Film ini bukan untuk semua kalangan.
Jika ada award ide film terbaik yang telah kutonton sejauh ini, aku akan memilih film "Love Exposure/Ai No Mukidashi" (2008) sebagai pemenangnya. Semua perasaan campur setelah aku menontonnya: sedih, marah, lucu, sadis, senang, tragedi, psikopat, senonoh, bodoh, dosa, pendeknya, luar biasa. Selama hampir empat jam aku menonton, tak satu pun ada kejenuhan tiap menitnya. Semua tokohnya problematik dan masing-masing membawa alasannya masing-masing. Film ini hidup bahkan bukan karena kesempurnaan tiap karakter, tapi dari ketidaksempurnaan yang ditunjukkan secara ugal-ugalan. Kritiknya menerobos ranah agama, sopan santun, seksualitas, feminisme, hingga teori-teori psikoanalisis yang rumit.
Secara alur yang kuringkas dalam satu paragraf: film ini bercerita tentang imajinasi cinta ideal yang tak pada tempatnya. Alur diawali dengan kisah Yu Honda (Takahiro Nishijima) yang ditinggal mati ibunya. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar Yu menemukan perempuan yang seperti Bunda Maria. Ayah Yu selepas istrinya meninggal memutuskan untuk jadi pendeta Katolik. Namun, imannya tak sekuat yang dia kira setelah kedatangan Kaori, perek gila yang mengungkapkan ketertarikan dengan cara yang terbuka, bahkan dia hendak memperkosa si pendeta di gereja.
Oh, ternyata tidak muat dalam satu paragraf, oke lanjut ke dalam sub-bab saja.
Tiga Cegil yang Gak Ada Obatnya
Sepanjang film, aku menaruh minat dengan tiga tokoh utama perempuan yang kupadang sebagai cewek gila (cegil) yang gak ada obatnya, gak ketulungan, dan susah ditolong--karena gak mau minta tolong. Mereka adalah Yoko (Hikari Mitsushima), Koike (Sakura Ando), dan Kaori (Makiko Watanabe). Tiga karakter perempuan di sini bukan tipe Manic Pixie Dream Girl (MPDG) yang hadir untuk menyelamatkan pria kesepian, membosankan, dan unmotivational; mereka mendobrak semua tatanan sosial yang disebut sebagai "perempuan baik-baik". Mereka artistik bukan karena tampilan luar, tapi memang dari dalam, dari karakternya yang "anjir!", sebagai fiksi, ini keren parah.Aku akan memulainya dari karakter Maria kita, Yoko Ozawa. Hidupnya sudah amburadul sejak balita. Dia hidup bersama ayahnya yang kesepian. Ayahnya hendak memperkosa Yoko, dan anaknya terus melawan. Dia memandang jika semua laki-laki di dunia ini brengsek, kecuali Kurt Cobain. Yoko hobi bertengkar, terlebih bertengkar secara fisik dengan laki-laki. Dia seolah tak memiliki tempat aman, kecuali setelah kedatangan Kaori. Sebelum ayahnya meninggal, pelacur bernama Kaori telah menjadi simpanan ayahnya. Kaori pun suka dengan Yoko dan ingin menjadikan gadis itu anaknya. Kaori bersedia menjadi ibu sambung. Sementara di sisi lain, Yoko juga klik dengan Kaori karena karakternya yang terbuka, cenderung ceria dan tak punya beban, meskipun bebannya segunung. Yoko dan Kaori sering ke klub bareng, sambil nari-nari. Yoko menemukan sosok ibu di diri Kaori. Keduanya klop,
Berikutnya, of course, Kaori Fujiwara. Karakternya mengingatkanku dengan dunia lain yang sangat susah kucapai, karena sosoknya yang terbuka, ekstrovert, cerewet, impulsif, dan terlihat tanpa otak atau setidaknya tidak suka berpikir, bukanlah karakter yang nyaman untukku. Sebenarnya latar belakang Kaori tak terjelaskan dengan baik. Tiba-tiba dia hadir jadi jamaah di gereja ayah Yu yang bernama Tetsu Honda. Kaori tiba-tiba menangis dengan termehek-mehek hingga membuat Tetsu bingung. Tanpa tahu malu, Kaori pun melakukan tindakan-tindakan di luar normal untuk menarik perhatian Tetsu. Dia cinta dengan pendeta itu. Alasannya entahlah, tapi Kaori seperti menemukan Tuhan dan kedamaian ketika dia berada di dekat Tetsu. Sebab hubungannya dengan Kaori, akhirnya Tetsu mengontrak rumah di luar asrama gereja untuk menutupi hubungan kumpul kebo mereka.
Cegil terakhir, cegil sampai sumsum tentu tokoh antagonis puncaknya, Aya Koike. Aku belum pernah punya imajinasi semengerikan ini akan sosok karakter perempuan sebelum mengenal Koike. Masa lalu Koike kupikir lebih kelam daripada Yoko dan Kaori. Dia yatim piatu, hidup dengan pria yang melakukan kekerasan dan memperkosanya. Koike balas dendam dengan menghilangkan kejantanan pemerkosanya, dengan cara memotong kelamin si pemerkosa, membiarkannya hidup tapi dalam kondisi koma. Ketika terjadi kekerasan pada Koike, yang menemani dia hanya burung kecil warna hijau, sepertinya, hanya burung itu yang jadi teman setianya Koike. Perempuan ini membunuh banyak orang, termasuk siswa-siswa sekolah dengan cara menembaknya. Koike suka berganti-ganti sekolah, dan dia selalu memakai topeng malaikat untuk membalaskan dendam.
Koike juga bergabung dengan sekte gereja bernama Zero. Sekte sesat yang meminta pengikutnya untuk mengumpulkan uang donasi. Ada tiga level pengikut di Zero, dari pemula, pembisik, dan aktor. Mereka dijejali berbagai brainwash dari Alkitab. Ketika sudah di level aktor, sudah sulit disembuhnya, tapi ketika masih di level "pembisik", kemungkinan disembuhkan 50%. Ternyata, Koike termasuk senior dan jadi pemimpin Zero. Tak heran, dia kaya raya, punya banyak pengikut, mengumpulkan banyak orang dalam sebuah gedung besar yang difasilitasi dengan berbagai kebutuhan dasar mirip asrama.
Fotografi Menyimpang
Dari empat sudut pandang yang kutangkap dari film ini, pokok cerita lebih berat berotasi pada kisah Yu Honda. Aku benar-benar kasihan padanya setelah si ayah menjadi pendeta, bertemu Kaori, dan seolah meninggalkan Yu sendirian. Sebenarnya, dia anak yang baik bak malaikat, tapi dipaksa berubah menjadi setan dan monster oleh lingkungan terdekatnya. Yu mencari-cari dosa agar ayahnya memperhatikan. Dia bergabung pada gangster kota yang hidup nakal, semrawut, dan melanggar norma-norma umum. Termasuk untuk mendapatkan perhatian ayahnya, meskipun dengan tamparan. Yu juga bergabung dengan para senpai cabul yang mengajarinya memotret celana dalam perempuan.
Suatu hari, Yu dan ketiga sahabat dekatnya sedang main taruhan foto mana yang terbaik. Dalam taruhan itu Yu kalah dan harus berjalan di muka umum mengenakan pakaian perempuan. Lalu, Yu harus mencium salah satu perempuan di tempat umum itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, setelah lama pencarian Maria pesanan ibunya, Yu yang berubah nama menjadi Nona Scorpion, akhirnya bertemu Yoko yang hendak bertengkar dengan gangster suruhan Koike. Di sanalah, Yu membantu Yoko. Moment menjadi Maria pun terlihat jelas, ketika Yoko diberi kerudung (sepertinya ini diada-ada) dan dia merunduk dengan kondisi tangan berdoa seperti umat Kristiani. Yu dan Yoko melawan gangster dan mereka menang. Yu juga diminta mencium Yoko. Keanehan terjadi karena dari ribuan foto celana dalam yang dia hasilkan, tak ada satu pun yang membuatnya terangsang atau kelaminnya berdiri. Namun, setelah bertemu Yoko, hal itu terjadi.
Moment itu membuat Yoko jatuh cinta pada Scorpion. Naas, suatu hari, Kaori yang jadi ibu angkat Yoko datang ke rumah kontrakan Tetsu. Yu kaget karena ayahnya akan menikah dengan Kaori, melepaskan jabatan pendetanya, dan yang paling menampar, dia akan jadi kakak untuk Yoko. Cinta yang tak saling bertemu di banyak sisi. Di sisi lain, Koike yang jadi murid baru di sekolah Yu dan Yoko berpura-pura menjadi Nona Scorpion. Yoko pun menganggap dirinya lesbi. Koike pun sering menginap di rumah Tetsu di mana Yoko dan Kaori juga tinggal, mereka melakukan hubungan lesbi di kamar samping Yu.
Yu dasarnya memang karakter yang sangat kuat. Dia jadi cabul pun adalah seorang pencabul yang bermartabat. Ini kenapa yang membuat Koike suka dengan Yu, tapi Yu mencintai Yoko. Sebab Koike sudah dekat dengan semua keluarga Yu, akhirnya doktrin gereja Zero dilakukan. Yoko, Kaori, dan Tetsu ditempatkan di asrama untuk dilakukan pencucian otak. Dalam rangka menyelamatkan Yoko, Yu pun rela jadi bintang porno punya prinsip di sebuah agensi terkenal di Jepang. Dia tak mau melakukan hubungan badan, hanya mau memotret celana dalam, dan jadi pendeta palsu yang memaafkan orang-orang yang merasa berdosa karena mengkonsumsi hal porno.
Yu dan teman-temannya juga menculik Yoko di sebuah mobil bekas di dekat pantai untuk menyadarkan perempuan itu dari jebakan Zero Church. Namun, Yoko malah menceramahi Yu tentang kasih, yang bobotnya lebih besar dibandingkan banyak hal-hal baik jadi satu. Yoko tak sadar juga meskipun Yu sudah puasa makan untuk menemaninya. Hingga, Keiko yang karismatik dan sadistik itu datang "menyelamatkan" Yoko. Aku jadi ingat pengakuan Yu, bahwa dia adalah Scorpion. Yu untuk menolong Yoko juga jadi ikut anggota Zero Church, mengikuti ritual dan indoktrinasi mereka.
Namun, Yu tak sepenuhnya mengikuti aturan gereja itu. Dia diam-diam melawan, hingga puncak perlawanannya itu, dia mengubah pakaiannya jadi Scorpion. Yu mendatangi kantor pusat Zero Church untuk mengeluarkan Yoko, dan sepertinya hendak membunuh Koike. Koike sedari awal mencintai Yu karena dia mengingatkan Koike pada dosa asal Alkitab, Yu bagi Koike terasa dekat. Hari naas itu tiba, ada pengeboman di sana, perang samurai, dan yang paling tak masuk akal, tiba-tiba saja Koike bunuh diri dengan samurai. Aku tak tahu konteksnya, tapi bagiku ini kok pengecut banget, kayak bukan Koike. Tokoh ini memang menyebalkan jadi antagonis, tapi karakternya kuat, dan kayak bodoh banget aja gitu bunuh diri.
Dalam perang di gedung Church Zero, Yoko mencekik Yu hingga mengeluarkan air mata darah. Namun, Yu akhirnya selamat nyawanya, tapi jiwanya tak selamat. Aku cukup terguncang ketika mengetahui jika Yu berakhir di rumah sakit jiwa. Lalu, Yoko hidup dengan saudara jauhnya. Dia berubah, dan tiba-tiba setelah menonton VDC cabul Yu terkait memotret celana dalam, Yoko mendatangi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di mana Yu dirawat. Di sana, Yu jadi orang gila yang hendak perang menggunakan wardrobe Nona Scorpion. Yoko juga membawa pisau di sela pakaian dalamnya. Aku mengira Yoko akan membunuh Yu, ternyata, pisau itu digunakan untuk menakut-nakuit pegawai RSJ agar tak mengganggunya. Yu terguncang, dia yang overaktif dan reaktif jadi slow down ketika Yoko datang. Yoko mencoba mengingatkan Yu terkait dirinya sendiri. Aku senang film ini berakhir indah, setidaknya untuk protagonis film, Yu. Good boy yang nelangsa.
Melampaui yang Konvensional
Sebenarnya masih jarang ulasan terkait Love Exposure, karena cukup kompleks memang, bahkan untuk direview. Film karya Sion Sono ini kalau kamu mengeceknya di Wikipedia, memenangkan banyak penghargaan di dalam dan luar negeri. Sutradara berani mengeksplorai berbagai tema-tema kontroversial menjadi satu, dan disampaikan secara provokatif. Banyak hal sensitif disinggung, dari agama, seks, kekerasan, nafsu, pleasure guilty. Namun, yang menonjol dari semuanya menurutku adalah karakternya yang kompleks. Semua karakternya menarik, punya dilema emosional yang berbeda, punya pemaknaan akan eksistensi dan kebanggaan yang berbeda, dan ajaibnya, semua begitu hidup dan manusiawi.
Gaya visual yang diahdirkan Sion Sono juga eksploratif, struktur narasi yang tak biasa, durasinya ekstrem, dan memberi pengalaman imersif yang tidak konvensional. Aku merasakan kejutan-kejutan emosional yang kuat. Kritik terkait kepalsuan agama dimunculkan dalam sekte Zero Chruch, yang memanipulasi, dan gagal menyelamatkan manusia dari penderitaan. Genre film ini juga banyak, mungkin cenderung tak konsisten karena ada unsur komedi, romansa, action, drama keluarga, dlsb.
Dalam memonton film ini, ada baiknya ketika kita bisa memahami konteks pengetahuan yang ada di Jepang. semisal, soal upskirt photography yang proses kreatifnya memang datang dari koran-koran kuning. Lalu, inspirasi Zero Church sebenarnya datang dari sekte di Jepang bernama Aum Shinrikyo. Sekte ini juga menimbulkan pembunuhan berdarah di Tokyo. Sekte ini memadukan ajaran Hindu, Buddha, dan Kristen jadi satu.
Saat aku baca-baca, film ini ternyata lahir dari keinginan Sion Sono untuk membuat film agama, terlebih dia lahir dari keluarga Kristiani. Dia mengalami berbagai konflik batin, moralitas palsu, dan bagaimana agama membuat manusia tertekan (pertanyaan menarik, kenapa agama membuat orang tertekan?) Aku juga baru tahu, awalnya ini film mau dibuat series, tapi gak jadi. Sion Sono juga mengklaim di awal film, jika kisahnya dari kenyataan, meskipun sebetulnya fiksi. Potongan-potongannya memang kenyataan, tapi dia seperti kolase fakta-fakta dan trauma-trauma yang dijadikan satu.
Metode Sion lebih mirip kolase sinematik dengan menggabungkan potongan kejadian nyata, pengalaman pribadi, fenomena sosial, aib masyarakat, mimpi-mimpi, ketegangan batin, praktek spiritual, dan gagasan-gagasan nyeleneh menjadi satu. Pola umum ini bisa jadi karya yang mengagumkan jika diolah dengan baik. Bahkan sebagai seorang penulis, aku bisa mengambil pelajaran dari metode ini dalam proses penciptaan karya. Sebagai seorang kreator, seperti menggunakan "pengakuan" sebagai energi penciptaannya. It's worth to watch 'though.
Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini berporos pada bentuk cinta yang paling rusak sekaligus paling murni. Aku melihat Yu, Yoko, dan Koike dengan hidupnya yang masing-masing hancur, dengan agama yang dipalsukan, dengan tubuh yang dieksploitasi, masing-masing ingin mendapatkan cinta yang murni. Cinta murni dari ayah, kekasih, dan justru cinta ini memicu timbulnya dosa besar. Masing-masing juga bergulat dengan identitasnya, Yu berpura-pura jadi pendosa, Yoko membenci laki-laki kecuali Kurt Cobain, Koike ingin menyembunyikan masa lalunya yang hitam pekat di balik wajah pemimpin kultus.
Aku juga belajar bagaimana kekerasan sistemik dan struktural pada tubuh dan jiwa seolah dilanggengkan lewat praktik-praktik manipulatif, tidak jujur, dan bersifat menghancurkan diri sendiri. Kita bisa melihat dasar nadanya kemudian, segala bentuk cinta membutuhkan pengorbanan. Cinta soal keberanian menyerahkan diri, bukan soal memiliki.
Judul: Love Exposure/Ai No Mukidashi | Sutradara: Sion Sono | Genre: Laga, Roman, Komedi, coming-of-age | Tahun rilis: 2008 | Pemeran: Hikari Misushima, Sakura Ando, Takahiro Nishijima, Makiko Watanabe, Atsuro Watabe



.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)



.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
