penjara). Tindakan seperti ini memang mengganggu dan bikin risi, tapi ada POV lain yang juga valid, hasrat manusia untuk bersenang-senang dengan mengerjai sesama. 
  • Persahabatan ketiga sahabat ini sangat realistis. Mereka bukan yang sok baik semuanya, tapi juga ada konflik dan pertengkaran yang justru bisa jadi sarana untuk memperkuat relasi pershabatan. Apalagi, Imran yang penulis, penyair, dan sastrawan itu hobi menulis puisi dan diary di bukunya untuk mengungkapkan berbagai pikiran dan perasaan terkait hidup dan sahabat-sahabatnya. 
  • Kritikku secara personal, liburan ala film ini hanya bisa di kalangan oleh kalangan kelas menengah atas yang punya privilege. Butuh kesanggupan finansial yang sangat mapan. Imran yang miskin cukup terbantu dengan Arjun dan Kabir, tapi tetap saja, ini bukan perjalanan murah yang semua orang bisa. Gaya yang global dan sekuler juga membuatku pribadi menemukan moment "agak gimana gitu", misalnya terkait kegiatan affairs yang tak sesuai dengan budaya Timur. 

Epilog 

Secara keseluruhan, film ini mengajarkan kita untuk "menikmati hidup saat ini". Kamu bisa menemukan berbagai resonansi emosional dan belajar terkait filosofi kehidupan yang mempengaruhi penontonnya. Jujur, aku tidak bosan ketika menonton film ini. It is worth every minute. Kayak, film ini akan mengajakmu untuk merefleksikan hidupmu, bukan tentang pekerjaan dan ambisi, tapi keberanian hidup. Dengan visual yang memukau, setting dalam film ini emang bukan gimmick visual saja. Ketika kamu nonton film ini, aku jadi punya POV baru dalam cara pandangku terkait liburan, healing, dan hidup; perjalanan mengajari kita untuk jujur terhadap diri sendiri, melepaskan ketakutan, dan liburan bukan berarti hanya sekadar kabur dari masalah--yang akhir ini aku sering merasakannya, haha. 

Judul: Zindagi Na Milegi Dobara | Sutradara: Zoya Akhtar | Tahun rilis: 2011 | Durasi: 2 jam 33 menit | Pemain: Farhan Akhtar, Abhay Deol, Hrithik Roshan, Katrina Kaif, Kalki Koechlin, Ariadna Cabrol 

25 Juli 2025

"Ya Allah, terima kasih. Aku mencintai pekerjaanku. Aku akan mengerjakannya dengan setulus dan sepenuh hati. Bukan untuk siapa-siapa (bukan untuk pimpinan atau kolegaku), tapi untuk diriku sendiri."

Aku Sudah Tidak Gigrik Lagi Sama Standar Orang Lain

Ingin menulis renunganku hari ini. Masing-masing kita punya standar, dan aku ingin bilang ke diriku sendiri untuk tidak takut dengan standar orang lain. Standar apa pun yang dipilih oleh orang lain itu. Selagi aku masih bisa menjadi diriku sendiri, standar orang lain hanya akan jadi sawang sinawangku saja. Aku sudah cukup capek untuk hidup memenuhi standar ekspektasi orang lain yang tak ada habisnya. Aku bukan mereka, sungguh bukan mereka. 

Hal sederhana, jika ada orang (teman) yang sangat mementingkan privasi, semisal tidak mengunggah foto keluarga, orangtua, pasangan, ya, biarkan. Sementara di sisi lain, aku tipe orang yang woles akan semua itu, jangan dipaksakan. Kalau kamu cuma bisa beli mobil Avanza, tidak usah ngoyo pakai standar Aphard. Bahkan, Avanza yang diisi oleh orang-orang yang hangat di dalamnya lebih membuatmu nyaman, daripada Alphard yang hanya dingin seorang diri. Meski Alphard kelasnya lebih tinggi, lebih dipandang wah, dianggap lebih baik, jika itu bukan aku, tidak. 

Jika standarmu menjadi burung gereja, jangan memakai standar burung merak. Jika standarmu menjadi domba, jangan paksakan standar singa. Jika standar musikmu lagu-lagu religi, jangan paksakan standar musik yang dianggap lebih keren. Jika musik idolamu sekarang mentok di Ada Band atau Rony Parulian, jangan paksakan ikut-ikutan mengidolakan Radiohead, The Beatles, atau Sigur Ros. Jika selera filmmu mentok di Denias, jangan paksakan standarmu ke The Godfathers atau Transformers. No. Kamu gak harus jadi orang lain. Kamu cukup jadi dirimu sendiri. Sesepele apa pun kamu dilihat orang lain. 

Standar yang kadang dilihat orang lain sepele dan kamu nikmati jauh lebih penting daripada standar megah yang sepah. No, aku gak butuh jadi orang munafik yang memaksakan standar sendiri untuk mengikuti standar orang lain. Kemudian merasa kecil dengan perbandingan itu. Memaksakan standar bagiku sekarang adalah hal konyol yang egois. Gak bisa membedakan standar orang lain dan standar diri sendiri juga sama bodohnya. 

Refleksi ini membawaku ke ranah yang lebih luas. Pertama, ranah berkarya. Aku pernah di titik memandang tulisan-tulisan blogku tak lebih baik dengan membandingkan standar penulis lain yang lebih punya nama. Atau, aku tak juga nulis novel, cerpen, atau karya sastra lain karena merasa standarku belum secanggih Haruki Murakami semisal. Aku bisa melihatnya lebih jelas sekarang. Jika standarku bisa menulis seperti Murakami, sampai jadi nenek-nenek pun bakalan gak lahir itu karya. Tapi kalau kusetel standar berkaryaku standar Isma Swastiningrum, aku merasa bakal tak kesulitan menyelesaikan novel setebal "Kaki Lima" dalam waktu sebulan. Skill mengetikku sudah di atas rata-rata karena latihan, tinggal menyesuaikan dengan standarku saja. 

Kedua, ranah pendidikan. Sampai di titik ini barangkali aku udah kehilangan harapan mencoba berbagai aplikasi beasiswa dan selalu gagal. Sekarang aku sadar, aku ngeset standar kampus dan beasiswa yang tak setara dengan standar naturalku, sehingga rasanya sangat kerenggosan mengikutinya. Aku perlu memikirkan untuk menyelaraskan standar yang kupunya dengan apa yang kampus dan beasiswa minta. Jika aku "bukan standar mereka", aku juga perlu sadar diri. Sesederhana jika mereka menstandarkan IPK 8/10 atau 3.5/4 tentu aku yang IPK-nya cuma mepet 3 koma sedikit gak akan mungkin nyambung. Penekananku selanjutnya, aku tak perlu kecewa dengan standar yang dibuat oleh mereka juga. Toh, aku punya resources-ku sendiri. Aku juga tak perlu berkecil lagi, mereka bukan standarku, standarku bukan mereka. 

Ketiga, ranah-ranah lain yang kupikir akan sangat luas kaitannya. Termasuk dalam hal konsumsi, memilih sahabat dan pasangan, moral, etika, spiritualitas, dlsb. 

Kesimpulan, semakin sederhana standarnya, hidupku akan jadi lebih mudah. Semakin aku bisa tahu standarku sendiri, aku tak harus menderita dengan standar yang dipasang orang lain. Semakin aku belajar, kualitas standarku akan berbicara dengan sendirinya, dan aku tak perlu memaksakan diri. 

Rabu, 23 Juli 2025

Catatan Film "Sore: Istri dari Masa Depan" (2025)

"Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dia dicintai." Jo

Aku ke Solo lagi, kota yang barangkali bisa kukenal dengan baik karena kedekatannya dengan Jogja. Aku dan tiga kolega kantor tengah liputan peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten. Peluncuran itu berlangsung secara formal, tentu berisik dengan suara kepala desa se-Jawa Tengah, ditambah kehadiran jajaran menteri dan presiden. Sepanjang perjalanan, aku cukup senang bisa melihat jajaran pegunungan Merbabu-Merapi dan teman-temannya. Melihat sawang menguning hijau dengan langit yang membentang biru juga membuat pikiranku lebih rileks sejenak dari aktivitas di Jakarta. Aku suka berada di desa-desa yang penuh dengan kesahajaan, yang kadang datang secara cuma-cuma.

Jika dinas di Solo, biasanya kami akan menginap di Swisbel. Menurutku, ini penginapan terbaik di Solo sejauh ini. Entah kenapa, semua suasananya aku suka, makanannya juga enak. Namun, karena tak sesuai pagu, akhirnya kami menginap di Hotel Solo Paragon. Penginapan ini satu kompleks dengan Mall Solo Paragon, ya, khas kompleks Superblok perkotaan yang apa-apanya menyatu dan jadi satu. Kamarku ada di lantai 15, dari lantai itu, aku bisa melihat Solo dengan leluasa sejauh mata memandang. Aku suka menikmati moment-moment perenungan seperti itu. 

Di tengah kegiatan random, konser Rony Parulian di Sarinah juga memberiku gema yang lebih panjang dari yang kuduga. Aku menikmati konten-konten reels Instagram tentang Rony sambil tidur-tiduran nge-chill, banyak video yang membuatku tertawa, bahagia, merenung, nyanyi diam-diam, hingga aku sepertinya sudah siap untuk jadi bagian keluarga WeR1, fansnya Rony, haha. Jiwa mudaku kembali bangkit, tak henti-hentinya Spotify-ku menyetel lagu Rony yang dia nyanyikan khususnya pas konser di Sarinah. 

Malam pertama di Solo, hal indah yang kukenang adalah makanan ayam kampung sambel dari Bakmi Bu Citro 1 Solo. Saat lagi lapar-laparnya, ada kolega yang mengirimkannya, rasanya enak banget. Aku kepikiran, suatu hari nanti, aku akan bawa orang yang kucintai untuk makan bareng di tempat ini. Semoga kedai yang berdiri sejak 1970 itu bisa panjang umur. Malam kedua, aku memutuskan untuk pergi ke Mall Solo Paragon. Aku berkeliling dari lantai satu sampai lantai paling atas. Setelah memikirkan kegiatan apa yang tepat kulakukan di mall ini? Akhirnya aku memutuskan untuk nonton film "Sore" yang viral di media sosial. Masih ada waktu sekitar 50 menit sebelum film dimulai, aku gunakan waktu untuk pergi ke gerai Watson tak jauh dari bioskop.

Di Watson, aku memutuskan untuk membeli kebutuhan perawatan diri. Selama ini, aku lupa merawat diri. Aku memutuskan berubah setelah menonton salah satu video Rony di Instagram. Video itu sangat berkesannya bagi diriku, termasuk juga salah satu komentarnya yang membuatku seperti bercermin. Ah, aku menangis, betapa aku tak sayang dengan diri sendiri. Makasi ya Rony, udah unlock hal mendasar dalam diriku. Ini hal sederhana yang kulupakan hampir setiap hari, untuk lebih care pada diri sendiri. Aku tak akan melupakan moment ini Ron. Seperti kata lagumu: "Bila surya pun tenggelam, tapi tidak sinarmu, tidak sinarmu..."

Lanjut cerita film....

Sore Edisi Series Youtube

Saat nonton ini di Youtube, tak butuh waktu lama. Keseluruhan ada 9 episode. Perbedaan yang kurasakan, di series lebih lucu, di bioskop lebih sendu. Di series, Tika Bravani yang berperan sebagai Sore cantik sekali secara natural. Sementara Dion Wiyoko bagiku dari dulu memang tak berubah. Dimulai dari perkenalan di tempat tidur, mengatakan ke Jonathan jika dia istrinya dari masa depan. Si Jo tak percaya, bilang ini akal-akalan Karlo, temannya di Italia. Latarnya diambil di Italia, mereka berdua pelan-pelan saling mengenal. Mulainya Jo denial, sampai Sore membuatnya putus dengan Elsa, pacarnya asal Spanyol di sebuah kafe.

Sore terus mengikuti Jo kemana pun. Dia meminta Jo berubah. Dari tak boleh merokok, tak boleh minum, makan makanan yang lebih sehat, dan berolahraga. Pelan-pelan Sore membuka semua rahasia Dion, Sore mengingatkan jika sekitar beberapa tahun dari sekarang dia akan bertemu dengan Sore di sebuah agen fashion desainer. Sore ini seorang stylist fashion dan desainer gitu. Sore akan selalu marah jika Jo nakal masih ngerokok, kerja sampai pagi tak kenal waktu, dan hidup tak sehat. 

Sampai si Jo kembali ke Jakarta. Dia mencari Sore dari temannya yang buka kafe, pacar teman di kafenya ini ternyata adiknya Sore. Jo ketemu Sore di sebuah pameran UMKM atau kerajinan seni gitu. Jo udah nyari di agen fashion tapi tak ada. Jo sejak ketemu Sore jadi lebih berubah, dia menjaga kesehatannya dengan baik. Lebih perhatian juga. Hal yang lebih lucu, saat temannya yang mendirikan kafe kasi saran agak norak ke Jo untuk melamar Sore lewat tarian dan koreografi. Jo bela-belain untuk ikut kelas nari dibantu para cheerleader-nya. 

Pas hari-H, aku pikir Sore akan mutusin Jo karena dia dilema dengan temannya yang memutuskan untuk jadi Ibu Rumah Tangga di tengah kariernya yang lagi nanjak-nanjaknya. Perempuan yang harus mengurus anak dan melepaskan mimpi-mimpinya. Namun aku salah, ternyata, Sore mengajak ketemuan karena dia mau minta maaf. Di kafe temannya itu, Jo akan melakukan lamaran dengan tarian. Eh, gak disangka cincinnya jatuh duluan. Sore mengambilnya dan langsung dipakai, tanpa basa-basi, dia udah bisa nangkap hati Jo, meskipun Jo belum bilang dia akan melamar Sore. Lucu adegan ini, sumpah lucu. Aku suka gaya Sore yang malah geli dengan cara-cara norak, wkwk.

Sore Edisi Bioskop

Cerita ini lebih kompleks, dan menurutku, lebih sedih, sendu, dan traumatik. Secara alur memang ada kesamaan, seenggaknya setengah film, tapi setengahnya adalah improvisasi dari yang ada di series. Setelah menontonnya, ada beberapa kesan yang kurasakan:

  1. Bagian Sore yang bolak-balik mati terus hidup, mati lagi hidup lagi, mengulang kejadian yang sama untuk berkali-kali membuatku jengah. Itu traumatik banget rasanya, sakit. Aku sepakat sama Sore, waktu paralel ternyata tak mengubah apa-apa dari waktu kita sekarang. Keinginan mengubah hanya bentuk egoisme manusia saja.
  2. Pas adegan Jo motret pemandangan senja, yang versi antara Sore ada dan Sore gak ada, aku langsung ngras maktratap, semacam langsung relate ke diriku. Gini konteksnya, kadang aku juga ngrasa halu ada suami yang datang dari masa depan, dan saat rasa itu ada, sebenarnya dia udah datang. Kita udah ngrasa, hanya fisiknya aja yang belum ada, tapi energinya masih ada. Gitu gak sih?
  3. Aku nangis pas adegan Jo ketemu Sore di akhir-akhir film. Saat Jo kembali ke waktu normalnya, dia seolah belum mengenal Sore tapi seperti sudah mengenal Sore di sepanjang hidupnya. Sore datang di pameran Jo terkait climate change dan beruang kutub. Sore ngritik foto-foto Jo awalnya, terus Jo bikin surprise pakai cahaya aurora yang kehijau-hijauan. Manis sih itu, haha. 
  4. Bagian Jo datang ke ayah kandungnya di Kroasia itu juga bagian yang nyesek. Saat ayahnya lebih milih hidup dengan perempuan lain di luar negeri, lebih mencintai anaknya yang bule. Aku seperti bisa merasakan perasaan Jo saat ayahnya sedang berkebun dan terlihat harmonis, tapi di sana, JO BISA MEMAAFKAN, dan menulis di balik foto dia dan ayah ketika kecil. 
  5. Edisi Sore yang main Sheila Dara membuatku lebih frustrasi secara alur. Dia sampai jadi desainer, ketemu Jo yang mau nikah sama Elsa. Sore ngukur baju Jo. Adegan di bus, di jalan, saat lari, saat nyuruh makan, saat berbahasa Spanyol, saat ke rumah ayah, dlsb. Kunci semua adegan ini cuma satu: Jika aku harus mati hidup ribuan kali, aku akan tetap milih kamu. Sore tahu, sebanyak apa pun masa lalu diubah, tak bisa menggantikan kenyataan sekarang. 

Ada beberapa analisis menurutku, kenapa film ini jadi salah satu pembicaraan publik:

  • Premisnya yang unik dan emosional. Tema utamanya cinta, kehilangan, dan takdir. Tim produksi film bisa buat ini dekat secara emosional dan ada kejutan alur. Kita seperti dihadapkan pada dilema takdir dan pilihan yang kita buat sekarang.
  • Aktornya kuat, baik Dion Wiyoko ataupun Sheila Dara dan Tika Bravani masing-masing punya karakter kuatnya sendiri. Mereka tak harus jadi satu sama lain. Mereka juga tak berlebihan. 
  • Film ini puitis secara gambar-gambar (scene-scene) yang ditampilkan. Tenang, sederhana, tapi juga dalam. Juga membangkitkan minat publik pada perjalanan waktu yang emosional. 
  • Sore mengangkat representari perasaa yang tak banyak diangkat. Meskipun ada kritik alurnya lambat, but, it's okey. Yang hidup di film versi bioskop menurutku adalah Sore, alih-alih Jo yang seakan pasif dan tak berkembang secara karakter. 

Temanku Nisa bilang, setelah nonton Sore, dia jadi refleksi banyak dan kayak orang plonga-plongo.  Kata Nisa: "kita jadi pengen ngasih yang terbaik buat orang2 terkasih gak sih, takute waktune tiba2 habis. aku tuh pas sakit bukan takut matinya, takut bikin sedih yang ditinggal. begitu sebaliknya aku jg takut ditinggal. ibuku bbne turun pas aku mau op, katane susah tidur..., gini2 yang bikin aku pengen sembuh. kayak e kalau kita gak ada yang mengasihi pengen mati aja gak sih. kalo balik ke masa lalu aku gak mau ngubah apa-apa sih wkwkwk." Aku sepakat dengan Nisa. Jika aku diberi kesempatan untuk ke masa lalu, aku tidak ingin mengubah apa-apa.

Sinematografi film ini bagus. Pemandangan luar negerinya keren-keren, apalagi senja dengan quote-nya yang membekas itu, yang kira-kira bilang, "Kamu tahu gak, kenapa senja itu indah? Karena dia tak selalu indah, kadang merah merona, kadang jingga, kadang orange sendu, kadang gelap, tapi langit tetap menerima senja apa adanya." 

Aku membaca beberapa buku tentang time traveler, entah itu bukunya Alan Lightman atau HG Wells. Cerita mereka lebih saintifik daripada film ini yang lebih dekat secara emosional.

Judul: Sore Istri dari Masa Depan | Sutradara: Yandy Laurens | Tanggal rilis: 10 Juli 2025 | Genre: Drama, Fiksi | Durasi: 1 jam 59 menit | Skenario: Yandy Laurens | Pemain: Dion Wiyoko, Sheila Dara, Goran Bogdan, Mathias Muchus, Maya Hasan | Produser: Suryana Paramita | Perusahaan Produksi: Miles Films 

Minggu, 20 Juli 2025

Catatan Buku "Arapaima" Karya Ruhaeni Intan Hasanah

Akhir-akhir ini, aku sedang melatih diri untuk membaca di ruang yang ramai. Ide ini tanpa kurencanakan, sebab beberapa buku ternyata sudah berhasil kutamatkan sekali duduk di Gajah Mada Mall Jakarta Pusat. Mal yang bagiku paling aneh dan unik se-Jakarta. Letaknya sebelum Grogol, tak jauh dari Harmoni. Di sana aku sering membeli buku di Gramedia, atau bazar buku, termasuk novela dari Ruhaeni Intan berjudul "Arapaima" ini. Aku menyelesaikannya sekali duduk. Biasanya aku akan nongkrong di lantai 2 mal bagian food hall, tapi malam minggu ini sangat ramai, sehingga aku cari tempat duduk di depan gerak Guardian. Sementara di lantai dasar, para cegil dan cogil manga sedang cosplayer, ada juga konser musik-musikan Jepang. Salah satu lagu yang dinyanyikan milik J-Rocks berjudul "Ceria" yang dinyanyikan menggunakan bahasa Jepang. Ada koreografi khusus juga di sana, aku mayan seneng ikutan goyang-goyang santai mengikuti ritmen mereka, haha.

Baiklah, kembali ke buku yang bisa kuselesaikan sekitar satu jam. Ya, hanya sekali duduk. Aku membeli buku ini karena aku mengenal penulisnya, meski tak kenal dekat, setidaknya aku cukup tahu dia di persirkelan literasi Jogja. Aku cukup penasaran dengan isisnya. Setelah membacanya, bagus dan cukup menjanjikan untuk dikembangkan lebih jauh. Gayanya memang kelihatan terpengaruh dari Budi Darma, dengan karakter-karakter utama yang problematik, toxic, suka membolos, mencuri, pelakor, dan biang masalah. Namun, di saat yang sama kita juga paham kalau dia adalah produk sosial masyarakat.

ALUR

Aku akan menuliskan alur yang kutangkap dari buku itu. Tokoh utama perempuan tanpa nama, sebut saja dia "Aku". Seorang pegawai di toko ikan yang bekerja dari pukul setengah sepuluh hingga delapan malam. Saat mendaftar di toko ikan itu, dia langsung tertarik dengan ikan besar asal Amerika bernama Arapaima (kau bisa melihat perawakan utuhnya di Google, meskipun di sampul buku juga sudah menggambarkan). Aku dengan cepat bisa menguasai berbagai jenis ikan. Di sana Aku bertemu dengan pegawai perempuan bernama Leni yang dianggap Aku sebagai orang yang songong. Namun, dengan Lenilah Aku akhirnya bersahabat.

Ketika diundang rujakan di rumah Leni, Aku mengetahui rahasia besar kondisi rumah tangga yang gagal. Leni ditinggalkan oleh suaminya sudah setahun. Alasannya karena Leni mandul dan tak bisa anak. Leni mengusirnya karena si suami menghamili gadis di bawah umur. Sampai-sampai orangtua si gadis itu menyembah-nyembah Leni agar suaminya diizinkan menikahi anaknya. Aneh memang. Di toko ikan itu, sering ada pengunjung yang aneh seperti anak kecil yang membawa permen dengan rasa kaus kaki busuk (entah bagaimana rasanya). Namun, anak itu seperti mendukung Aku yang punya satu ide gila untuk mencuri Arapaima. Sebab, ikan siluman itu membawa hoki.

Aku yang berumur 21 tahun, berulang tahu dengan membeli kue black forest di sebuah toko roti. Pegawai toko itu digambarkan dengan dimensi yang tak hitam putih. Aku merayakan sendiri hari kelahirannya, menyalakan lilin sendiri setelah mencari korek hampir setengah jam sendiri. Ketika perayaan yang cukup aneh itu, beyond self reward, tetangga kosnya bernama Rahma datang ke kamar Aku. Rahma ini tipe perempuan perokok, suka curhat kondisi rumah tangganya dengan suami Kak Pri, dan juga anaknya Putri. Aku jarang mendengarkan dengan seksama, hanya mendengarkan kisah awal dan akhirnya saja. Cerita Rahma ibarat asap rokok. Namun, entah kenapa, Aku selalu mengharapkan Rahma untuk datang mengisi kekosongan dirinya.

Meskipun Rahma dan Kak Pri sering bertengkar, karena masalah ekonomi, tetap saja setelah pertengkaran mereka melakukan hubungan badan. Suara lenguhannya sampai didengar Aku, sehingga suara volume TV harus dikeraskan. Twist plot-nya, tokoh Aku ternyata selingkuhan Kak Pri. Sebab ini, hubungan mereka dekat, termasuk Kak Pri membantu tokoh aku untuk mencuri ikan Arapaima. Direncanakan ikan ini akan ditaruh di kolam yang berhantu, yang katanya tempat untuk bunuh diri di sebuah perumahan sepi. Orang akan dikenakan biaya ketika menontonnya.

Tokoh aku pun terjebak pencurian demi pencurian. Dari mencuri tiga ikan warna hitam untuk kado ulang tahun, hingga mencuri Arapaima dengan dibantu Leni dan Kak Pri. Pencurian ini juga terjadi ketika Aku dan Leni main di sebuah mall. Mereka tanpa uang memasuki berbagai macam supermarket, tempat makan, dan mencicipi makanan di sana sampai kenyang. Mereka juga datang ke toko buku untuk lihat globe, atau juga mencoba treadmill. Aku punya teori, lantai paling bawah adalah serupa kehidupannya dan Leni. Mereka harus bekerja lebih keras dibandingkan orang-orang di lantai atas. Sebagai kompensasinya, Aku seperti mewajarkan pencurian itu.

Kasus lain yang dihadapi Aku ketika rusun empat lantai itu tiba-tiba ramai karena ditemukan lele dumbo di septic tank. Bau tai di mana-mana, dan yang memberikan benih lele di septic tank adalah Aku. Kepala rusun menghampirinya, Aku mengelakk. Aku selalu bisa mengelak. Hingga perselingkuhannya dengna Kak Pri juga diketahui Rahma, sebab kalung rantai lelaki botak itu ada di dekat akuarium ikan,

Pencurian Arapaima berhasil. Namun terjadi masalah lain, ikan siluman itu marah hingga hendak memakan manusia, para anak-anak SMA yang nakal. Anak itu menyebut Aku sebagai pelacur. Aku tiba-tiba menderita delusi, apalagi bos toko ikan yang centil juga sudah tahu siapa pencurinya. Dia disidang oleh bos yang malah melakukan perbuatan asusila pada tokoh Aku, sampai tokoh Aku menggeprek kepala si bos dengan salah satu akuarium ikan hingga berdarah.

Aku mengalami delusi. Tiba-tiba dunianya seperti berubah menjadi ikan-ikan, termasuk dirinya pun juga berubah jadi Arapaima. Dia begitu ketakutan: bosnya, kepala rusun, Kak Pri, Rahma, dan Leni, seolah semua mengepungnya. Lalu tamat.

ANALISIS

Novela ini menurutku menarik karena mengambil posisi karakter antagonis. Kupikir, jarang sekali penokohan di novel Indonesia yang mengambil posisi seperti ini atau yang karakternya mirip tokoh-tokoh Pak Budi Darma. Sehingga memberi horizon lain pada pembaca dengan sudut padang seperti itu. Tokoh Aku sebenarnya juga penderita depresi, klepto, dan itu terasa ngeblend dengan semua tingkah lakunya. 

Barangkali, yang kurang dikembangkan dalam buku ini menurutku adalah bos toko ikan. Entah kenapa, porsinya sangat dikit tapi juga bawa palu gada kasus yang mayan gede. Aku suka bagaimana Intan menggambarkan karakter-karakter perempuannya yang memang cerewet, banyak curhat, suka didengarkan, dan rentan menderita gangguan psikologi. Tokoh-tokoh perempuan di novela ini tidak hitam putih.  

Tiga kekuatan dalam novela ini adalah (a) narasi personal dan atmosferik, sederhana tapi menyentuh. (b) Representasi perempuan pekerja, yang digambarkan dengan spesifik dan gak klise, low key tapi tetap berisi. (c) Dinamika kelas sosial, keterasingan, dan pilihan hidup yang rumit. Kritik: Alur beberapa terasa mengambang dan tidak selesai, cenderung mengandalkan potongan-potongan suasana dan emosi, alih-alih suatu sambungan yang utuh.  

KUTIPAN:

"Mereka sebetulnya cukup baik, selain Leni tentu saja. Tetapi ini jenis kebaikan yang sangat mudah ditebak, seperti ramah ramah basa-basi seperlunya." (p. 5) 

"Aku percaya tidak mungkin ada orang yang benar-benar baik. Semua orang terlahir jahat sampai seseorang mengajarinya kebaikan." (p. 27) 

"Ekor mereka bergerak-gerak seperti kain tertiup angin." (p. 30) 

"Itu karena kau terlalu takut menghadapi kekuranganmu sendiri." (p. 61) 

"Tidak ada bedanya menjadi ikan arapaima atau menjadi manusia. Keduanya sama-sama terkutuk dan menyedihkan di hadapan manusia lain yang mengendalikan segala sesuatunya." (p. 92) 

Judul: Arapaima | Penulis: Ruhaeni Intan Hasanah | Penyunting: Amanatia Junda | Cetakan: Kedua, Mei, 2020 | Jumlah Halaman: VI + 98 | Penerbit: Buku Mojok Yogyakarta

Sabtu, 19 Juli 2025

What I talk about when I talk about Rony Parulian

I

Halte Sarinah penuh juga bos
Mas-mas beyond level
Gak papa gak jelas

Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025 

Aku udah jarang se-excited ini nonton konser lagi. Terakhir excited nonton konser pas lihat The Adams dan Pure Saturday. Aku merasa (perasaan sekilas) anak-anak skena indie lebih pemalas. Mereka bisa datang telat dan kayak gak masalah kalau telat nonton musisi mereka tampil. Ya, seselow itu mereka. 

Ini berbeda dengan musisi yang (aku menyebutnya) mainstream atau non-indie. Semisal yang kualami hari ini. Aku nonton Rony Parulian di Anjungan Sarinah, yang bahkan fansnya sudah datang dari sejak pagi atau udah nunggu dari jam 1 siang untuk dapat seat yang nais banget buat singing together

Aku datang habis Magrib, ditanya sama Pak Kos, "Mau kemana Isma?" 

Aku jawab, "Mau ke Sarinah, Pak." 

Dijawab lagi, "Ada konser Raisa ya?" 

Dalam hati, "Anjay, update banget bapak kos gue." Meski bukan Raisa yang mau kutonton tapi Rony. 

"Eh, iya Pak," jawabku. 

Dia berseloroh lagi, "Wah, harusnya dari tadi kamu datang."

Aku pun cuma cengengesan pesan gojek ke Sarinah. Pas sampai, shit-shit men, udah jadi lautan manusia di sana. Aku pun putar otak cari tempat yang bisa kelihatan panggungnya. Aku muter-muter Sarinah dari lantai satu sampai dua sampai balik lagi buat cari Skydeck di lantai tiga. Oh, gak keliatan apa-apa panggung di sana. Dah kek orang begok muter-muter Sarinah. Akhirnya menyerah saja di lantai satu. Sementara di lantai dua hingga halte transjakarta di seberang sana noh, udah penuh manusia, padal itu di tempat lain.

II

Raisa
Wkwk, cegil Rony Parulian mode on

Akhirnya aku mentok nonton dari sisi kiri panggung. Meskipun sebenarnya posisi ini cukup tolol, ternyata belakang panggung yang dekat dengan jalan raya lebih jelas bisa melihat bintang tamunya. Ini aku ketahui setelah Rony selesai dan aku nonton Raisa (meski sebentar). Namun, aku sudah tak menyesalinya. Sebab, dari posisi itu, aku bahkan bisa menemukan surga lain. Di depanku ada seorang pemuda dan dua temannya yang begitu menikmati konser Rony bahkan dengan duduk, sambil membelakangi Rony manggung. Gila ini sih. Dia begitu menghayati setiap lagu, dengan wajah ekspresif sambil memegang tangannya ke dada. Ih, gila, dia udah sampai level itu, cuk. Sementara aku cukup puas melihat Rony dari samping. Keren sih elu Ron, no debat, haha. Seneng aku nonton kamu nyanyi. 

III

Lagu-lagu yang dinyanyikan Rony Parulian di konser Sarinah.

1. Butuh Waktu

2. Dengarlah Cinta

3. Mengapa

4. Angin Rindu

5. Tak Ada Yang Sepertimu

6. Satu Alasan

7. Sepenuh Hati

8. Tak Ada Ujungnya

9. Pesona Sederhana

10. Tetap Bukan Kamu (Feat Raisa)

IV 

What I talk about when I talk about Rony: The more I listen to Rony, the more I want to join his fan club, WeR1, wkwk. His songs bring back memories of my high school days. They make this thirty-something woman, who feels old and pretends to be busy with work, feel young again. Your songs are amazing, Ron. Especially the music video for "Tak Ada Ujungnya" shot in Kamakura, Japan. You wore a pink suit and pants—such a perfect blend of feminine and masculine energy. Macho without having to shout macho. Good job, young man. 

Atau dengan kata lain:

Makin dengerin Rony, makin gw pengen daftar perkumpulan fansnya WeR1, wkwk. Lagu-lagunya mengingatkan saat masa-masa SMA. Membuat mbak-mbak 30an yang dah merasa tua dan sok sibuk kerja ini jadi muda lagi. Lagu-lagu lu keren banget Ron. Palagi video klip yang "Tak Ada Ujungnya" di Kamakura, Jepang. Lu pakai jas dan celana warna pink, itu kelihatan energi feminim dan maskulin ngeblend banget. Macho tanpa harus tereak macho. Good job anak muda. 

PS: Judul terinspirasi dari judul buku Haruki Murakami berjudul "What I Talk About When I Talk About Running". 

Jumat, 18 Juli 2025

Catatan Buku "Mademoiselle Fifi" Kumpulan Cerita Pendek Guy de Mauppassant

Buku ini aku selesaikan kurang lebih 25 hari seperti jumlahnya. Aku menyicilnya setiap hari satu cerpen, dan pengalaman membaca seperti ini memberikan ruang yang lebih longgar bagiku untuk lebih memahami isinya. Aku mencoba mengingat bagian-bagiannya, tokoh-tokoh dengan nama Prancis yang kurang familiar, dan juga konflik yang mereka alami. Secara sederhana, resume-nya adalah sebagai berikut:

  1. Bekal Perkawinan: Banyak tipe orang brengsek, salah satunya penipu yang mengaku dirinya kaya, mencerminkan jika dirinya kaya, tapi nyatanya dia tak punya apa-apa, bahkan merampok. Ini yang terjadi pada seorang perempuan yang bertunangan dengan perampok dan keluarga perampok. Bahkan, kedua orangtuanya sudah setuju. Keduanya sempat menjalani kehidupan yang menyenangkan di kota besar. Kemudian, si calon suami ini mengajak naik semacam dokar kalau di Indonesia, kendaraan yang tak patut bagi perempuan kaya dan elegan. Dia menuju kota besar di Prancis, tapi calon suami meninggalkannya sambil membawa koper besar berisi uang entah berapa juta Franc. Si perempuan menangis, merasa dicampakkan, dan mencurahkan yang dialami ke sahabatnya.
  2. Sebuah Vendetta: Sebuah cerpen yang tragis, yang terjadi di suatu daerah pesisir Italia. Seorang ibu menemukan anak laki-laki kesayangannya mati dengan cara mengenaskan di pintu rumah. Dia tahu jika pembunuhnya adalah orang Sisilia yang tinggal di seberang pulau. Ada lambang Vendetta di tubuhnya. Si Ibu sebelum mati juga, dia ingin balas dendam dengan cara tragis dan tak pernah terpikirkan akal sehat. Dia melatih anjingnya untuk mencabik-cabik daging, serupa dia mencabik-cabik wajah dan tubuh manusia. Metodenya dengan membuat anjing itu berpuasa, lalu saking laparnya, diberikan daging. Dia latih itu berulang-ulang kali sampai si anjing paham. Kemudian, setelah anjing itu terlatih, di bawalah ke seberang pulau, di rumah pembunuh. Dia lakukan metode serupa hingga membuat pria itu mati parah. Dengan cara itu, si Ibu Tua juga bebas dengan tuntutan, dan dia kembali ke rumahnya dengan tenang.
  3. Ayah Simon: Kehilangan ayah tentu pengalaman yang menyedihkan. Kesedihan ini pula yang dialami seorang anak yang pemurung. Anak ini tak punya teman, dia sering dibully karena tak punya Bapak. Anak ini melawan, ikut memukuli anak-anak nakal lainnya, tapi dia berada di titik putus asa. Dia ingin bunuh diri menenggelamkan diri ke sungai. Tiba-tiba ada pegawai bengkel laki-laki yang mencegahnya. Pria itu sangat baik, secara membujuk, dia bilang ke si anak, dia mau menjadi Bapak si anak. Ibu si anak adalah janda cantik yang jarang keluar dan mencegah fitnah. Akhirnya, si ibu dan si pria bengkel ini menikah. Rudapaksa yang hendak dilakukan anak-anak nakal itu pun berhenti, karena pria yang menjadi Bapaknya sekarang adalah pria kuat dan terkenal di desanya. Siapa yang tak kenal dia?
  4. Dua Sahabat: Ini kisah saat perang Prancis. Dua sahabat baik yang dipersatukan oleh kesamaan karakter menjadi depresi karena adanya perang. Mereka awalnya bertemu di sebuah pemancingan yang tak bisa dilakukan lagi ketika perang. Suatu hari, saat kota sedang kacau, salah seorang kawannya ngide untuk mancing bareng di sebuah daerah perbatasan. Kebetulan dia mengenal opsir yang berjaga, sehingga akan mudah dapat izin. Ide itu direalisasi, tapi tak jauh dari mereka memancing ada tenda tempat tentara perang sedang membangun kemah darurat. Awalnya mereka bahagia dapat ikat, kemudian mereka ditangkap tanpa alasan dan dianggap mata-mata. Mereka diinterogasi, semua tuduhan ditolak. Ini membuat mereka ditembak hingga mati dan mayatnya dilarung ke danau. Si pimpinan tentara kemudian dengan mudahnya mengambil alih ikan hasil tangkapan dua sahabat malang itu untuk dimasak bawahannya. Tragis.
  5. Malam Natal: Ini juga kisah tak kalah tragis. Kesenjangan kelas yang membuat seseorang bahkan tak punya apa-apa lagi untuk mempertahankan diri. Saat itu musim dingin, tokoh utama ada di sebuah puri besar dengan tungku api yang menyala. Bersama si tuan rumah, tokoh utama merasa bosan, apalagi hari itu malam Natal. Mereka merasa berkewajiban untuk merayakan malam Natal juga meskipun bukan umat Kristiani yang baik. Naas, desa sepi, orang-orang ada di gereja. Namun, ada sebuah rumah yang salah satu anggota keluarga meninggal. Orang yang meninggal itu adalah bapak tua yang baik hati. Dia meninggal karena penyakit orang tua. Melayatlah dua orang kaya itu ke gubug si tua itu. Di sana ditemui para anaknya, suami-istri. Si orang kaya ingin melihat peti itu, untuk memberikan penghormatan terakhir kali. Namun tak diperbolehkan, mereka semakin penasaran, apa sebab? Akhirnya terkuaklah jika mayatnya ditaruh di bawah (mungkin semacam kolong meja), bukan di atas tempat tidur. Sebab itu tempat tidur satu-satunya, anak-anaknya akan kedinginan jika tidak tidur di sana, dan mereka tidak mungkin tidur dengan mayat. Si orang kaya pun akhirnya memaki-maki dan pergi.
  6. Madame Baptiste: Barangkali, ini cerpen terbaik menuruku dari keseluruhan cerpen. Ceritanya sangat membekas di otakku. Si tokoh utama, seorang laki-laki hendak pergi ke sebuah kota dengan naik kereta api. Namun, semacam delay atau menunggu, dia punya waktu 3 jam yang perlu dia habiskan entah untuk apa. Ini seringkali kualami ketika bepergian. Dia pun membunuh waktu dengan bejalan-jalan. Dia bertemu dengan rombongan layatan jenzah peti mati yang hanya diikuti segelintir orang saja. Dia tak diupacarakan secara gereja, karena tak ada pendeta di sana. Si tokoh ikut rombongan itu dan menanyakan, apa yang terjadi? Lalu, di antara pelayat yang sedikit itu bercerita tentang riwayat hidup Madame Baptiste yang menderita. Dia diperkosa sejak kecil oleh pembantunya sendiri. Karena itu, dia pun dihindari seluruh anak-anak di sekolah dan lingkungan, seolah dia perempuan terjijik sekota. Sejak kecil, si perempuan telah kehilangan harga dirinya. Hingga suatu hari, ada laki-laki dewasa secara mental ingin menikahinya. Pria ini menerima apa pun kelemahan dan masa lalu istrinya. Madame Baptiste sangat mencintai suaminya, begitu pun suaminya. Suatu hari keduanya ikut semacam lomba, mereka menang, tapi ada orang yang tak suka. Orang itu menyingkap luka lama Madame Baptiste, keirian yang tak dapat ditanggulangi perempuan lemah itu yang akhirnya memutuskan bunuh diri. Suaminya sangat sedih dan menangis. Betapa hidup memang tak pernah adil. Lalu, si pengelana yang mendengar cerita itu pun belajar banyak dari kisah itu, akhirnya tiga jam penantiannya untuk kereta tak sia-sia. Cerita yang berarti dan menyentuh.
  7. Pengakuan: Buah dari kenaifan barangkali memang menjengkelkan. Ini yang dialami oleh Celeste. Ketika dia tengah memeras susu sapi bersama ibunya, dia tiba-tiba merasa kelelahan, merunduk, dan menangis. Ibunya dengan kasar bertanya: Kau kenapa? Celeste bilang jika dia hamil. Ibunya kaget, hamil dengan siapa? Ternyata hamil sama sais, si tukang pengendara kendaraan yang ditunggangi kuda. Celeste ketika ingin mengantarkan ternak dan susunya mesti naik kendaraan itu, yang dikendarai oleh sais itu, dengan bayaran beberapa Franc. Suatu hari, sais memberi pilihan ke Celeste, kamu bisa gratis asalkan kamu mau melakukan hubungan sebagaimana yang dilakukan orang-orang muda. Celeste awalnya ragu, namun, setelah bulan berganti bulan, dia terbujuk juga. Terjadilah tragedi itu. Ibu Celeste memarahi anaknya itu habis-habisan, dimaki-makinya si anak karena mempermalukan nama baik keluarga besar yang dikenal kaya dan harum.
  8. Rose: Cerita yang aneh. Seorang pembantu transgender yang melakukan tindak pidana kriminal pembunuhan di majikannya sebelumnya. Lalu, dia mencari majikan baru seorang perempuan yang cantik. Si trasngender ini tak kalah cantik, dia meladeni semua keperluan majikan perempuannya: menata pakaian, rambut, hingga memijatnya. Bahkan si pembantu juga bilang dia mencintai si majikan. Suatu hari, polisi datang dan melakukan penangkapan pada pembantu transgender itu. Kagetlah si majikan. Kisah ini si majikan ceritakan di sebuah festival bunga di Prancis pada teman perempuannya.
  9. Sepotong Kayu Bakar: Ketika sampai di cerpen ini, aku seperti mengamati jika cara penceritaan Guy de Maupassant lebih ke pola menceritakan ulang cerita. Pun di cerpen ini, ada dua sahabat yang sangat dekat tak terpisahkan, hingga salah satu di antara mereka menikah. Sahabat yang menikah ini bernama Julien. Suatu malam, Julien mengajak makan malam sahabat baiknya. Di sana Julien meminta tolong sahabat baiknya untuk menjaga istrinya, karena dia mau keluar barang sebentar. Namun, istri Julien adalah tipe perempuan yang suka bermain-main dalam hubungan. Menurutnya, tanpa main-main, hidup akan biasa-biasa. Dia ingin mengajak si sahabat Julien main api. Si sahabatnya benar-benar marah, dia menolak, hingga akhirnya Julien kembali. Untungnya, kejadian tak terpuji tak terjadi. Si sahabat Julien karena hal itu memutuskan untuk tidak pernah menikah.
  10. Rumah Kaca: Hubungan dalam rumah tangga yang saya kira agak tidak masuk akal karena pihak istri sesewot itu pada suaminya. Istrinya selalu cerewet, menuntut ini-itu, dan sering mencaci suaminya tanpa sebab seperti perempuan kelebihan hormon. Sementara pihak suami terima-terima saja, dia sangat lapang hati menerima semua kebawelan istrinya. Sumpah, ini tipe suami yang idaman banget. Sebenarnya, di antara kebawelan itu, si istri hanya ingin perut suaminya dikecilkan. Suatu malam, ada penyusup di rumah mereka. Penyusup itu menuju rumah kaca. Dikira istrinya pembunuh atau pencuri, ternyata itu kekasih pembantunya yang sedang apel. Suami-istri itu lalu memperhatikan pembantunya pacaran, hubungan keduanya kemudian baik kembali. Gaji si pembantu dinaikkan.
  11. Kumis: Membaca cerpen ini, suatu hari saya pernah mendengar cerita dari seorang kawan. Dia bercerita, ketika ciuman dan ada kumisnya ada semacam rasa geli. Di cerpen ini diceritakan secara detail bagaimana siginifikansi kumis dalam hubungan percintaan dan rumah tangga. Bahkan, si perempuan tokoh utama di sini rela menceraikan suaminya kalau kumisnya tak tumbuh-tumbuh akibat dicukur untuk semacam pertunjukkan teater. Bagi si perempuan, kumis itu semacam sambal dalam masakan, yang membuat hubungan apa pun jadi hot. Lebih berat lagi, kumis adalah lambang kejantanan pria Prancis. Suatu hari, ketika perang, tokoh utama menemukan kuburan tentara Prancis yang mati dan dikubur seenaknya. Mereka rata-rata berkumis.
  12. Pendendam: Dendam ternyata bisa berlangsung lebih lama dari semestinya. Ketika sekolah, Leuillet dan Souris adalah sahabat. Ternyata, keduanya jatuh cinta pada perempuan yang sama, Mathilde. Meskipun Souris lebih pendek, tapi dialah yang mendapatkan cinta Mathilde karena bisa menikahi perempuan itu lebih dulu. Suatu hari, Souris meninggal, Mathilde menjadi janda dan ia hendak mengambil alih peran menjadi suami. Ketika Leuillet dan Mathilde menikah, Leuillet selalu mengungkit-ungkit borok Souris yang sudah meninggal itu, lalu membandingkan dengan prestasi dirinya sendiri. Dari hal-hal sederhana terkait fisik, gaya di ranjang, sampai yang paling serius "perselingkuhan". Lama-lama, Mathilde gedeg dengan kelakukan Leuillet yang mengungkit-ungkit seperti orang sakit dan membuatnya tak nyaman. Apalagi ketika Leuillet mengatakan Mathilde telah selingku ketika Souris masih hidup. Sangking kesalnya, Mathilde menjawab secara berbohong bahwa dirinya selingkuh. Leuillet pun marah-marah, rumah tangga mereka pun hancur.
  13. Sang Pelindung: Cerpen ini berkisah tentang Jean Marin, anggota Dewan yang terhormat, yang suka membanggakan jabatan dan posisinya secara berlebihan. Setiap ucapannya harus ada diksi yang menunjukkan bahwa dia adalah anggota dewan. Suatu hari, ketika hujan deras dan dia akan ke kantor, dia bertemu dengan seorang pastor. Si pastor ingin menemui pejabat di kantor dewan. Lalu, dengan gobloknya, Jean Marin yang suka memberikan rekomendasi untuk berbagai keperluan ke dewan, memberikan surat rekomendasi dengan pastor yang baru ditemui itu. Jean menganggap jika pastor itu baik, tak tahunya, dia adalah bagian dari komplotan pemberontak yang ingin membelot pada negara. Ketika dia membaca koran pagi, dia kaget namanya disebut telah membantu pemberontak. Dia pun sangat menyesal dan mengklarifikasi kesalahannya itu. Sungguh, rekomendasi memang tak bisa diberikan kepada sembarang orang.
  14. Penantian: Seorang ibu yang menikah dengan pria yang tak dia sukai dan melahirkan seorang anak. Suatu hari si suami meninggal dan dia kembali pada mantannya. Si mantan meskipun juga sudah beristri dan berumah tangga, selalu datang ke rumah ibu yang telah menjadi janda itu. Mereka hidup seperti suami-istri juga, menggantikan peran suami dan ayah untuk anak semata wayang. Hingga di umur 17 tahun, si anak sadar siapa lelaki yang bersama ibunya tersebut. Si anak kabur sampai membuat ibunya sekarat. Memang kelemahan orangtua adalah anak itu benar. Ibunya tak menerima mantannya lagi dengan alasan apa pun karena itu. Dia menyewa pengacara untuk mencari kepergian si anak yang ternyata tak pernah ditemukan, meskipun bayarannya sangat besar.
  15. Kebahagiaan:  Tentang kebahagiaan suami-istri yang hidup sederhana sampai tua di Pulau Korsika. Awalnya, mereka menikah secara diam-diam dengan melarikan diri karena keduanya beda kelas. Si perempuan orang kaya, sementara si laki-laki tentara berpangkat rendah. Namun keduanya saling mencintai dan memutuskan untuk membangun hidup bersama. Si istri pun memakan makanan yang ada di pulau itu, memakai pakaian seadanya, dan hidup seadanya tak macam-macam. Dia juga tak punya keinginan atau mimpi macam-macam. Suatu hari, salah satu bagian keluarga si istri datang, dan betapa kagetnya ternyata dia anak yang hilang, yang dicari tapi tak pernah ketemu.
  16. Salju Pertama: Kisah sedih tentang istri dari sebuah desa di Prancis yang hidup sederhana. Kemudian dia menikah dengan pria kaya, seorang bangsawan, dan diajak tinggal di sebuah puri. Tempat itu mewah dan besar. Namun si suami hanya suka berburu hewan. Istrinya sering sendirian dengan merana. Dia ketakutan ketika musim dingin tiba, tak ada mesin pemanas di sana. Dia coba menyalakan api tapi tak bisa menghangatkan puri itu. Ketika suami tiba, istrinya meminta mesin pemanas, tapi tak diberi karena itu kekanakan. Bahkan suami mengejek, kamu belum pilek sampai minta mesin itu segala. Akhirnya, badan si istri dibuatnya sakit, hingga radang paru-paru dan dia kembali lagi ke desa. Di sana dia temukan kehidupannya yang damai. Namun, dia malah mendapatkan surat terkait mesin pemanas yang tak mau dibeli oleh suami. Si istri menangis. Itu adalah sisa-sisa akhir hidupnya, karena ia akan segera mati karena radang paru-parunya.
  17. Tempat Tidur: Cerpen yang menceritakan tentang pentingnya tempat tidur sebagai sebuah peradaban. Seseorang di sebuah balai lelang sedang menemukan para penjual pakaian thrifting bekas tokoh-tokoh besar. Salah satunya milik Louis VI. Ketika pakaian itu dibeli tokoh utama, dia menemukan di kantungnya ada lima surat. Empat surat pertama semacam undangan. Surat kelima istimewa, di sana dijelaskan pentingnya tempat tidur. Seluruh hidup kita rata-rata habis di tempat tidur, dari melahirkan, bercinta, hingga meninggal. Aku sama sekali tak kepikiran.
  18. Temanku Patience: Yang kutangkap dari cerpen ini tentang seorang perwira polisi bernama Patience yang tiba-tiba menjadi Orang Kaya Baru (OKB) karena usahanya. Lalu, kawannya di resimen bercerita terkait keberhasilan Patience yang suatu hari dia temui di warung kopi, saat Patience membaca koran di sana. Koran konservatif yang menunjukkan seleranya. Aku menangkap jika kawan yang berceita ini seolah merendahkan Patience atas pilihan-pilihan yang dia buat. Semisal soal pilihan arsitektur rumah, bacaan, perabotan, hingga istri dan perempuan yang mengelilingnya. Ketika main ke rumah Patience, ada kesan norak OKB yang ditangkap narator. Meskipun ada misteri terkait perempuan-perempuan di sebuah taman rumah Patience.
  19. Siasat: Terkait lagi-lagi perselingkuhan, dari 25 judul, perselingkuhan termasuk yang mendominasi cerita Mauppassant. Seperti di cerpen ini, tokoh utama Dokter Simeon datang ke seorang pasien perempuan yang kelihatan stress. Namun si dokter tahu masalah utama yang diderita oleh perempuan itu, dia punya selingkuhan dan terkena dilema moral untuk melanjutkannya atau tidak. Dokter ini cerdas karena dia menjelaskan masalah si perempuan dengan narasi lain. Yaitu, kisah Nyonya Lilievre yang menikah muda dan tampak tak menyukai suaminya yang kaya raya, karena fisik dan karakter si suami barangkali bukan tipenya. Nyonya Lilievre punya gendakan yang naasnya meninggal di kamar si suami. Dia memanggil dokter saat jam suami pulang untuk menyembunyikan jenazah gendakannya itu. Suami asli si tukang mabuk, dan akting dokter pun kuat. Dia bisa meyakinkan bahwa jenazah itu seolah-olah masih hidup. Si dokter bilang ke pasien perempuannya, jika kau punya masalah serupa, dokter siap membantu.
  20. Sang Pengganti: Entahlah, banyak karakter perempuan di cerpen-cerpen Maupassant mayoritas seperti perempuan sundal atau jadi korban keganasan laki-laki. Di cerpen ini, Nyonya Bonderoi seperti tante-tante kesepian yang membutuhkan dekapan lelaki. Lelaki-lelaki itu dibayarnya ketika sanggup melayani. Korbannya dalah dua orang prajurit dengan tampang yang lumayan. Prajurit pertama menerima tawaran si tante karena butuh uang untuk dikirim ke orangtua. Ketika prajurit pertama tak bisa, dia meminta bantuan temannya untuk menggantikan, karena jika dia tak datang, si tante akan menggantinya dengan pria lain, dan berhentilah kiriman untuk orangtua itu. Si teman prajurit pun mau menggantikan, dan dia juga menikmati transaksi itu. Akhirnya terjadilah perkelahian, tapi dengan metode win-win solution, si tante menerima keduanya, dengan jadwal yang berbeda, dan masih diberikan uang.
  21. Coco: Barangkali sudah banyak cerita terkait persahabatan antara manusia dan hewan, termasuk cerita Coco. Dia adalah seekor kuda tua yang dirawat oleh pemilik ladang dan perkebunan yang tekun. Coco dianggap menemani si pemilik ladang dari awal karier hingga dia sukses. Dia tak mau membunuh atau menjadikan kuda itu makanan meskipun dia sudah tak bisa apa-apa lagi dan cuma bisa merepotkan. Coco kemudian dirawat oleh pemuda nakal berusia 15 tahun bernama Isidore Duval. Anak ini sangat jengkel merawat Coco milik Lukas yang menghabiskan banyak pakanan di kebun. Fisiknya jelek sehingga dia jadi bahan olok-olokan ketika ngarit dengan kuda itu. Sebab kesal, pakanan untuk kuda itu dikurangi. Siksaan lain, dia membawa kuda itu ke padang rumput, tapi diikat di daerah yang tak ada rumputnya dengan jarak dari rumput hijau cuma beberapa meter saja. Isidore membuat Coco kesakitan dan kelaparan karena itu hingga si kuda itu meninggal. Lukas pun menyuruh Coco dikubur di tempat dia meninggal. Di tempat itu kemudian tumbuh rumput hijau.
  22. Kalung: Tak henti-hentinya Maupassant membuat ironi dari cerita-ceritanya. Termasuk kisah kalung ini. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang bekerja di Kementerian Pendidikan tapi miskin. Pejabat kementerian itu mengundang suami-istri (Bapak dan Ibu Liosel) itu ke sebuah pesta besar yang dihadiri oleh pejabat kementerian. Ibu Liosel ini tipe istri yang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki oleh suaminya. Dia mengancam tak mau datang karena tak punya gaun. Suaminya pun mengikhlaskan uang tabungan liburannya untuk dibelikan gaun si istri. Namun masih kurang juga, si istri butuh kalung berlian untuk dikenakan di tubuhnya. Suaminya kehabisan akal dan meminta si istri untuk pinjam temannya saja. Barang itu pun dipinjam dari temannya. Dia kelihatan menggelegar pada pesta itu, setiap pengunjung mengagumi kecantikan, keanggunan, dan kemewahannya. Namun, ketika pulang kebingungan, mereka naik delman butut yang hanya beroperasi kala malam. Sesampainya di rumah, barulah mereka sadar kalung itu hilang. Mereka sangat takut, mereka menyisir jalannya delman tapi tetap tak ketemu. Akhirnya, suami-istri ini pinjam kesana-kemari hingga menggadaikan semua yang dimiliki untuk membeli kalung di pasaran seharga 34 ribu franc itu. Mereka bekerja 10 tahun tanpa henti untuk melunasinya secara bertanggung jawab. Sebab itulah, watak Ibu Liosel berubah, dia kelihatan lebih tua dari usianya. Suatu hari, dia ketemu teman yang kalungnya diganti itu dan mengatakan jika kalung yang dipinjaminya itu sebenarnya palsu. Harganya tak lebih dari 500 franc, wkwk.
  23. Penunggang Kuda: Bercerita tentang keluarga keturunan bangsawan, Hector de Gribelin. Keluarga ini tinggal di apartemen miskin pinggiran Prancis. Suatu hari Pak Gribelin sok-sokan mengendalikan seekor kuda, mengajak keluarganya semacam naik delman dikenadarai kuda tersebut. Namun, ketika mereka ada di jalan utama seperti Arc de Triomphe atau Avenue des Champs Élysées, Hector menabrak seorang nenek miskin hingga dia nyaris lumpuh. Nenek itu dirawat di rumah sakit sampai sekitar sebulan dan keluarga Hector semakin miskin. Sebenarnya si nenek sudah bisa sembuh, tetapi karena miskin, dia ingin tetap sakit agar seluruh kebutuhannya dipenuhi oleh Hector. Akhirnya si istri menyarankan agar si nenek tinggal di rumah mereka saja, sambil istrinya bilang, "Ini kan bukan kesalahanku." Aduh lucu. 
  24. Pasien di Tempat Tidur No. 29:  Cerpen nomor 24 dan 25, berhubungan erat dengan Perang Prusia - Prancis di tahun 1870-1871, dengan Prusia menang dan Prancis kalah total. Seorang perwira yang suka mendandani dirinya sendiri, semacam pria salon bernama Kapten Epivent sebelum perang suka mengoleksi perempuan, dijadikan pacar atau simpanan seolah dia pria tergantung sedunia. Suatu hari, dia benar-benar jatuh hati dengan Irma, perempuan paling cantik sekota dan menjadi rebutan perwira dan prajurit. Epivent dan Irma jadian. Namun, perang meletus, Epivent harus ke medan dan Irma menangisinya. Hingga setelah perang selesai dengan tentara Prusia menang, Epivent ingin mencari Irma. Dia tak tahu perempuan itu ada di mana dan dia mendapatkan surat yang memberi kabar Irma sakit. Didatangilah rumah sakit itu, dia kaget Irma ada di bangsal pasien yang menderita sifilis. Epivent pun ketika menemuinya jadi jijik, apalagi terdengar rumor jika Irma telah tidur dengan banyak orang. Sementara Irma sendiri meniduri banyak tentara karena dia ingin balas dendam membunuh banyak tentara musuh dengan penyakitnya. Irma memaki-maki Epivent di akhir hidupnya, seharusnya yang mendapat lencana penghargaan bukan Epivent, tapi dirinya. Sebab Irma merasa lebih banyak membunuh dibandingkan lelaki salon sok kegantengan itu.
  25. Mademoiselle Fifi: Aku tak henti-hentinya berdecak dengan label yang Maupassant sematkan pada perempuan, semua perempuan di kumpulan cerpen ini. Sebab di cerpen terakhir, alih-alih aku membayangkan ini adalah sebuah kisah tentang Nona manis, justru sebaliknya, lelaki tentara yang berdandan mirip perempuan (Nona). Inti cerita yang kutangkap seorang kapten ingin membuat pesta kemenangan perang dengan bawahan-bawahannya yang terpilih. Di pesta itu didatangkanlah lima perempuan tuna susila bernama Rachel, Amanda, Pamela, dan dua lainnya. Si Rachel ini yang membuat ulah. Dia perempuan Yahudi Prancis yang tak tega negaranya diinjak dan dihina oleh tentara Prusia. Dia juga tak suka perlakuan binatang para tentara ketika foreplay atau pun cacian cabul mereka yang merendahkan. Pemberontakan Rachel pecah setelah dia menembak salah satu dari tentara itu, yaitu Mademoiselle Fifi. Rachel ternyata bersembunyi di bangunan lonceng gereja yang jarang dibunyikan, hanya dibunyikan ketika ada orang meninggal. Rachel kasihan sekali meskipun dia beruntung, kapten yang mengerahkan semua tentaranya tak bisa menemukan perempuan itu. Akhir cerpen ini berakhir manis, karena pastor gereja yang menjaga lonceng itu menikahinya dan dia hidup lebih bermartabat.

ANALISIS

Hi Pak Guy (baca: Gi), wajah Anda mengingatkan saya dengan Nietszche, termasuk kumis Anda. Tentu kumis yang Anda rawat sebagai jati diri perawakan Anda melambangkan simbol nasionalisme Prancis (saya mengiranya begitu), sebagaimana yang Anda ceritakan di cerpen "Kumis". Namun, aku ingin memberikan sedikit komentar tentang buku Anda ini, yang sudah diterbitkan oleh YOI. 

Pertama, buku ini Anda tulis dengan realisme yang tajam dan efektif. Sebagai tokoh utama realisme Prancis, Anda lewat buku ini mengukuhkan amatan Anda tanpa romantisasi yang belebihan terhadap ambiguitas dan absurditas masyarakat Prancis. Anda juga ekonomis tapi masih menyisakan emosi yang punya bobot makna.

Kedua, tak pelak, karya Anda ini adalah kritik sosial dan politik yang tajam. Trauma yang ingin Anda ungkap khususnya tentang penjakah Prusia atas Prancis, bagaimana perang merusak bangsa. Tokoh yang paling nampak adalah Rachel yang membunuh perwira arogan Rusia, simbol seseorang yang telah menghina rakyat Prancis. Anda di cerpen terakhir ini juga membalikkan stereotip terhadap perempuan sebagai makhluk lemah menjadi sosok yang punya keberanian.  

Ketiga, Anda mengangkat tema yang universal, seperti kehormatan nasional, ketimpangan kelas, perempuan, kemanusiaan dalam perang. Sebagai master of the short story, Anda menginspirasi Hemingway dan Chekov, yang ringkas, fokus, dan menggetarkan. 

Meski begitu, sebagaimana yang saya ungkap di awal bahwa representasi perempuan dan seksualitas yang Anda tampilkan melanggengkan stereotip perempuan sebagai objek seksual atau korban kelemahan emosional. Banyak sekali tokoh-tokoh perempuan Anda yang sangat problematik di buku ini, dari pelacur, tukang selingkuh, suka mencaci suami, atau singkatnya seperti pelayan lelaki. Satu lagi, seolah tak ada harapan kebanyakan: vulgar, frontal, dan muram.

Barangkali Pak Guy akan berkata, "Aku menulis karena dunia ini penuh kemunafikan. Jangan percaya dengan senyum ramah dan kata-kata indah. Dunia keras dan manusia lebih buruk dari binatang. Mereka cermin kita, kita semua pernah jatuh, dan itu kisah paling nyata." 

👍 Yang kusuka: 

  1. Alih-alih mengatakan sebatas dia cantik, Maupassant bilang: "Nona  Cordier sedap dipandang, segar, dan kesegarannya agak kampungan dan kecantikannya agak norak..." (p. 2) 
  2. Bagaimana dia menunjukkan status kelas yang berbeda dengan menulis: "dua orang perempuan yang kelihatannya orang penting dan penggerutu, dilihat dari sikapnya yang seolah-olah berkata: 'Kami memang di sini, tapi derajat kami lebih tinggi.' kumpulan orang tampak seperti karikatur dari sebuah museum benda-benda aneh, dan sebuah seri karikatur wajah manusia yang mirip dengan deretan boneka-boneka lucu di pasar malam, yang dirobohkan dengan bola-bola." (p. 7) 
  3. Aku suka bagaimana Maupassant mengambil ide-ide lain di kalimatnya, yang itu orang lain udah banyak tahu, tapi lupa disadari saja. Semisal, "Tidak mungkin memberi medali juara pertama kepada semua orang kan?"
  4. Frasa menarik: sikat di atas bibir, ciuman tak menarik tanpa kumis (dia semacam merica) 

👎 Yang tidak kusuka: 

Model peceritaan dalam penceritaan banyak diulang-ulang, seperti cerita dalam cerita. Kadang jenuh di situ. Seolah kita banyak ditawari masa lalu, daripada karakternya hadir secara present. 

🌻 Kutipan: 

"Flaubert melatihnya untuk mengamati kenyataan dengan penglihatan baru dan berusaha menggali hal-hal yang orisinil dan belum terjamah." ✨

"Ia selalu mempertanyakan: 'Mengapa ada penderitaan hidup? Aku selalu merasakannya karena aku memiliki 'penglihatan kedua', yang merupakan kekuatan sekaligus bencana bagi pengarang. Aku menulis karena mengerti dan aku menderita melihat semua yang terjadi karena aku terlalu banyak mengetahui." ✨

"Baginya dunia penuh dengan kekuatan membabi buta serta sulit dipahami. Agama dan persahabatan adalah tipuan belaka. Manusia tidak lebih tinggi tingkatannya dari makhluk lain.... Ia seringkali merasa seolah-olah dikejar makhluk misterius yang memusuhinya."

"Getaran-getaran roda-roda menjadikan pikiran lelah, sehingga mereka tampak seperti orang-orang tolol yang mengantuk." (p. 7) 

"Bau bekas air cucian peralatan makan menyengat dan menyebar dalam kereta... Kusir yang menyebarkan bau kandang... Gadis yang kakinya bau karena banyak berjalan..." (p. 8) 

"Di bawah raja-raja, kita perang dengan negara lain. Di bawah republik, kita perang antarkita sendiri." (p. 53) 

"Hembusan perkasa samudra memaksa pepohonan terbungkuk-bungkuk mengeluh, dan atap serta petunjuk arah angin meringis-ringis." (p. 62) 

"Kakek Fournel, si gembala tua, adalah selebriti daerah ini." (p. 63) 

"Aku tidak tahu mengapa pikiran mengenai Natal mendatangkan keinginan untuk mengobrol di tengah suasana sepi seperti ini." (p. 64) 

"Dengan air muka muram dan sedih serta wajah ketolol-tololan khas petani, mereka makan dengan serius tanpa mengucapkan sepatah kata pun." (p. 88) 

Peti yang atasnya melengkung seperti perut buncit, orang gereja yang berdoa dengan naif, menawarkan untuk "berbuat seperti mereka".

"Tiba-tiba aku merasa penat seperti habis berjalan kaki sejauh sepuluh mil. Lalu aku melihat sekeliling ku, seolah-olah di dinding aku bisa menemukan suatu cara untuk menghabiskan waktu." (p. 73) 

"Gelombang perasaan putus asa menyelimutiku. Apa yang bisa dilakukan? Apa? Tengah aku berpikir tentang kegiatan yang tak mungkin terelakkan, yaitu menghabiskan waktu berkepanjangan di kafe kecil stasiun kereta dengan segelas bir yang tak layak minum dan koran daerah yang tak layak baca, aku melihat sebuah iring-iringan kematian." (p. 74) 

"Rasa ingin tahu ku yang menganggur tiba pada kesimpulan yang paling rumit." (p. 75) 

"Namun, Anda paham kan, orang yang bunuh diri selalu dihubungkan dengan cerita lain." (p. 85) 

"Ayam-ayam dengan paruhnya yang pendekatan runcing, bebek-bebek dengan paruhnya yang lebar dan datar, mengeluarkan kepala melalui kisi-kisi keranjang, dan memandang dengan matanya yang bulat, bodoh, dan terheran-heran." (p. 93) 

"Tempat tidur, sahabatku, adalah keseluruhan hidup kita. Di situlah kita dilahirkan, di situlah kita bercinta, di situlah kita mati." (p. 218) 

"Kamarnya masih menyimpan seribu bau yang mencurigakan, tempat tidurnya meragukan, dan di dasar klosetnya yang dekil masih terlihat sehelai rambut." (p. 227) 

"Kira-kira, apa korannya? Judulnya pasti akan mengungkap pikirannya, teori-teorinya, prinsipnya, kebiasaannya, kejujurannya... Le Temps... Aku berpikir 'orang ini adalah orang yang bijaksana, serius, selalu mengerjakan kegiatan teratur, pendeknya borjuis'." (p.228-9) 

"Ruangan itu sarat perabot mahal, tetapi dengan selera norak orang kaya baru." (p. 235) 

"Mereka tidak kaya, namun hidup sedapatnya sambil mempertahankan penampilan." (p. 291) 

"Ia terdampar di situ seperti halnya banyak orang lain yang tidak dipersiapkan sejak awal untuk berjuang dalam hidup. Mereka melihat kehidupan dari balik awan, dan tidak mengetahui cara menjalani dan mempertahankan hidup. Dalam diri mereka, tidak dikembangkan sejak awal keterampilan spesial, kemampuan khusus, kegigihan berjuang. Kepada mereka tidak diberikan senjata atau alat untuk bertahan hidup." (p. 292) 

Judul: Mademoiselle Fifi | Penulis: Guy de Maupassant | Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (YOI) Jakarta | Penyunting: Ida Sundari Husen | Jumlah Halaman: xviii + 362 | Cetakan: Pertama, Februari 2004  | Penerjemah: Kolektif Program Spesialisasi Penerjemahan, FIB, Universita Indonesia