Jumat, 30 Mei 2025

Catatan Buku "Manifesto Flora" Karya Cyntha Hariadi

Hai Kak Cyntha, ini buku ketiga kakak yang kubaca setelah "Mimi Lemon" dan cerpen Kakak di buku "Museum Teman Baik" yang keduanya diterbitkan oleh Post Santa. Di kumcer "Manifesto Flora" terbitan Gramedia ini ada 23 cerpen. Di tulisan ini, aku akan bercerita padamu langsung seolah kau membacanya. Aku akan bercerita kepadamu tenttang apa-apa yang berhasil kutangkap dari apa yang kau ceritakan. Motifku membaca buku ini sebenarnya sederhana, aku masih ingin mencoba masakan kakak yang lain lebih dari sekadar "Mimi Lemon". Bagiku, sebagai penulis perempuan, kakak punya pendekatan dan kedekatan yang khas, yang tak bisa diisi oleh penulis laki-laki atau setengah laki-laki.

Aku menemukan buku Kakak ini di Gramedia East Mall Grand Indonesia Jakarta di lantai 3 itu. Kukira layout-nya telah berubah drastis. Lebih modern, tapi entah mengapa rasanya aku lebih suka dulu. Mungkin aku tergolong orang yang romantis, ya, kadang aku tak meragukannya. Aku mulai ya Kak.

1. "Bapa, Ini Aku Grata": Tentang anak perempuan bernama Grata yang telah dipersembahkan ibunya ke gereja. Ibu Gatra selalu sedih dengan kenakalan-kenakalan yang dilakukan anaknya, terlebih ketika Suster Rosalin ikut campur. Konflik utamanya, bagaimana "Bapa" yang sosial sekaligus religus ini kakak permasalahkan. Ayah Gatra pergi tak bertanggung jawab begitu saja meninggalkannya. Sementara, Gatra gagap mengartikan ayah. Dia juga punya dendam kesumat dengan Suster Rosalin yang bengis dan mulutnya tak bisa dijaga itu. Bahkan Gatra kesal, suster setan itulah yang menamainya, yang berarti: perempuan yang diterima langit dan bumi. Kak, baca cerpen ini, aku ingat masa kecilku yang ambil air di sumur, lalu dituang ke bak mandi. Ambil airnya cukup jauh mungkin sekitar 500 meter. Kadang kalau cepat-cepat, airnya tinggal separuh.

2. "Apa yang Kau Tunggu, Ny. Liem": Ini cerpen yang paling kusuka Kak Cyntha. Tokoh Ny. Liem di sini sangat autentik, khas sekali manula menjelang usianya yang keseratus tahun. Ya, aku tahu hidup Ny. Liem berat. Dia semasa muda harus membesarkan Liong dan Liang, dua anaknya dengan berjualan baju keliling, sementara suaminya yang penjaga getek di sungai, tak pandai cari uang. Setelah tua, Ny. Liem ini sebagaimana adat Tionghoa, ikut tinggal di rumah kedua anaknya bergantian. Namun, entah apa yang Ny. Liem tunggu, dia ingin mati, tapi tak mati-mati, dan tiap kali mau makan, dia selalu lahap. Dia juga menyadari konflik kakak beradik Liong dan Liang, sampai memutuskan tali persaudaraan. Aku suka kemaharan Ny. Liem di akhir cerpen, "GOBLOK! KALAU AKU JAHAT PADAMU APAKAH ITU BERARTI AKU BUKAN IBUMU?!" Stunning tokoh ini, Kak.

3. "Tuan dan Nyonya di Jl. Abadi": Hm, perih lagi ini cerpennya Kak. Tentang seorang pembantu bernama Titin yang tinggal di rumah Nyonya (seorang desainer yang tokonya berada di Jl. Abadi) dan Tuan (seorang pengangguran yang ingin bangun bisnis tapi selalu gak jalan dan gagal). Yang menarik, bagaimana keduanya berbeda perspektif. Tuan menilai Nyonya mengekangnya, Nyonya menilai Tuan pemalas. Tuan ini juga tak banyak bicara, dia suka berburu sehingga Titin menemukan bedil di kamarnya. Tuan dan Nyonya punya anak bernama Amara, di mana Titin selalu membantunya membuatkan PR puisi, entah, kenapa Titin yang tak berpendidikan tinggi itu bisa buat puisi. Konflik lain, di sini Titin main serong dengan Tuan, lalu Nyonya marah-marah, membuat Titin minggat dari rumah itu.

4. "Mohon Tinggalkan Aku Sendiri": Ini juga unik, sudut pandang seorang Bapak yang sudah tua dan ditinggalkan istrinya. Dia mengirimkan email untuk ketiga anaknya, Ola, Mira, dan Guntur. Bapak ini kemudian menceritakan satu per satu karakter anak-anaknya, dari Ola si anak pertama yang merasa harus bertanggung jawab pada orangtua. Mira anak tengah yang seolah dianggap tak ada, dan tak diistemawakan seperti halnya anak pertama dan ketiga. Namun, anak ini paling sukses, dia jadi aktivis, tinggal di Australia, dan melebih saudara-saudara lainnya. Kemudian Guntur, kesayangan ibu. Dia menikah dengan orang Medan yang beda suku dan agama, tapi entah kenapa calon mertuanya saat itu mengizinkan. Lobi apa yang dibuat anaknya itu ayahnya tak paham. Di masa tuanya, si ayah ingin jadi manusia bebas, yang sudah tak ada tanggung jawab lagi. Keren juga POV ayah macam ini.

5. "Amerika I": Tentang pemudi, mahasiswa yang sekolah di jurusan (mungkin) Cultural Studies di Amerika Serikat. Dia merasa kesepian tapi juga sekaligus merasa betah, karena semua yang dia butuhkan ada di sini. Tokoh perempuannya khas Kak Cyntha sekali, aku membayangkan Kak Cyntha juga seperti ini karena tokohnya irit bicara, persis dengan tulisan-tulisan Kak Cyntha yang irit dialog. Si tokoh menunggu sahabat dekatnya Mamin yang menyambanginya ke AS dari Indonesia. Lalu mereka hang out dan ngechill bareng. Sayangnya, Mamin menderita penyakit kanker payudara, yang membuat payudaranya mengkerut penyakitan. Ini membuat suaminya tak lagi mau tidur dengannya, karena dia takut, dan akhirnya yang kutangkap mencari perempuan lain. Kasian Mamin. Saat perjlanan itu pula, si tokoh utama berteriak pada seorang Hispanik taik yang seenaknya sendiri, yang membuat tokoh mual.

6. "Amerika II": Melanjutkan tokoh perempuan kuliahan di AS, dosen si tokoh memberi dia tugas membuat film dan dikumpulkan sebelum liburan Thanksgiving. Si tokoh akhirnya ingin menggambarkan kehidupan manusia yang seperti mengenakan topeng, akhirnya dia memanggil seniman tari dan topeng beneran. Dia panggil penari laki-laki itu ke apartemennya yang berada di rubanah. Laki-laki itu dimintanya menari menggunakan topeng yang dipilih khusus: topeng bahagia. Si penari ini begitu pedenya, mengganti baju seenaknya di depan si tokoh perempuan. Usia perekaman itu mereka jalan sambil beli ice creaam dan foto-foto cantik. Lalu balik lagi ke apartemen, penari mengjarai tokoh perempuan menari, tetapi penari itu melewati batas, dia meremas payudara tokoh perempuan. Si tokoh perempuan tak berani teriak karena mana mungkin dia didengar, atau bagaimana jika penari ini membawa pisau dan pistol di tasnya? Dilema, setelah selesai dan penari keluar, si tokoh perempuan menumpahkan traumanya. Ya, meskipun tugas itu mendapatkan nilai tinggi. Gelap sih Kak Cyn.

7. "Bayang": Cerpen ini menurutku absurd Kak Cyn, tentang pulau garam (mungkin Madura, tapi bisa juga tidak). Di sana ada kisah percintaan yang absurd antara Salina dan Ali, yang juga sama-sama pekerja desa yang merawat tanah maritimnya, dan bersandar pada komoditas garam untuk hidup. Namun, ada pula kisah lain antara Romo Giri dan Mona, namun keduanya tak bisa bersatu, karena Romo kan gak boleh nikah. Di cerpen ini juga marak adegan Salina dan Ali ciuman. Aku juga tertarik kenapa judulnya "Bayang" sebagai kata benda dari "bayangan". Sejujurnya, aku tak begitu paham dengan pesan yang hendak Kak Cynthia katakan lewat cerpen ini.

8. "Melankolia": POV cerpen Kakak ini menarik, dari sudut pandang seekor anjing pada ndoronya, seorang perempuan yang suka membaca buku-buku puisi tiap pagi. Setiap bab yang ditandai paragraf yang berbeda ini serupa potongan-potongan moment ketika si anjing berinteraksi dengan pemiliknya. Aku suka dengan penggambaran bagaimana anjing ini sebatas jadi aksesoris di halaman belakang, meskipun aku lebih tertarik lagi dengan cerita-cerita non-antroposentris. Cerita-cerita kita begitu manusia sekali Kak Cyn, dan abai dengan kehidupan yang di luar manusia. Bahkan, majas pun kita manusiakan.

9. "Manifesto Flora": Pelik. Itu satu kata untuk menggambarkan cerpen ini yang juga kau gunakan untuk menjadi judul utama buku. Flora terlibat dalam keluarga yang sebetulnya home broken, ayah dan ibunya sibuk masing-masing dengan perusahaan mereka, melupakan anak-anak, dan waktu bertemunya hanya saat makan rambutan. Namun, ini pun bisa dirusak dengan tingkah melawan kakaknya Mahesa yang pemberontak dan seolah tak menganggap ayahnya ada, Mahesa di akhir cerita tak diakui anak. Sementara kakak kedua Flora bernama Ruby, gendang telinganya sangat tipis. Dia tak bisa mendengar hal-hal berisik, kupingnya sering disumpal headset, apalagi mendengar anggota keluarga narah-marah, iman telinganya tak sekuat itu. Sementara si anak bungsu Flora, dia di awal cerpen sudah membuat perjanjian, cuma boleh ada telepon rumah. Barangkali, rumah pohon memang tempat favoritnya. Meski di akhir cerpen dia paling menderita, menghubungi semua keluarganya tapi tak ada satu pun yang merespons. Sakit, Kak Cyn.

10. "Dari Terang Tiba-Tiba Hujan": Oh, ini juga kisah keluarga pula, tapi menyoroti kisah kakek dan nenek Satya. Mereka keluarga kelas menengah di mana Pak Wiranata suka main golf, dia tinggal di kompleks, dan masih punya power untuk mengubah sebuah taman kompleks. Namun, masalah utama di cerpen ini adalah cucu Pak Wira yang hitam, yang wajahnya tak seperti kakek nenek mereka yang putih. Mungkin malu, tapi di akhir cerita, Pak Wira akhirnya sadar dan menerima cucunya itu. Sementara Ibu Wira sering memberikan bacaan pada Satya alih-alih memperlihatkan tontoan kartun. Kakek, nenek, dan cucu itu suatu hari ke taman, mereka bermain-main bersama. Dramatisnya, Pak Wira kala hujan tiba juga mengajak Satya untuk main di taman. Pak Wira seperti berubah menjadi anak kecil lagi. Sementara ibu Satya di cerpen ini seperti tempelan, aku tak tahu alasan kenapa Satya menjadi hitam btw?

11. "Rumah Batu Kali": Gelap juga Kak Cyn, bahkan aku tak paham alurnya. Apakah rumah Ibu Kumala yang dibangun suaminya yang seorang arsitek di dekat kali ini meninggal atau gimana? Dan Ibu Kumala menyimpannya dalam rumah. Dari semua cerpen, ini yang aku paling gak paham Kak.

12. "Dokter Agnes": Nah, ini cerpen favoritku lainnya Kak. Entah kenapa, jurus kakak yang mengubah tata pikir atau arketipe linier manusia akan kecantikan itu seolah kakak balik total. Di sini dikatakan bagaimana sempurnyanya kecantikan Dokter Agnes yang seorang dokter kecantikan dan kulit itu. Kau bercerita tentang pasien-pasien mereka yang tak bersyukur atas wajahnya sendiri. Ada aja keluhan mereka tentang wajah. Agnes juga dipuja-puja kecantikannya, dia sampai diundang di acara TV untuk berbicara resep cantiknya yang sederhana: banyak makan sehat, air putih, olahrga, dll. Meski TV itu lancang menanyakan hal pribadi soal pernikahan. Setelah itu, Agnes memang menerapkan hidup sehat, setidaknya kalu lari satu jam tiap pagi. 45 menit untuk lari, lalu 15-20 menit berikutnya untuk menyapa hewan-hewan di kebun binatang tak jauh dari tempat Agnes lari. Penbaikan ini terjadi, selalu menjadi senjata Kak Cyntha untuk membuat plot twist, anak Agnes, Amanda wajahnya berbeda 180 derajat dengan ibunya. Dia sangat jelek, anaknya autis, dan Agnes menanggap itulah "kesempuranaan" sesungguhnya. Banyak orang yang pengen sempurna, dan Agnes jengah dengan itu.

13. "Dokter Arif": Arhg! Ketrigger aku kak dengan nama Arif ini, tak seperti namanya, di cerpen ini nama Arif justru bejat. Dia melakukan kekerasan seksual pada anak kecil yang menjadi teman main adik kandungnya saat main dokter-dokteran, dan Arif menjadi Dokternya. Arif melepas celana dalam anak perempuan itu, memberikan kain di selankangannya kemudian di tutupnya lagi, dan menganggap anak itu sembuh. Meski tak diapa-apakan, anak kecil tetaplah sadar jika dia telah dilecehkan. Pelecehan itu dilakukan ke anak yang secara taraf ekonomi lebih rendah dibandingkan juragan plastik. Saat ada TV baru, atau aku tak terlalu paham teknologinya apa, anak-anak dimiinta main ke rumah Arif, tapi si anak perempuan ini dilecehkan kedua kalinya dan lari. Namun, Tuhan memang adil, Arif di masa tuanya jadi gila, dan si anak perempuan yang telah menjadi dewasa itu menjadi jijik melihatnya. Meski tak dijelaskan dia seperti itu kenapa? Itu aja sih Kak, kadang bolong-bolong alur gini membuat pembaca berpikir lagi.

14. "Bekas Teman Baikku": Ini juga nyesekin Kak Cyntha! Aku bisa bayangin ginana rasanya jadi tokoh utama perempuan di cerpen ini. Anak yang dulu top di sekolah, berprestasi, sangat suka panggung, dan kelebihan terjadi padanya dari segi apa pun. Namun, semua itu ditampar oleh sahabat masa kecil yang dia sederhana, menerima hidup apa adanya, adiknya banyak sampai enam bersaudara, justru dia hidup di masa dewasa lebih sehat. Sahabat kecil ini bernama Juliana, dewasanya dia sudah sukses, dapat suami dan anak-anak baik; yang ini berkebalikan dengan tokoh utamanya yang tak menikah, percintaannya tak jelas bahkan pernah jadi simpanan. Setelah 30 tahun tak bertemu, mereka berjumpa lagi, dalam pertemuan itu Juliana sangat kaget melihat nasib sahabat kecil yang dikaguminya dulu. Tapi dia juga tak menanyakan lebih dalan terkait hidup yang dilalui sahabatnya itu, di akhir cerpen jadi sebuah tamparan keras, bagaimana Juliana justru memberikan bantuan uang pada sahabatnya itu. Teriris hatiku Kak Cyntha!

15. "Tante Tati dan Putrinya, Temanku": Damn, damn, damn! Kisah ini juga diceritakan dengan sangat apik oleh Kak Cyntha! Bahkan keluarga paling kokoh tanpa cela sekalipun gagal membuat masa depan anak jadi lebih baik, justru dia tumbuh dengan semua energi dan perspektif baik yang memakan dirinya sendiri! Perih ini jadi Paramita, anak Tante Tati. Si narator berteman baik dengan Paramita, dia tentu anak yang berhati malaikat seperti tanpa dosa, di pikirannya apa pun kebaikan. Namun, di sini juga kelemahannya, karena tak pernah merasakan kejahatan di dunia, dia menganggap semua pria baik, bahkan pacar-pacarnya yang berkelajuan anjing pun dianggapnya baik. Dari pemabuk hingga yang menghamili tanpa bertanggung jawab sampai akhirnya Paramita mati pun, Paramita masih berpikir baik. Ibunya merasa bersalah karena anaknya dibayangi akan menemukan suami sebaik ayahnya, yang itu ternyata tak bisa dia temui. Teman Paraminta inilah yang menulis kisah tentang Paramita dengan permintaan ibunda Paramita, Bu Tati. Teman Paramita tak bisa mengarang cerita, dia menceritakan kisah itu apa adanya. Salut Ka Cyntha dengan kemampuan membolak-balikkan hidup seperit ini.

16. "Setengah Perenpuan I": Kak Cyntha kembali lagi pada POV anak-anak, tentang anak laki-laki yang keperempuan-keperempuanan bernama Mesa. Dia ingin adik perempuan tapi ibunya tak bisa memberikan, sehingga dia main dengan tiga anak perempuan lainnya di sekolah dan membentuk gank bernama "The Lilies". Gank ini terdiri dari Mesa, Melati, Alma, dan Putri. Pemimpinnya adalah Mesa karena dia bisa menciptakan permainan yang kreatif, pintar, dan ahli gimnastik. Namun, orangtuanya keberatan dengan tumbuh kembang Mesa, karena ibunya menemukan surat dari Lily Heavenly (Melati), Lily Lavender (Putri), dan Lily Blossom (Alma), sementara Mesa sendiri Lily Melody. Akhirnya, Mesa pun dipindahkan sekolahnya agar dia berubah, ketiga kawan perempuannya sedih, termasuk guru mereka dari Selandia Baru bernama Bu Guru Jasmine, yang memperkenalkan mereka pada pekapeka dan menemani mereka membuat kebun binatang.

17. "Setengah Perempuan II": Aku membaca cerpen ini saat naik KRL menuju Depok untuk liburan, Kak. Seperti biasa, kisah-kisah Kak Cyntha mengiris. Berkisah tentang seorang menantu bernama Lidya yang memiliki mertua yang pendiam, tapi diam-diam penuh harap. Si mertua ingin cucu dari anak tunggal mereka Johan. Namun, Lidya seperti feminis lain, dia menikah bukan untuk tujuan prokreasi, tapi karena dia memang cinta sama Johan yang ditemuinya di toko bangunan. Lidya menganggap Johan seperti toko semen. Akhirnya, si mertua memancing Lidya lewat brosur untuk datang ke panti asuhan. Saat berkunjung kesana, terjadi chaos, anak-anaknya bertingkah laku di luar yang Lidya harapkan, hingga membuat Lidya kapok datang lagi. Dia juga menyimpulkan, dia tidak siap untuk diberikan karunia Tuhan berupa anak.

18. "Kau Tak Berhak Akan Dia": Ini juga seperti rangkaian dari kisah-kisah (maaf) orang autis yang dibenci lingkungannya. Dari POV anak berkebutuhan khusus ini, Kak Cyntha bercerita. Ayah kandung anak ini tak menginginkannya. Lalu si ibu menikah lagi dengan pelatih renang yang justru memperpanjang trauma si anak, menyiksana, dirudapaksa, hingga perceraian terjadi. Si ibu menikah lagi dengan Tuan Mari Makan, meskipun sepertinya baik, tapi tak kalah menjijikkan dengan banyak cincin dan giok di seluruh jarinya. Si anak terlambat dalam banyak hal terutama di bidang akademik. Dia juga tak punya cita-cita atau mimpi. Cita-cita diibaratkannya seperti sampah yang dia buang lewat jendela kereta saat perjalanan berlangsung, jleb ini sih.

19. "Dinda Bukan Puisi": Aku tak begitu paham dengan cerpen ini juga Kak Cyn. Singkat, si tokoh mengagumi Dinda yang sepertinya tak bisa didapatkan, lalu ceritanya menggantung. Dinda ini sesosok perempuan sempurna terutama secara fisik, tapi tak mudah, dia perempuan penuh misteri seperti puisi.

20. "Telpon Luar Negeri": Kisah-kisah dengan karakter manusia pengidap megalomania ini memang menarik juga dibahas. Aku sih amit-amit ya kak nikah sama orang berkarakter megalomania. Keputusan si ibu untuk tidak menikah dengan laki-laki megalomania yang katanya tinggal di Inggris, gaji 20 ribu poundsterling, dan punya istri penasihat ekonominya Tony Blair ini memang pengen kudamprat sekalian saking sebelnya. Pantas saja, POV si anak dalam kandungan bisa merasakan keresahan si ibu yang akhirnya meninggal saat anak masih kecil dan lahir prematur. Tentu ayah asli si anak lebih baik dari pria megalomania yang cuma peduli sama egonya sendiri, pelit, bahkan waktu tak mampu mengubah orang-orang seperti ini. Sebal aku, sebal.

21. "Rose": Aku membayangkan tokoh utama cerpen ini mirip seperti Rose Blackpink. Di cerpen ini, dia serupa OKB setelah menikah dengan konglomerat Mr. Cho, bahkan dia ditawari untuk beli rumah bentuk apa saja, serupa istana pun dibelikan. Dilema terjadi saat Rose berada di bursa properti, dia dianggap datang untuk memilihkan rumah bos, padahal dia merasa dirinyalah yang punya uang, dan penjaga itu cukup lancang menganggapnya demikian karena dia datang tak berdandan seperti orang mau kondangan. Akhirnya dibelilah rumah empat lantai, lebih dari satu hektar barangkali, yang diisinya dengan keluarga kecil, Mr. Cho dan anak perempuan yang sepertinya menderita ADHD bernama Amanda. Saat memilihkan sekolah internasional terbaik pun, Rose kebingungan, saking banyaknya iklan dan semua ingin jad yang terbaik. Namun, masalah Maureen, dia sangat aktif gerak dan nilainya hancur, meski PR yang dikerjakan di rumah dapat nilai baik (mungkin ada yang membantunya, curiga si guru pakai bahasa Inggris). Cerpen ini ironi lainnya, bagaimana anak yang diharapkan jadi lebih baik dari nasib ibunya justru menunjukkan tanda-tanda sebaliknya. Rose ini dulunya miskin, nama aslinya Rosminah. Keberuntungan mengubah nasibnya. Meskipun aneh juga Kak Cyn, darimana dia bisa berbahasa Inggris, dan keluarga Mr. Cho tidak ragu dengan latar belakang Rose? Padahal rata-rata orang kaya selektif banget dengan bibit, bebet, bobot. Keanehan lain, rumah yang dibeli begitu tak realistis.

22. "Kolokan": Kasus disabilitas diangkat ulang oleh Kak Cyntha. Ini tentang seorang ayah bernama Cahyo yang istrinya bernama Nindya divonis mandul, tapi malah si istri melahirkan anak laki-laki bernama Dirga. Cahyo adalah sopir taksi. Dia sangat senang mengettahui istrinya hamil, sering mengajaknya keliling kota pakai taksi, hingga istrinya melahirkan pun, dia sekuat mungkin hadir. Setelah lahir, sayangnya, Dirga mengalai kecelakaan saat main sepeda bersama temannya Iman. Kakinya dilindas truk yang membuat Dirga pincang hingga dewasa. Setelah dewasa, untungnya Dirga bukan anak yang membuat repot, dia bisa menghasilkan uang sendiri lewat internet dan hobi komik Jepangnya, bahkan ada perempuan yang menyukainya bernama Astrid. Penyesalan Cahyo di sini adalah, bagaimana dia begitu lama meninggalkan Dirga karena kerja, kesibukan dan tanggung jawab, mengaburkan cinta itu sendiri.

23. "Dua Perempuan di Satu Rumah": Siska yang telah enam tahun menikah dengan Norman, harus mengalami kesedihan tak terbayangkan karena Norman mati di jalan tol, tubuhnya hancur dan hanya menyisakan pakainnya saja. Selama masa berkabungnya itu, Siska mengelilingi rumah masa kecil Norman yang juga jadi rumahnya. Dia tak keluar kamar, bahkan saat lapar menuntutnya keluar. Namun, yang sedih tak cuma Siska, ada yang jauh lebih sedih dan kehilangan, dialah Bi Onah yang merawat Norman sejak kecil selama 36 tahun. Bi Onah tahu karakter Norman, rahasia-rahasia terdalamnya hingga kesukaan (makanan favorit) Norman. Bi Onah menceritakan semua hal itu pada Siska. Meski, hati Siska juga hancur, banyak pertanyaan memburunya, terlebih saat Bi Onah bilang pintu kamarnya jangan ditutup, karena Norman kecil tak bisa masuk (padahal udah meninggal). Yang lebih membuat perih, bisa-bisanya Bi Onah telah mencuci dan menyetrika pakaian terakhir Norman dari celana, atasan, hingga celana dalam yang Norman pakai? Yang bahkan Siska sendiri mual melihatnya. Yang menarik tentu pertanyaan-pertanyaan Siska, salah satunya, ada orang yang ternyata merasa jauh lebih kehilangan daripada dia. Dua perempuan itu ada di rumah yang sama.

👍 Yang kusuka:

1. Penceritaan subsconciousness, dia bisa menjahit tabu keseharian dengan baik. 

2. Konflik rumah tangga dan kekeluargaan yang begitu karib tapi tak disadari. Orang tak perlu cerita revolusi bahkan ketika isu sederhana saja bisa diceritakan. 

3. Tokohnya tidak karikatural atau sekedar tempelan. Tapi nyata dan autentik, terutama Ny. Liem. 

4. Isu kelas menengah yang dijahit rapi. 

5. Aku juga berpikir, sebelum penulis menulis ceritanya, dia sudah merancang terlebih dulu, efek seperti apa yang ingin dia tinggalkan di benak dan imajinasi pembaca. 

👎Yang tidak kusuka:

1. Ceritanya semuanya gelap, dingin, dan kadang ini membuatku sebagai pembaca lelah. 

2. Tapi ada juga tokoh yang karikatural: Niko dan Magda, Liong dan Liang. Ada tokoh yang bisa dikembangkan: Grata, Rosalin, Tuan, Nyonya, Amara, Flora, Ruby, Mahesa. 

3. Sangat irit dialog. 

💫✨⭐Kutipan dan kalimat menarik:

"Diam-diam aku memang menginginkan anak laki karena ingin melihat kemungkinan versi lain diriku yang lebih baik." (p.28) 

"Tanganku lebih terampil daripada otak dan temperamenku." (p.31) 

"Aku pernah cerita kepada Mamin bahwa orang-orang di sini suka sekali bicara walaupun isinya biasa-biasa saja." (p. 33) 

"... yang penting berani dulu, isi bisa diasah belakangan." (ibid) 

"Dugaanku, karena sering tersentil, ia lantas memberiku tanda plus." (p.36) 

"Mamin tertambat pada lukisan-lukisan John Currin yang menurutnya sangat memahami bagaimana mental mempengaruhi fisik perempuan." (ibid) 

"Tidakkah mereka seperti diriku juga, singgah kemudian betah? Asing kemudian biasa? Hilang kemudian menemukan diri yang baru?" (p. 38) 

"Kereta melaju bagai mesin waktu." (p. 42) 

"Jendela yang membolehkanku menikmati dunia luar.... "

"Matahari mulai berkemas pulang... Angin bungkam... Hujan memberikan kejutan sebelum pamit... Di taman, di bawah kubah pohon mangga."

"Anjing sebagai aksesoris lucu di halaman belakang. Dengungan kulkas dan AC yang konstan."

"Flora memeluk Flora." (p. 70) 

"Kulitnya putih seperti arang itu gelap." (p. 82) 

"Hanya kesan bersih dan profesional di ruangan itu." (p. 84) 

"Monyet sedang tidak mengagumi kecantikan Dokter Agnes. Mereka hidup di dunianya sendiri." (Isma: aku tertarik dengan jenis penceritaan yang di luar manusia, yang non-antroposentris) 

"Semuanya sama. Sangat memuja kecantikan, tidak ada yang memahami keindahan." (p. 88) 

"Juliana hanya rendah diri." (p. 94) 

"Aku tak ramah pada perubahan, begitupun perubahan padaku."

"Ia menonjol di sekolah karena dia nyaman menjadi biasa."

"Ia hanya berpikir praktis karena hidupnya selalu praktis."

"Tak mungkin orangtua Paramita kokoh itu bikin ulang."

"Anak yang teramat baik sampai setan-setan pun jatuh cinta kepadanya. Sudah melihat seringanya pun, anak ini masih berpikir setan itu lucu."

"Tergopoh Mama menggotong jemuran ke taman seperti seserahan kepada matahari."

Depok, 30 Mei 2025

Judul: Manifesto Flora | Penulis: Cyntha Hariadi | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Cetakan: Kedua, Agustus, 2024 | Jumlah Halaman: x + 163

Catatan Buku "C.S. Lewis" (Second Edition) Karya John C. Devenport

Aku menemukan buku ini di tengah euforia mempelajari pemikiran C.S. Lewis atau yang biasa dipanggil Jack. Buku biografi yang cukup memberiku gambaran diri yang utuh tentang hidup penulis Chronicles of Narnia ini. Di tulisan ini, aku akan berdiskusi dengan dua orang, John dan Jack.

Dear, John dan Jack, yang sedang mendengarkanku lewat tulisan... 

Dari buku John ini, aku menanggap gambaran besar hidupmu seperti ini Jack:

Yang kuingat ya, kau lahir dari keluarga menengah atas. Ayahmu bernama Albert Lewis dan ibumu bernama Flora Lewis. Orangtuamu adalah golongan Kristen taat. Ayahmu seorang pengacara, yang hidup dengan penuh keteraturan terhadap aturan. Sementara, ibumu sebaliknya, sebenarnya secara materi tak begitu kaya dibanding ayahmu, dari keluarga yang cukup bermasalah, sementara keluarga ayahmu tipe keluarga kokoh. Ibumu ini seingatku seorang penulis atau aktivis begitu kan, Jack? Dia jadi ibu rumah tangga, tapi sekaligus punya penyakit kanker yang menyebabkannya meninggal. Ibumu meninggal saat kau masih kecil, tragisnya, ibumu meninggal tepat di hari ulang tahun ayahmu. Sebenarnya, dari buku John, aku menangkap kesan jika orangtuamu tak saling mencintai segitunya. Kalian saling merawat pernikahan mungkin lebih tepat karena anak-anak.

Jack dan Warren
Jack, kau punya adik laki-laki bernama Warren Lewis. Kau dekat sekali dengan adikmu ini. Kalian dibesarkan dengan didikan akan pengetahuan yang sangat baik. Bersama adikmu, kau juga melakukan permainan yang menantang imajinasi sejak kecil. Bersama adikmu, kau juga menulis cerita-cerita terkait peta dan orang-orang yang tak tergerus waktu. Hidupmu cukup stabil di antara aktivitas membaca, belajar, dan yang paling kau suka, melamunkan tanah-tanah khayalan. Salah satu karya yang kau suka Jack, "Paradise Lost" karya John Milton, buku E. Nesbit berjudul "The Aunt and Amabel", Friedrich de la Motte Fouque berjudul "Undine". Kau juga mendengarkan Wagner dan membaca prosa-prosa Nordik, juga sastra Yunani seperti The Illiad. Kalu menganggap perpustakaan bukan sebatas ruang isi buku, tapi juga sebuah sangtuari.

Kau juga pernah dirawat oleh Lizzie Endicott yang memberikanmu sumbangan moral terkait dunia kekristenan dan moral. Lizzie memberikan pemahaman terkait pesan-pesan religi dan menekankan terkait kehangatan dan keamanan. Kalian tinggal di rumah bernama Little Lea. 

Namun, setelah kematian ibumu, ayahmu mengirim adikmu dari Irlandia ke London untuk sekolah. Sementara, seingatku, kau bersama ayahmu di sekolahan lokal (ingatkan aku John jika aku salah). Di sekolahan, kau menjadi salah satu murid terbaik, semua pelajaran kau peroleh dengan nilai tinggi, kecuali satu: Matematika.

Salah satu guru yang berjasa padamu adalah William Thompson Kirkpatrick. Di bawah bimbingannyalah kau diajari disiplin berpikir. Di bawah didikannya, perkembangan akademisku melonjak drastis. Kau jadi bisa lima bahasa (Yunani hingga Jerman), menguasai kemampuan untuk menganalisis literatur klasik, dan mendapatkan pemahaman lebih terkait ilmu-ilmu dasar penting. 

"Kirkpatrick’s underlying goal in constantly challenging  Jack was not idle torment, but to discipline his mind. The boy’s intellect, although formidable, was prone to recklessness. Jack thought quickly but often without a clear focus or direction; his mind was strong but clumsy. Kirkpatrick’s methods helped him put his intellectual powers under his own active control. He learned how to balance the rational requirements of serious study with an intense urge to let his mind wander into fantasy. Such maturity of mind would prove invaluable in the future." (p. 42)

Prestasimu ini juga membuatmu diterima dengan beasiswa di Oxford University, tapi ujiannya tak tuntas karena kau belum lolos di Matematika sehingga kau belajar lagi. Sejak kuliah, kau pindah tempat tinggal. Semasa di Oxford, kau menjalin hubungan romansa barangkali begitu ya aku nangkapnya, dengan seorang perempuan paruh baya yang berbeda usia 20-30 tahun denganmu. Ini beda usia yang jauh sekali Jack. Kupikir perempuan ini lebih tepat dijadikan ibumu. Kalian tinggal berdua di sebuah rumah, Jack, kau sangat kagum dengan tipe-tiper perawatan yang dilakukan perempuan ini. Perempuan ini bernama Jannie Moore. Kalian bahkan punya panggilan sayang sendiri, Jack dipanggil "Boysie" sementara Jannie dipanggil "Minto" (merek permen kesukaan Jannie). Lucu kalian.

Jack di antara David dan Duglas

Setelah akhirnya kau bisa masuk kuliah (tapi di buku yang lain, kata anak tirimu Douglas, kau tak menyelesaikan kulihmu? Konfirmasinya Jack), entah ada konflik apa, kau berpisah dengan pengasuh perempuanmu di Oxford. Kemudian, kau menjalin asmara dengan seorang teman bersuratmu bernama Helen Joy Davidman Gresham. Helen tertarik mendiskusikan karya-karya yang kalia angkat. Dia janda beranak dua keturunan Yahudi yang hidup di New York. Dia cerdas dan kalian sering berkirim surat, energi intelektual kalian bertemua, hingga karena tuntutan di Amerika, dia ingin pindah ke London. Sebenarnya, aku tak begitu menangkap kesan Helen pindah ke London gara-gara kamu ya, dia pindah untuk securing dirinya dan anak-anaknya, karena suaminya yang pemabuk dan toksik itu tak bisa diharapkan, sehingga mereka bercerai.

Kusuka posemu ini, Jack
Pertemuan inilah yang membuat kalian semakin lebih dekat. Kau dan Helen sering main bersama, memasak bersama, dan diskusi topik-topik berat berdua. Namun, Helen juga tak mengusik kebebasanmu. Kau masih bebas berkumpul bersama klub sastramu bernama Inklings (yang berarti firasat) seminggu sekali. Klub Inklings ini mengadakan pertemuan setiap Kamis malam (malam Jumat dong, wkwk). Berjalan selama 15 tahun dari 1934 hingga 1949. Kalian suka berkumpul di keda "The Rabbit Room of the Eagle and Chlid Pub" di Oxford.

Perkumpulan ini membahas tentang buku-buku dan tulisan-tulisan yang kalian tulis, selain kau, anggota lainnya adalah penulis The Hobbit dan Lord of the Rings, JRR Tolkien. Kau dan Tolkien bersahabat dekat, bahkan, Tolkien pernah mengkritikmu cukup parah terkait buku Narnia karena dianggap banyak mitos yang terasa bolong. Namun, di tulisan John, aku menangkap juga kalau Tolkien ini iri aja padamu yang bisa menyelesaikan Narnia tujuh buku dengan cepat sekitar 6 tahun, sementara Tolkien harus menyelesaikan Lord of The Rings-nya selama 7 tahun. Bahkan buku "The Voyage of the Dawn Treader" hanya kau selesaikan selama dua bulan. Ya, aku cukup peka dengan kadar iri hati yang semacam ini Jack. Aku seorang penulis, kawan-kawanku juga banyak penulis.

Helen dan Jack
Namun, aku juga ikut sedih karena Helen menderita kanker. Kalian menikah dua kali agar secara sipil Helen bisa diakui tinggal di UK. Pernikahan pertama tak begitu banyak orang tahu. Pernikahan kedua dilaksanakan di rumah sakit, waktu-waktu sebelum Helen meninggal. Akhirnya, setelah Helen meninggal karena sakit, beberapa waktu kemudian, kau menyusulkan Jack. Kalian bahkan berjanji akan mati bersama di bawah satu atap. Namun, warisan yang kau tinggalkan kemudian sangat abadi. Bahkan, abadi bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa. Aku ingat ada gagasan: buku anak-anak yang tak bisa dinikmati juga oleh pembaca dewasa ini sama aja buku yang gak berkualitas, kira-kita gitu yang kutangkap.

Peta Narnia
Oiya Jack, di buku ini John juga menulis kau pernah menjadi ateis, lalu agnostik, lalu teistik total. Aku cukup penasaran dengan perubahan ini, Jack, dan aku merasa belum terelaborasi dengan baik perubahannya. Bahkan di Narnia itu kan sebenarnya kau mau cerita terkait kebangkitan kekristenan, iya, kan? 

Apa yang kau pikirkan, Jack? John? Sepanjang inilah yang kutangkap. Jika aku bisa mengungkap, apa hal besar yang kupelajari dari buku ini, aku akan bilang: disiplin berpikir yang kau terapkan Jack. Aku percaya jika kemanusiaan adalah kekuatan dalam cerita. Buku adalah lebih dari sekadar buku. Mereka hidup dan itu juga kadang jadi alasan orang hidup dan mati. Bahkan, Thomas Jefferson bilang, "I live for books (aku hidup untuk buku)." 

Apa yang ingin kau katakan, Jack? John?

Judul: C.S. Lewis (Second Edition) | Penulis: John C. Davenport | Penerbit: Chelsea House Publisher, New York | Tahun Terbit: 1960 | Jumlah Halaman: 132

Catatan Buku "A Grief Observed" Karya CS Lewis

Buku ini terdiri dari empat bab. Menceritakan tentang kesedihan CS Lewis setelah kematian istrinya, Helen Joy Davidman Gresham atau disebutnya H. Baiklah, biar rasanya tidak mengambang, aku akan kembali menulis surat kepada CS Lewis yang akan dibacanya.

Hai Pak CS Lewis, aku telah membaca bukumu "A Grief of Observed", mungkin bukan sebagai pembaca yang baik, aku sebatas ingin tahu tentang apa yang ingin kau ceritakan. Setelah membaca buku ini, jujur aku serasa membaca diary Bapak setelah Bu Helen meninggal (semoga Tuhan memberkatinya). Aku cukup mendapat gambaran bagaimana latar belakang Bapak setelah membaca buku biografi Bapak berjudul "Who Wrote What: CS Lewis (Second Edition)" oleh John C. Davenport. 

Tapi, jauh lebih dasar dari itu: aku ingin mengenalmu. Aku ingin tahu bagaimana ajaran agama mempengaruhimu sedemikian rupa dalam berkarya. Itu kenapa aku membacanya. Untuk membaca sesuatu, aku kepikiran untuk menggali lebih dalam apa motifku? Dan apakah aku mendapatkan gambaran itu setelahnya? Dan ini akan kukatakan padamu sejujur yang kubisa. Aku akan mencoba menguarainya.

Pak Jack (aku memanggilmu ini saja daripada Lewis), jujur aku kelelahan membacanya, sebagaimana mungkin emosi saat kau menulisnya. Ini sebenarnya rasa yang membuatku tak cukup nyaman. Aku tahu tulisan ini semacam katalismu mengurai tema besar kematian. Di awal-awal cerita, kau bilang malas bertemu orang, kau menanyakan banyak hal tentang kematian, kau berandai-andai jika saja H masih hidup. Namun, aku tertarik dengan pertanyaanmu: Jika orang lain bilang pada seseorang yang telah ditinggalkan kekasih selamanya dengan kata 'dia akan bahagia di surga', bagaimana dia bahagia sementara meninggalkan orang yang dicintai lainnya menderita? Kupikir itu hal yang egois, sama seperti yang kau pikirkan.  

Sebagai seorang Apologer, kulihat betapa kau sangat memuja istrimu sebagai perempuan yang "Tajam pikirnya, jelas ekspresinya, dan seorang Kristen yang teguh dan tekun." Bahkan dia setara denganmu, H sangat pandai mengcounter sesuatu yang bolong, menanyakan ulang konsep-konsep yang rapuh, dan kau bisa merasakan jika kau tak bisa membohonginya. H akan dengan cepat mengetahui seseorang bohong atau tidak sebaik dia mengingat buku-buku. 

Tak hanya itu, dia juga pandai menutupi rasa sakitnya, kankernya, dengan aktivitas atau pemikiran yang tak menyusahkanmu. 

Kau juga mengeluh bagaimana menderitanya orang yang kesepian. Otak orang kesepian tak pernah berhenti. Namun, tubuh tidak bisa berbohong. Pikiran bisa saja bersimpati, tapi tubuh tidak. "Makanya tidak heran mengapa orang yang kesepian jadi tidak rapi, kotor, dan menjijikkan," katamu. Aku sepakat Jack, karena aku mengalaminya pula ketika aku buat cermin tentang kondisi kosku sekarang. Pikiran tidak pernah statis, tapi fisik iya. Pikiran bisa mengelak tapi fisik tidak. Fisik bisa merasakan kesakitan 20 kali lipat yang dialami pikiran.

Di buku ini, aku juga sama sepertimu Jack, aku pernah mengumpatinya, bilang jika Dia adalah zat yang sangat sadis. Meskipun selanjutnya kau sadar, jika manusia memang sejenis makhluk yang tak bisa hanya diberi senang. Jika dia sakit, dia perlu ke dokter, tapi jangan bilang dokter membenci, serupa Tuhan, dia mengobati dosa-dosa yang manusia lakukan. Kukira kau ingin bilang begitu bukan Jack? Atau aku salah?

Kau bilang, "Beethoven menjadi tuli waktu dia di puncak ketenarannya. Lelucon yang tidak lucu bukan?" (p. 33) Ini seperti yang terjadi pada Helen, menemukan cinta sejati, tapi justru mati dengan cepat (tak lama setelah menikah denganmu di rumah sakit). Sama dengan yang terjadi pada manusia. Dia tidak pernah memainkan nada yang persis dua kali. Aku juga cukup mengerti dengan alasan mengapa kita justru kabur ketika melihat orang-orang yang dekat dengan kita, dibanding mereka yang tak terlalu kita kenal. Kau bilang dengan bahasa yang sangat tepat:

"Kita telah melihat wajah-wajah mereka yang kita kenali dengan baik dalam berbagai ragam, dari begitu banyak sudut, dalam beragam pencahayaan, dengan berbagai ekspresi--berjalan, tidur, tertawa, menangis, makan, berbicara, berpikir--sehingga semua kesan itu berdesakan dalam memori kita dan menyebabkan kenangan itu menjadi kabur." (p. 30-31)

Kupikir juga begitu. Kau pun sebenarnya menolak rituas-ritual simplisitas berupa, "Merawat makamnya berarti mengunjunginya." Kau menanyakan ulang, bagaimana dengan ingatan yang lebih kuat? Pun ketika misal H, "dia tidak hidup di dimensi enam puluh detik per menit..." Kau tahu sebenarnya dia ada. 

Di buku ini kau juga menjelaskan kegelisahan emosinalku terkait sikap-sikap orang yang menemukan validasi dan pembelaan lewat agama. Katamu, "Jangan bicara padaku tentang penghiburan dalam agama, atau Anda tak mengerti apa-apa." Kenapa aku sangat setuju ya, Jack? 

Aku tertarik dengan pengantar buku ini yang bilang, "Namun kenangan kita, meskipun sangat berharga, bolong-bolong seperti saringan, dan pelan-pelan kenangan itu akan menghilang." (p. 7) Aku langsung ingat dengan keluargaku. Di ceritakan pula oleh anak tirimu Douglas H. Gresham, "Jack punya kemampuan intelektual setara dengan H, terdidik dengan baik seperti dirinya. Mereka punya kesamaan lain: sama-sama memiliki daya ingat yang kuat. Jack tak pernah melupakan apapun yang telah dibacanya, begitupun H." Persis kualitas pasangan yang kuinginkan. Aku juga tahu beberapa penulis favoritmu yang lain seperti: E. Nesbit, Sir Walter Scott, Rudyard Kipling.

Ya, kita manusia, selagi dia masih mengenakan tubuh itu, kupikira akan banyak tarikan tubuh dan jiwa atau hitam dan putih atau bahagia dan sedih atau serupanya. Namun, di buku ini Jack, aku ingin bilang, aku salut padamu, kau menyalurkan rasa gelisahmu lewat tulisan, dan menjadikannya abadi. Mungkin ini bukan buku tentang kematian terbaik yang kubaca, tapi di sini kau menyumbang ide dan gagasan bagaimana ode dan duka cita berjalan, kekuatannya, ini kau alami sendiri.

Maaf, Jack, sebenarnya di buku ini aku sulit bersimpati padamu karena barangkali aku belum mengalami fase yang kau alami. Secara keagamaan dan struktur kepercayaan pun kita berdua berbeda. Sebagaimana ajaran Advaita Vedanta, kupikir yang kita alami ini maya. Sementara kau masih saja menganggapnya nyata. Seharusnya kau sudah bebas Jack? Ternyata belum. Kupikir, kau sudah tenang bersama Helen di apa yang disebut "Surga" itu Jack, dan mungkin kau bisa merevisi ulang bukumu ini setelah vakansi dari sana. Lalu, memberitahuku apa-apa yang menarik. Oh, salam untuk H. Dia perempuan yang sangat keren.

Judul: A Grief Observed (Mengupas Duka) | Penulis: CS Lewis | Penerjemah: Trivena | Penerbit: Pionir Jaya | Jumlah halaman: 80 | Cetakan: 1, April 2020

Kamis, 29 Mei 2025

The Chronicles of Narnia Part 6: The Silver Chair (Kursi Perak)

Buku ini kuselesaikan dengan relatif singkat, cukup ekspres aku membacanya. Banyak imajinasi segar meski menurtku kadar imajinasinya masih kalah dengan seri kelima. Namun di sini aku hidup, aku terlibat, aku benar-benar iri bagaimana CS Lewsi bisa membuat pembacanya terlibat, bukan sebagai turis yang membaca cerita. Kemampuan ini yang kupelajari betul darinya, sehingga hari Selasa lalu aku memutuskan untuk membeli tujuh bukunya yang lain via Shophee.

Seperti biasa, aku akan menceritakan ulang apa yang kutangkap dan aku pahami dari buku ini kepadamu. Jika dulu aku merujuk "kepadamu" ini umum, maka aku khususnya, yang kumaksud "mu" di sini adalah CS Lewis langsung, jadi aku akan menulis tulisan ini untuk CS Lewis. Aku akan membayangkan dia juga membaca tulisan ini dan mengapresiasinya, dia bisa setuju, tidak setuju, dll, jika dia masih hidup, tentu aku akan sangat senang ngopi seminggu sekali bercerita tentang tulisan fantasi yang kutulis atau dirinya tulis. Oh, iya, aku baru juga menyelesaikan buku biografinya di buku berbahasa Inggris, semoga sempat kutliskan juga. Okay, kembali ke CS Lewis dan Narnia bagian enam.

Hai Pak, hai Sir, setelah aku membaca buku ini, aku punya imajinasi lain tentang negeri di bawah tanah, terutama para gnome dan earthman. Kau juga mengulang kembali situasi gelap, hitam total, yang ketika membuka atau menutup mata tak bisa dibedakan. Aku tak begitu tahu tujuan pastinya, tapi kalau boleh kumenebak, ini pertanda dosa yang sebenarnya dengan ketetapan dan kesadaran, kita bisa keluar darinya dan menuju pencerahan. Atau seperti kutipan yang kubaca di halaman x terbitan Gramedia (entahlah, aku belum bisa menemukannya, nanti aku kembali). Oh, mungkin ini, di halaman 234, mengutip penyihir:

"Kau sudah melihat lampu, jadi kau membayangkan lampu yang lebih besar dan bagus dan menyebutnya matahari. Kau sudah melihat kucing, dan sekarang kau ingin kucing yang lebih besar dan bagus, dan itu kau sebut singat ... Dan lihat saja bagaimana kalian tidak bisa mengembangkan imajinasi kalian tanpa mencontohnya dari dunia nyata..." Kalimat ini menarik, Sir, menarik banyak ruang imajinasi yang belum kuolah betul dari kenyataan yang tampak apa adanya. Tak hanya mengembangkan, kurasa manusia juga bisa membuat aneka kemungkinan terhadapnya, plus, minus, kali, bagi, pangkat, dst.

Aku akan memulainya dengan karakter ya Pak. Di sini ada beberapa karakter utama: Eustace Schrubb yang kubayangkan seperti artis Kevin Julio saat kecil, lalu ada Jill Pole yang kubayangkan diriku sendiri (aku juga ingin ikut Sir), Puddleglum (marsh-wiggle, sejenis kodok menyerupai manusia, yang kubayangkan wajahnya seperti ilustrasi yang dibuat Pauline Baynes di bukumu), Pangeran Rilian (yang kubayangkan wajahnya seperti Derbi Romero, dia adalah anak Pangeran Caspian X), lalu ada penyihir putih yang kubayangkan seperti Danila Riyadi. 

Kemudian, aku akan melanjutkannya ke plot, Sir. Kau memulainya dengan kisah Jill yang dirudapaksa oleh teman-teman sekelasnya di Sekolah Eksperimen. Kau tahu, Sir, kisah ini mirip sekali denganku ketika aku di sekolah, nyaris aku tak punya teman. Lalu, Eustace datang, karakternya sejak ikut berpetualang dengan Edmund dan Lucy berubah total. Dari nakal jadi orang yang baik hati. Eustace menemani Jill yang kesepian, lalu menceritakan negeri Narnia dan Aslan untuk menghindar dari sekolah yang membosankan. Mereka membuat pintu sendiri di antara musim gugur dan pohon dedalu. Hingga membawa mereka ke pintu di luar sekolah, semacam gerbang yang membaca Eustace dan Jill ke dunia lain. Aslan datang kala itu dan meniupkan Jill dan Eustace ke dunia Narnia.

Dua anak ini sebenarnya lucu, Sir, mereka sama malu-malu, tapi keduanya baik dan pemberani. Jill tidak takut ketinggian, dia berani melihat jurang sedalam apa pun, sementara jiwa maskulin Eustace mendorongnya untuk melindungi Jill. Dia takut Jill terjatuh sehingga menahan anak perempuan itu di tepi jurang, tapi malah membuat Eustace jatuh. Jill ketakutan, Aslan datang ternyata Eustace di bawa ke kerajaan Cair Paravel yang dipimpin oleh Caspian X. Namun, Eustace sedih dan kaget sang pangeran berubah menjadi kakek-kakek tua yang mendapati anak tunggalnya hilang. Dan kini dia hendak melakukan perjalanan ke Timur, ke Ujung Akhir Dunia untuk menemukan Rilian. Eustace sebenarnya sangat sedih, semacam aku juga akan sedih Sir, ketika mendekati tiba-tiba teman dekatku menjadi kakek-kakek yang tak kukenal. Namun, Eustace mafhum jika waktu di Narnia berbeda dengan waktu Bumi.

Sementara, Jill ketakutan mendapati Eustace jatuh. Dari tempatnya berdiri, dia melihat singa, yang tak lain adalah Aslan. Jill lari sampai ke hutan, sampai dia menemukan sungai yang di seberangnya ada Aslan. Dia ketakutan tapi juga haus, dia takut jika bergerak Aslan akan memakannya, tapi kalau dia tak gerak pun, dia akan mati kehausan atau kelaparan. Jill akhirnya memberanikan diri ke sungai. Ternyata, air di sana ajaib, tak butuh volume banyak untuk melepaskan dahaga kita sebagaimana di bumi. Jill juga kaget mendapati singa di depannya itu bisa bicara. Lalu, terjadilah perkenalan keduanya. "Kau tidak akan memanggilku kecuali aku telah memanggilmu lebih dulu," kata si singa. (p. 37) Ya, Aslan bagi Sir dalah manifestasi dari Yesus, dia digambarkan sebagai, "Kumpulan segala hal yang baik, kebenaran, kebaikan, konsistensi, kelembutan, keberanian, dan sebagainya."

Dalam obrolan itu, Aslan memberikan empat petunjuk untuk menyelamatkan pangeran (dalam konteks ini Rilian). Empat petunjuk itu harus diingat Jill, dan kalau perlu diulang-ulang agar tak lupa. Maklum, anak kecil memang pelupa. Empat petunjuk itu adalah (yang kuingat-ingat juga): Pertama, Eustace perlu ngobrol dengan teman lamanya saat sampai di Cair Paravel, yang tak bukan Pangeran Caspian X. Kedua, dia perlu pergi ke negeri raksasa. Ketiga, dia perlu ke reruntuhan kerajaan untuk menemukan petunjuk dari sebuah mantra di puing-puing atau batu-batu di sana. Keempat, dia perlu mengikuti petunjuk dari mantra itu untuk menemukan Rilian. Jill terus mengulang-ulangnya.

"Dia sebentar masih mengingat, kalau mau sedikit bersusah payah berpikir: tapi tidak begitu 'rajin' lagi pada tugasnya sehingga tidak yakin mengatakannya dalam urutan yang tepat begitu diminta dan tanpa berpikir." (p. 134-135)

Setelah itu, Aslan meniupkan Jill untuk bertemu lagi dengan Eustace di Cair Paravel saat hendak mengantar raja. Namun telat, raja sudah berangkat. Dari sana, mereka mendengar cerita terkati penyebab hilangnya Rilian. Suatu hari, saat Rilian masih kecil, dai bersama ibunya sedang nge-chill di dekat sungai ditemani kuda-kuda, tapi ada ular kobra yang menggigit ibunya. Gigitan itu membuat si ibu sakit dan akhirnya meninggal. Rilian tersulut balas dendam ingin mencari ular itu di tempat yang sama. Dia ketemu ular itu, tapi ular itu membawanya ke semak-semak, hingga Rilian tak kembali. Dengan bantuan burung hantu putih Master Glimfeather yang lebih dulu melakukan rapat di tengah malam, akhirnya dibawalah Jill dan Eustace ke negeri yang dimaksud Aslan dan meninggalkan keduanya.

Jill pun menyampaikan ulang pesan Aslan. Tak mengambil waktu lama, mereka melakukan petualangan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Puddleglum si makhluk berkaki dan tangan kodok, tapi bertubuh manusia, dia juga punya topi runcing mirip milik penyihir. Karakteristik yang kusuka dari Puddleglum, Sir, makhluk ini pesimis, selalu memulai hal dengan skeptis dan ancang-ancang kegagalan sebelum dilakukan. Kau menulis makhluk itu begini, "Aku seseorang yang selalu lebih suka tahu kemungkinan yang terburuk, kemudian berusaha sebaik mungkin." (p. 236) Dia punya camp (wigwam) yang menjadi rumah mereka sendiri di tepi rawa. Jill dan Eustace ikut bermalam di sana, setelahnya makan ikan-ikan bakar. Puddleglum awalnya bilang tak bisa mencari ikan dengan baik, tapi dialah yang dapat 10 ekor ikan besar-besar sehingga bisa makan.

Tak mengambil waktu lama, ketiganya melanjutkan perjalanan. Bertemulah mereka dengan para raksasa, negeri para raksasa yang besar-besar, tapi juga bodoh. Mereka sangat bodoh, kecerdasan mereka di bawah rata-rata, suka ketawa-tawa, mainan bola seperti anak-anak. Mereka juga berjejer. Puddleglum mengingatkan untuk tidak memperlihatkan ketakutan atau kebimbangan di depan makhluk macam itu. Berjalan ringan saja, biasa saja, jangan menimbulkan kecurigaan. Cara ini ternyata manjur, ketiganya bisa melewati negeri para raksasa yang bodoh-bodoh itu.

Mereka kemudian sampai di sautu gurun sempit, berbukit, tandus, tak ada air, sampai membuat diri mereka sangat-sangat kelelahan. Mereka bertemu dengan perempuan cantik bergaun hijau dan mengendarai kuda putih (bernama Snowflake), dia ditemani oleh pemuda berpakaian serba hitam dari besi yang menutupi wajah dan tak bisa bicara. Pemuda ini mengendarai kuda hitam bernama Coalblack. Peremmpuan ini ternyata penyihir yang membunuh ibu Rilian. Dia memberikan arah yang salah pada ketiga petualang itu, agar mereka datang ke kastil para raksasa cerdas dan menghadiri Pesta Musim Gugur mereka. Perempuan itu menyampaikan salam, dan mereka juga bilang akan senang di kastil itu dengan semua fasilitas mewah yang diberikan.

Perjalanan ke kastil raksasa cerdas dilakukan. Perjalanan ke sana tak kalah berat medan yang harus dilalui di tengah cuaca yang sangat dingin turun salju. Mereka juga perlu melewati birai-birai, bekas reruntuhan. Sesampai sana, mereka disambut oleh raja dan ratu raksasa, menempatkan ketiga makhluk mungil itu ke ruang khusus dan memberi mereka makan. Namun, ternyata, para raksasa ini mencari manusia dan makhluk Narnia lain untuk menjadi makanan lezat mereka. Manusia mungkin seperti ayam bagi raksasa yang enak dimakan. Manusia bisa dimasak, ini diketahui dari buku resep yang dibaca salah satu koki perempuan kerajaan yang juga raksasa ketika kecapekan kerja dan tertidur. Puncaknya, masakan lezat itu akan dimakan di Pesta Musim Gugur. Niat jahat itu langsung diketahui setelah Jill mendapatkan mimpi bertemu Aslan dan mengatakan padanya untuk pergi KE BAWAH. Ternyata mereka sudah melalui reruntuhan kerajaan. Ketiganya lalu mencari cara untuk keluar saat Raja dan Ratu raksasa berburu ditemani anjing-anjing mereka. Melalui pintu dapur, mereka pun keluar. 

Negeri Gnome ini menarik. Dalam konteks mitos, gnome adalah makhluk kecil mirip manusia yang hidup di bawah tanah, sering dikaitkan dengan harta karun dan alam.
Naas, anjing-anjing negeri raksasa memergoki dan mengejar mereka. Tapi mereka sembunyi di semacam ruang bawah tanah. Mereka pun bertemu dunia lain, negeri para makhluk bawah tanah yang bernama gnome dan earthman. Mereka ini mukanya tak teratur, mirip gabungan aneka hewan dan manusia. Mereka jumlahnya ribuan dan tampak muram. Mereka punya ratu yang tak lain adalah si penyihir. Gnome itu ingin membawa ketiganya ke ratu lewat negeri bawah tanah yang gelap, baru ada Gnome sedikit ada penerangan. Sebelum bertemu ratu, ketiganya bertemu dengan pemuda berkuda hitam yang ditemui sebelumnya. Eureka! Sebenarnya pemuda itu adalah Pangeran Rilian.

Namun, Pangeran Rilian dikutuk oleh penyihir bergaun hijau selama 10 tahun. Kutukannya adalah dia dibuat bodoh, lupa jati dirinya, mengikuti semua keinginan si penyihir. Tapi di jam-jam tertentu, dia ditali di sebuah kursi dan jangan sampai ada yang melepaskannya, karena kalau dilepas katanya dia akan jadi ular besar yang membunuh semuanya. Kutukan ini juga terus memohon agar jangan dilepas sekuat apa pun Rilian meminta. Di sini ketiganya menghadapi dilema, aku suka bagaimana Sir mengurai dilema itu, dan mengambil keputusan yang tepat untuk melepaskan Rilian. Dari situlah Rilian sadar. "Tidak ada yang bisa menghilangkan sihir sebaik kejutan rasa sakit." (p. 236)

Sial, ratu segera datang lagi menemui budaknya Rilian yang ditahannya selama sepuluh tahun. Ratu juga punya proyek menghubungkan antara dunia bawah dan dunia atas dengan mengeksploitasi para gnome dan earthman, sehingga mereka sangat banyak dan muram. Ratu kaget melihat Rilian lepas, sihirnya keluar lagi, kali ini dengan aroma yang bisa membaut orang melupakan dunia atas, matahari, dan Aslan. Sihir kedua lewat suara dawainya yang juga membaut orang melupakan fakta-fakta dunia asli. Namun, berkat tekad Puddleglum yang skeptis akan banyak hal, dengan darah dan akar ke-Narnia-an yang kuat, dia bisa bertahan. Dia pun mematikan api Ratu yang membuat sihirnya hilang. Mulut Rilian tertutup seperti kotak ketika dia selesai membunuhnya.

Ratu berubah menjadi ular raksasa dan siluman berwarna hijau yang menyerang Rilian. Pangeran itu menyerang balik menggunakan pedangnya yang sakti. Atas rasa muaknya diperbudak, Rilian bisa membunuh ular itu. Mereka pun lari, di luar terjadi huru-hara, para gnome dan earthman ingin melarikan diri. Mereka juga awalnya ingin menyerang Ratu yang memperbudak mereka. Ada petasan muncul. Rilian pun membebaskan Coalblack dan Snowflake, mereka dikendarai oleh pangeran dan Jill. Mereka mencari tahu apa huru-hara itu, dan salah satu gnome kecil bernama Golg berwajah jengger ayam ditanyai, dan diceritakanlah ketidaksukaan mereka pada Ratu. Gnome itu bahagia ketika mendapat kabar Ratu sudah mati, kabar itu meluas ke seluruh negeri. 

Mereka pun berterima kasih, karena akhirnya mereka bisa kembali ke dunia bawah mereka yang sesungguhnya. Meski banyak kesulitan, Rilian "merasa senang terbebaskan dari kutukan yang begitu lama sehingga semua bahaya lain hanya seperti permainan belaka". Negeri penyihir adalah tempat dangkal,  baunya busuk penuh sihir dan perbudakan. Daerah itu disebut dengan Tanah Bism (Sir! Aku langsung ingat Bismillah, Sir). Jadi ini negeri bawah tanah, macam ada proses gunung mengolah lava mereka yang berwarna merah seperti api dan sangat panas, di sana hidup salamander. Golg mengundang Rilian dan gengnya untuk main ke Tanah Bism, tapi waktu tak memungkinkan dan mereka harus kembali ke Tanah Atas. 

Ditemani dua kuda, keempatnya mencari jalan di bawah tanah untuk kembali ke negeri Narnia. Mereka lewat semacam retakan tanah yang menuju ke atas, tiba-tiba mereka sudah sampai di negeri Narnia. Para makhluk aneh, makhluk mitologis (centaurus terutama yang memakan dua kali, makan gaya manusia dan makan gaya kuda), dan hewan-hewan yang bisa bicara pun berkumpul di sana. Merayakan kedatangan keempatnya, dan yang paling dinanti Pangeran Rilian. Pangeran dibawa ke Cair Paravel, ayahnya Caspian kembali dari pelayaran setelah diberi tahu Aslan untuk kembali. Rilian sempat sebentar ketemu ayahnya, sebelum ayahnya itu menghembuskan nafas terakhirnya. Kepemimpinan pun sejak saat itu jatuh ke tangan Rilian.

Di suatu tempat, Aslan meminta Jill untuk menancapkan duri di kakinya dan darahnya jatuh mengenai sungai di Cair Paravel tempat Caspian akan dilarungkan (semacam itu). Lalu, Caspian berubah jadi muda kembali dan bertemu Eustace. Dua orang ini senang sekali bertemu sahabat lama. Caspian ingin juga hadir di dunia nyata milik Eustace dan Jill, Aslan mengizinkannya tapi cuma lima menit. Akhirnya, terjadilah kehebohan di Sekolah Eksperimen, ada singa masuk dan pangeran berpakaian besi hadir membaut kekacauan. Dipanggillah polisi, tapi ketika pasukan polisi datang, singa dan manusia aneh kerajaan itu tak menampakkan diri. Polisi menganggap ini keanehan, akhirnya, penyeledikan untuk anak-anak di Sekolah Eksperimen dilakukan. Sepuluh anak yang suka melalukan rudapaksa dikeluarkan. Selesai.

Kukatakan sekali lagi, aku menyukai buku-bukumu, Sir, dan aku ingin belajar padamu. Mungkin aku belum begitu mengerti, atau samar mengertinya sekarang, tapi aku yakin suatu hari nanti pasti akan mengerti. Aku akan buat karya-karya lain yang terinspirasi darimu. Makasi, Sir.

Rabu, 28 Mei 2025

Catatan Buku "Ruth First: Serpihan Tulisan" Karya Ruth First

Ruth First, bukanlah nama yang kukenal di jagat kepenulisan. Baru setelah membaca buku ini, aku mengenalnya. Dia seorang perempuan, aktivis, intelektual Marxis, orangtua komunis, dan tulisan-tulisannya kata genzi "bjir, bjir, bjir" keren banget. Keren yang kumaksud bukan hanya di susunan dan pemilihan kata, tapi konten, ideologi, pemahaman, dan pembebasan yang dia bawa lewat tulisan-tulisannya. Membaca buku ini seolah aku bisa paham jika: jiwa raga Ruth adalah untuk Afrika. Ya, semua tulisannya di buku ini membahas tentang Afrika dan masyarakatnya.

Serpihan tulisan Ruth di buku ini terdiri dari lima tulisan: (1) Pretoria Takluk oleh Perempuan!, (2) Afrika Selatan Hari Ini, (3) Dari Piagam Kebebasan ke Perjuangan Bersenjata, (4) Batas-Batas Nasionalisme, (5) Para Penambang Mozambik: Sebuah Studi Seputar Ekspor Tenaga Kerja. Buku ini juga diberikan pengantar yang cantik oleh Direktur Frieds of the Workers yang juga seorang scholar, Vashna Jagarnath. Lewat buku ini, aku menebalkan ulang tentang definisi: Aku janji akan lebih disiplin pada definisi dan konsep. Ini menjadi dasarku sebagai seorang intelektual. Sebab awal dari ilmu adalam nama, dan nama itu dalam bahasa Arab adalah Isma. Disiplin definisi akan jadi jalan ninjaku ke depan. Apa pun kata yang tak kumengerti, atau samar kumenteri, akan terus kucari pemaknaannya sampai jelas.

Baiklah, berikutnya, aku akan menjawab hal-hal apa yang kutangkap dari buku tipis tapi berat ini.

Di artikel pertama, "Pretoria Takluk oleh Perempuan", aku menangkap bagaimana sebuah kota dan ruang publik bisa menjadi tempat mobilisasi bahkan ruang yang relatif "aman" bagi perempuan untuk menyuarakan aspirainya. Meskipun dalam perjalanan ke Union Building di Pretoria, lokasi resmi pemerintahan Afrika Selatan, banyak kesulitan yang terjadi ketika para buruh kelas pekerja ini akan berkumpul; seperti bagaimana petugas kereta tak memberi tiket bagi perempuan, hingga akhirnya dibolehkan, Ruth menangkapnya dengan baik dalam tulisan ini. Di Union Building berkumpul ribuan perempuan dengan disertai tuntutan tentang penghapusan kebijakan pekerja yang merugikan tak hanya buruh, tapi juga para masyarakat kulit hitam di bawah dominasi kulit putih.

Di artikel kedua,  "Afrika Selatan Hari Ini", di sinilah letak kedalaman Ruth. Meskipun dari fisiknya sepertinya dia tergolong kaum kulit putih, tapi darahnya adalah Afrika. Aku bisa menangkap bagaimana isu rasialisme dikuliti habis-habisan oleh Ruth, baik oleh wacana kritis yang dimilinya hingga memakai pisau bedah Marxis. Di tulisan ini ada satu perempumaan yang menurutku keren. Ada seorang pejabat yang menganggap kesuksesan kaum kulit putih di Afsel diibiratkan dengan pohon yang tumbuh subur dan berbuah karena usaha mereka "sendiri", sementara orang pribumi iri dengan pohon tersebut dan tak menumbuhkan pohonnya sendiri. Ruth mengkritik keras, pohon itu sibur karena dirawat oleh para budak kulit hitam, yang bahkan mereka tak punya waktu untuk merawat miliknya sendiri. Sungguh jahat orang kulit putih di sini (tak bermaksud menggeneralisir, meski ada kaum kulit putih yang progresif, tapi tatanan sistem perbudakan dan eksploitsi mereka yang sarat rasialisme itu emang gak berperikemanusiaan).

Di artikel ketiga, "Dari Piagam Kebebasan ke Perjuangan Bersenjata", masih tentang perjuangan Afrika Selatan melawan imperialisme. Di sini aku menangkap bagaimana cara-cara pasif seperti Gandhisme, bahkan hingga konfrontasi senyap pun sulit bekerja. Ruth di sini juga mengutip Nelson Mandela yang menurutku sangat kritis, perjuangan pasif di depan negara dengan sifat patriarkal ini justru dianggap kelemahan. Mandela membuka ulang konsep perlawanan langsung hingga kekerasan dan perang bila memang ini dibutuhkan. Sementara, Afrika Selatan, lewat gerakan seperti African National Congress (ANC) dan uMkhonto we Sizwe (The Sprear of the National) juga telah melakukan aksi dan kampanye yang berdarah-darah, dengan pemenjaraan para kadernya untuk perjuangan keadilan.

Di artikel keempat, "Batas-Batas Nasionalisme", mengungkap bagaimana batas-batas negara dengan ideologi yang dihadapinya ini tidak jelas. Sebenarnya, aku tak begitu paham tentang politik Timur Tengah, terutama yang berhubungan dengan negara-negara di sekitar Afrika Utara dan Tenggara, seperti Mesir, Libya (yang monarki), Tunisia, dan negara tetangganya. Tulisan ini secara tajam menganalisi keputusan para pemimpin dunia seperti Gadaffi dan Sadat beserta keputusan mereka yang salah dan sembrono, terutama dalam menjalin "kolaborasi" dan "rekonsiliasi" dengan negara-negara kapitalis unggul seperti Amerika Serikat dan perang melawan zionis, Israel. Di akhir tulisan, Ruth juga menyebut bagaimana peran sosialisme Islam cukup berpengaruh dan menjadi gerakan kesetaraan di antara sistem oligarki, gerakan anti-imperialisme, rezim paternalisme, demagogi pada kaum proletar, peran nanggung borjuis kecil hingga borjuis metropolitan, juga gerakan-gerakan kudeta. Cerdas sekali Ruth menulisnya.

Di artikel kelima, "Para Penambang Mozambik: Sebuah Studi Seputar Ekspor Tenaga Kerja", kurasa ini tulisan paling panjang di buku ini yang mengkuliti bagaimana ekspor dan perbudakan manusia untuk membangun tambang emas terjadi. Jadi, penduduk pribumi Mozambik ini dikirim besar-besaran ke Afrika Selatan untuk membangun Witwatersrand, tambang besar emas serupa Jaya Wijaya di Papua. Bahkan ini menguat dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad 20, puncaknya sekitar tahun 1954, di mana tiga per empat pekerja asal Mozambik, baik remski maupun tidak ini diperkerjakan di antara pribumi dan pekerja asing dari negara lainnya.

Ruth di artikel ini membagi bahasannya secara runtut, tentang eksodur pekerja Mozambik, dan alasan mengapa yang laris di sini buruh migran? Ternyata tak lepas dari pengaruh Portugal yang menjajah Mozambik, dan bagaimana buruh ini digunakan sebagai akumulasi modal. Mengapa juga tenaga kerja asing? Karena lebih murah, banyak yang ilegal, dan ini tentu menambah nilai lebih. Ruth juga menjelaskan tentang pengorganisasian arus tenaga kerja Mozambik, perubahan bidang pertambangan pada 1970an, hingga mekanisasi yang mengubah total lanskap kapitalisme industri di Afrika Selatan. Analisis Marxis Ruth di tulisan ini benar-benar tak diragukan, dan aku cukup kelelahan mengikutinya, karena problemku yang belum selesai dengan definisi dan konsep.

Aku sangat belajar dari buku Ruth ini. Dia penulis perempuan Afrika Selatan yang sangat-sangat berbakat dan progresif. Tak hanya punya kemampuan analisis, dia punya teknik jurnalisme yang baik pula. Dia juga bisa mengungkap dan menulis data agar lebih hidup. Aktivis kiri anti-apartheid ini sayangnya dibunuh oleh pihak kepolisian Afrika Selatan!

Judul: Ruth First: Serpihan Tulisan | Penulis: Ruth First | Penerjemah: Fransiskus Pascaries | Penerbit: Majrin Kiri | Jumlah Halaman: vi + 98 | Cetakan: Pertama, Mei 2023

Catatan Buku "Subuh: Kumpulan Cerita" Karya Selahattin Demirtaş

Aku membaca buku ini di sepertiga malam, dan kuselesaikan di pagi ketika akan berangkat kerja, setelah sebelumnya sempat tidur. Cerpen yang sangat kusuka di kumpulan cerpen Selahattin Demirtaş ini berjudul "Sesunyi Sejarah". Cerpen ini akan masuk dalam sepuluh (jenis) cerpen yang aku suka. Dari awal hingga akhir cerpen ini membuatku tak berhenti menangis, bahkan tangisnya masih bisa kurasakan sampai sekarang. Dia tak hanya dekat, tapi juga membuatku terlibat. Ceritanya persis, dengan kadar 90 persen lebih terkait jenis hidup dan cita-cita yang kualami.

Aku membayangkan tokoh perempuannya Nermin adalah aku, dan suaminya Firat kuimajinasikan kawan dekatku, sementara orangtuanya kubayangkan orangtuaku sendiri. Bahkan aku sulit dan susah mengurainya. Aku sadar jika, kecintaan kita akan sesuatu bukan menyangkut selera orang banyak atau mana yang lebih unggul dan berkualitas, tapi tergantung seberapa dekat cerita itu beresonansi dan satu frekuensi dengan hidup kita. Pendeknya, apa-apa yang kita suka dan adopsi adalah hal-hal yang "relevan" untuk kita. Di cerpen "Sesunyi Sejarah", aku benar-benar menjadi Nermin. Dia anak tunggal dari seorang ayah penjual bunga. Sang ibu meninggal lebih dulu. Nermin sendiri meragukan pandangan umum yang mengatakan jika anak perempuan akan dekat dengan ayahnya, sementara yang dialaminya seperti relasi biasa (businesslike) dan didukung dengan karakter ayah yang introver. Kata Nermin, "Aku tahu ayah menyayangiku tapi sepanjang yang kuingat dia tidak pernah menunjukkannya."

Saat ayah sedang sibuk mengurus jual-beli bunganya selepas kematian ibu, Nermin sibuk dan rajin menyelesaikan kuliah jurusan Arsitektur di kota. Btw, dulu aku pernah ingin jadi arsitek juga, aku pernah daftar S1 Simak UI dengan mengambil jurusan Arsitektur di tahun 2011, meskipun ujian itu tak kulanjutkan. Menemukan kisah Nermin seperti membawa diriku di masa lalu. Nermin tokoh perempuan yang keren, dalam berbagai segi hidup, dia tergolong sukses, termasuk pernikahannya dengan Firat, sahabat yang dia kenal di kuliahan. Firat adalah sosok pria yang suportif pada istrinya, penuh love dan respect, bahkan Firat juga mencintai sastra, sering merekomendasikan buku pada Nermin. Salah satu buku yang Firat rekomendasikan berjudul "Sesunyi Sejarah" karya Hasan Vefa Karadagli. "Bahkan buku itu telah membagi dua mataku antara terkantuk-kantuk dan terjaga," curhat Nermin.

Suami istri ini mendirikan perusahaan arsitekturnya sendiri. "Aku senang dengan pekerjaan yang kubikin sendiri," ujar Nermin. Perusahaan mereka kian waktu tumbuh dengan besar, sampai mereka tak ada waktu untuk diri mereka sendiri. Kehidupan mereka isinya hanya kerja-kerja dan kerja. Bahkan karena kesibukan ini, mereka juga tak kepikiran memiliki anak. Namun, ada masalah yang lebih fundamental. Kekosongan hadir di tengah kesuksesan material. Hidup mereka serupa mesin, hingga mereka memutuskan untuk berlibur. Mereka ingin menyalakan ulang hidup mereka dengan pergi ke tempat-tempat vakansi di Turki, dan tak lupa, mengunjungi ayah mereka yang telah menjual kebun bunganya untuk dibelikan rumah kecil di dekat pantai. Ya Allah, ini tipe rumah idamanku juga.

Saat kunjungan Nermin dan Firat ke rumah ayah, Nermin merasakan kembali kehidupan yang hangat di pedesaan dengan penduduk yang lebih sedikit dibandingkan tinggal di kota. Firat langsung dekat dengan mertuanya meski mereka baru sekali bertemu. Perbincangan selama 3-4 jam terjadi di rumah baru ayah yang juga di depannya dipenuhi bunga. Tetangga si ayah juga baik, saling menolong, menyapa, dan memberi bantuan. Aku menangis saat si ayah meminta keduanya untuk menginap, tapi mereka cepat-cepat pulang dan menuju bandara. Sehingga si ayah hanya meminta menunggu masakannya matang dulu, makan dulu baru pulang. Scene ini bagiku menyayat hati. Sedihnya, ini adalah pertemuan terakhir keduanya dengan si ayah.

Ketika kembali ke kota, kerjaan mereka makin besar, mereka tak punya waktu bahkan untuk mengobrol bersama. Namun, Nermin berhasil menyelesaikan Hasan Vefa, sementara penulis best seller ini menerbitkan buku baru berjuaul "Cinta yang Tertinggal di Hatimu". Keduanya berniat akan mendiskusikan buku itu. Namun, suatu pagi, ada telepon cepat dari nomor yang tak dikenal. Telepon itu mengabari Nermin, ayahnya sakit keras dan memintanya untuk segera datang. Nermin dan Firas langsung mendatangi rumah ayahnya yang kuyakin hidup kesepian setelah istrinya meninggal. Keduanya terlambat datang, karena ayah telah meninggal. 

Nermin menyesal sangat dalam, tak dinyana kematian bisa semenyakitkan ini, bahkan dia tidak memikirkan di mana ayah akan dikuburkan. Hingga Nermin mengambil keputusan menguburkan ayah di samping nisan ibu di Isparta. "Aku bahkan tak berpikir suatu hari ayah akan meninggal, yang terburuk dari semua itu aku tidak pernah memikirkan ayahku dalam beberapa bulan terakhir," ungkap Nermin.

Di pemakaman, ada orang tua yang menemuinya. Ternyata dia adalah Hasan Vefa, penulis favorit suami-istri tersebut. Penulis best seller itu memberi tahu jika buku "Sesunyi Sejarah" dan "Cinta yang Tertinggal di Hatimu" ini adalah tuliah ayahnya. Hasan membuat kesepakatan dengan ayah Nermin untuk memakai namanya karena tak mau hidup pusing dengan popularitas menjadi penulis. Janji lain, ketika buku itu sukses, uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan untuk meningkatkan kesejahteraan para penulis muda. Mereka tak mau mengambil untung dari royalti yang diterima. Hasan meminta Nermin dan Firat untuk datang ke yayasan itu. 

Nermin terutama sangat kaget, ternyata ayahnya sendirilah penulis favoritnya. Dia yang tak sempat untuk menginap di rumah ayahnya itu kemudian berkeliling dan berkenalan dengan rumah itu. Dia mendapati tulisan-tulisan ayahnya. Aku berpikir, kadang kita punya banyak teman-teman baik yang kita sia-siakan karena kesombongan kita. Seolah kita punya segalanya. Seperti yang dilakukan Nermin dan Firat ke Pak Selim, juga bahkan pada ayahnya sendiri. Cerita yang sangat dekat bagiku. It's a warm story, not too heroic but it's very meaningful.

Di buku ini ada 12 cerpen: "Laki-Laki dalam Jiwa Kami", "Seher", "Nazan Petugas Kebersihan", "Tak Seperti yang Anda Kira", "Salam untuk Si Mata Hitam", "Surat untuk Petugas Pembaca Surat di Penjara", "Gadis Laut", "Hidangan Aleppo", "Ah, Asuman!", "Membikin Perhitungan Bersama Ibu", "Sesunyi Sejarah", dan "Akan Berakhir Istimewa". Yang terpanjang adalah "Sesunyi Sejarah" yang aku ceritakan di atas, yang pendek barangkali hanya 2-3 lembar saja, seperti kisah gadis laut, dia adalah arwah para korban yang melakukan eksodus karena perang di Timur Tengah, anak itu didekap ibunya, naik kapal, tapi semua penumpangnya tenggelam. 

Ada pula kisah Bekes dalam cerpen "Akan Berakhir Istimewa", anak yatim yang sukses jadi dokter dan pembicara internasional di Universitas Harvard setelah berbagai kesulitan yang dihadapinya. Atau kisah "Membikin Perhitungan Bersama Ibu", seorang anak yang mengirimkan yoghurt ke rumah neneknya, yang kadang barang itu bukanlah barang yang dibutuhkan, tapi barang untuk membuat orang lain senang. Kisah anak ini juga diiringi, lebih efektif mana membeli 200 lira gula di bawah apartemen, atau 150 lira di tengkulak pasar, tapi perjalanan transportasi menghabiskan uang 50 lira? Belum lagi gulanya berat.

Kumpulan cerpen ini didasari pada cerpen berjudul "Sehar" yang dalam bahasa Turki berarti Subuh. Kisah seorang pekerja pabrik, perempuan bernama Sehar yang jatuh cinta dengan pria superbrengsek sama-sama pekerja pabrik bernama Hayri. Tapi pria brengsek ini sama teman sekomplotannya memperkosa Sehar di hutan, lalu kasus aib membesar di keluarga Sehar yang punya banyak saudara, satu kakak laki-laki dan tiga adik laki-laki. Ayah Sehar memutuskan untuk membunuh anaknya sebagai akibat aib itu dengan cara menembak. Aku kurang paham kenapa yang mau ditembak awalnya anak terakhir, tapi berubah menjadi Sehar-lah yang kemudian menjadi tumbal. Cerpen ini realistis, tapi cukup absurd secara logika penyelesainnya. Aku tak menemukan hubungan masuk akal yang terceritakan dengan baik, antara perkosaan dan keputusan ayah membunuh. Ini terjadi ketika kemeriahan hari pertama lebaran sudah surut.

Cerpen absurd lain berjudul "Laki-Laki dalam Jiwa Kami", tentang tawanan di penjara yang membuka percakapan dengan pasangan burung gereja, bahkan semut dan laba-laba. Cerpen ini meruntuhkan kadar antroposen kita yang cuma berfokus pada manusia. Bahkan diceritakan juga jika burung gereja betina lebih kerja keras daripada yang jantan, bahkan dalam membangun sarang hingga menjaga telur mereka yang henda dicuri. Cerpen ini berakhir gantung. Namun, inti kritik yang kutangkap adalah bagaimana Selahattin mengkritik negara dari POV para tahanannya.

Kisah menarik lainnya bagiku adalah "Nazan Petugas Kebersihan". Ini keren banget! Bagaimana masalah kelas bisa merasuk sampai kehidupan, dan bagaimana aroma kemiskinan itu bisa masuk ke diri pemiliknya. Seorang petugas kebersihan perempuan bernama Nazan, dia Yatim, ibunya petugas kebersihan juga, tapi ayahnya adalah seorang otomotif hard core yang bermimpi punya Mustang. Dia paham dengan aneka macam jenis mobil, dan itu diwarisi oleh Nazan. Bahkan, ini menariknya, Nazan bisa mengira-ngira jenis atau merek mobil apa yang cocok  untuk individu tertentu, dengan jenis kemiskinan apa yang telah mereka hadapi. Ada orang yang baru keluar dari kemiskinan, ada yang kemiskinannya terus berlarut, ada yang ingin cepat meninggalkan kemiskinan seperti kecepatan mobil miliknya, hingga jenis manusia yang bahkan tak berkeinginan meninggalkan kemiskinan dan tak bermimpi punya mobil.

Nazan di sini ditangkap bersama para demonstran lain. Dia dirawat oleh dokter yang kebetulan adalah juragannya. Tapi si ibu dokter itu punya suami yang selingkuh dengan mengendarai BMW yang Nazan temui ketika di jalan. Cerita ini kompleks, karena Nazan akhirnya dipenjara, wajahnya juga masuk koran dan menjadi headline. Ibu Nazan kembali bekerja, Nazan sempat dibela oleh suami si dokter yang seorang advokat, tapi ya, keadilan tak berpihak pada kemiskinan.

Ada diksi-diksi dan frasa-frasa yang menurutku menarik, seperti: "Berbau kemiskinan", "Dia jelas menghabiskan gajinya untuk penampilan", "Membuat kami merasa nyaman dan diperhitungkan", "Kacamatanya yang penuh gaya seolah berkata, "Aku berasal dari lingkungan yang berbeda", "Dia Jaksa muda, masih berbau-bau kemiskinan", "Dia sudah menikah dan kemungkinan besar punya sedan Nissan Almera bekas. Dia membenci kemiskinan, ingin cepat-cepat lari darinya, mengebut seperti mobilnya", "Hakim itu sudah menikah, sudah lupa rasanya miskin, barangkali punya Skoda Superb baru dengan jok kulit warna hitam", "Mereka bukan dari kompleks kami, mereka tahu tidak bisa keluar dari kemiskinan."

Kisah lain yang bagiku menarik adalah "Hidangan Aleppo", di cerpen ini Selahattin dengan sangat bagus menggabungkan bagaimana citra kuliner dan isu terkait genosida di zaman perang dijadikan jadi satu. Tentang pergantian generasi seorang pemilik restauran khas makanan Turki. Di mana dia punya rumah untuk tempat pengungsi, dia jatuh cinta pada seorang pengungsinya tapi cinta itu tak terbalas, hingga akhirnya retauran itu diteruskan oleh pelayannya yang telah mengabdi lama.

Kisah Asuman juga baik, tentang sopir bus yang jatuh cinta pada Asuman, perempuan yang ditemui di bar. Perempuan itu merusak rumah tangga si sopir. Sopir menceritakan ini pada pemuda asing jurusan hukum, di mana pemuda inilah yang menolong si sopir ketika dia menghadapi masalah hukum. Sementara di cerpen "Salam untuk Si Mata Hitam" (kisah pecinta yang patah hati karena cintanya dengan tiga perempuan berakhir tragis dan dia nyaris bunuh diri) dan "Surat untuk Petugas Pembaca Surat di Penjara" (tentang kisah buruh yang membaca surat di penjara) membawa kita pada ironi-ironi hidup lain yang patut disimak.  

Selahattin Demirtaş menulis Kumcer ini dengan sangat baik. Mantan Anggota Majelis Agung Nasional Turki dan pimpinan Partai Demokratik Rakyat (HDP) ini memang pantas diganjar penghargaan Muntluc Resistance and Liberty Award, diam-diam, dia memang menambahkan konteks dan fase perlawanan yang dihadapi oleh masyarakat Turki.

Judul: Subuh (Kumpulan Cerita) | Penulis: Selahattin Demirtaş | Penerjemah: Mehmet Hassan | Penerbit: Marjin Kiri | Jumlah Halaman: viii + 118 | Cetakan: Pertama, Maret 2020

Selasa, 27 Mei 2025

Catatan Buku "Bisik Bintang" Karya Najib Mahfuz

Aku agak lupa, sepertinya ini buku kedua Najib Mahfuz, novelis Mesir dan peraih nobel sastra tahun 1988 itu yang pernah kubaca. Aku akan mencatat kesan-kesan yang kudapat setelah membaca buku ini. Ini murni catata, dan bukan resensi. Aku tak mau membebani diriku dengan analisis berat, karena aku sadar diri akan kemampuanku yang sepertinya belum sampai sana. Aku masih punya kekaburan untuk membuka pintu refleksi yang lebih luas. Jadi, sekali lagi, aku hanya akan menulis murni hal organik yang kudapat, sehingga pembacaanku ini juga akan terasa lebih jujur.

Buku ini kubeli saat ulang tahun Marjin Kiri ke-20 di Gudskul Ekosistem. Bisa dibaca sekali duduk dalam waktu sekitar 1-2 jam, jadi tidak lama. Dari pembukaan buku oleh jurnalis Muhammad Syu'air, Najib sepertinya punya hobi menulis menggunakan tangan, pena, dan kertas. Najib akan sering menyobek-nyobek kertas tulisannya yang dia rasa jelek. Sobekan itu bisa dihamburkannya di ruang kerja atau rumah. Untuk karyanya yang baik, dia menyimpannya di sebuah kotak. Dan dari kumpulan cerita yang mungkin jumlahnya ratusan itulah, 18 di antaranya dibukukan dalam buku ini. Sastrawan sepertinya punya mitos-mitos sendiri yang membuat orang bergidik, tapi ya, dengan cara itulah mereka bekerja.

Dari 18 cerpen itu, atau fiksi pendek itu, bisa kau baca kurang dari lima menit, karena hanya satu, dua, atau paling banyak empat lembar. Jadi kau tak akan kesusahan untuk menikmatinya secara potongan dari halaman mana saja. Isu ke-Islaman sangat kental di sini, kamu bisa menemukan berbagai untaian moral Al-Quran dengan bahasa Najib sendiri. Banyak cerita di buku ini berakhir dengan mengambang, menggantung, dan tak selesai, seolah pembacanya sendiri yang diminta mengandai-andai akhirnya seperti apa. Aku sendiri kurang bisa melanjutkan, karena imajinasiku akan orang-orang Arab dan Timur Tengah masih sangat terbatas. Ya, barangkali aku perlu banyak nonton film TimTeng. Banyak nama-nama Arabik yang susah kau ingat karena tak biasa.

Secara keseluruhan setelah aku membaca buku ini, aku mendapat kesan kehidupan masyarakat Mesir di sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala kampung, dengan benteng yang dihuni jin di kampung tersebut, dan gejolak masyarakat sekitar yang menimpanya. Misalnya, kisah seorang perempuan membawa anak yang terus menerus berseliwertan di toko milik tuan kaya. Si perempuan tak mau pindah karena anak yang dibawanya itu adalah anak si tuan pemilik toko yang tidak dia akui. Hingga si tuan pemilik toko gila sendiri. Aku cukup amazed dengan kekuatan tekad si perempuan miskin ini. Isu kelas tentu ada, tapi tekad manusia di sini bagiku lebih penting. Perempuan ini bernama Zakiya.

Kisah lain yang bagiku unik, bagaimana seorang anak bungsu yang ditinggal mati oleh seluruh keluarganya (aku lupa entah karena perang atau bencana atau kutukan), dan ayah si anak ini menitipkan pesan, jika anak bungsunya hidup, dia diserahkan jadi pelayan surau, mengabdikan diri ke Allah. Namun, setelah tumbuh remaja, anak ini melakukan pemberontakan. Dia ingin ziarah ke makam orangtua, tapi imam bilang hari ini bukan musim ziarah (dalam hati, anjay, ziarah aja dimusimi, beda banget sama Indonesia). Akhirnya dia nekat ziarah dan mengaku telah bertemu arwah orang-orang yang meninggalkannya. Dia juga tertarik pada benteng yang dimitoskan jadi rumah jin, si anak ini mendatanginya. Akhir berakhir menggantung, anak ini seperti "gila" kembali.

Lalu ada pula kisah, sebuah wabah menangis yang terjadi di kampung dekat benteng (aku menduga-duga, barangkali Najib memang tinggal di dekat benteng). Setiap orang pergi ke pasar, misal membeli acar atau makanan, saat sedang membungkus makanan, atau menyiapkannya, tiba-tiba si penjualnya menangis. Ini terjadi meluas, tak hanya di pasar, tapi juga rumah-rumah. Kepala kampung akhirnya mendatangi imam kampung, seorang perempuan tiba-tiba juga menyeletuk jika penyakit itu bisa disembuhkan dengan tarian sufi. Entah apa hubungannya, tapi yang kutangkap penyakit ini tak terselesaikan, malah si imam sendiri yang ikut menari di sebuah rumah warga yang dia berprofesi sebagai pemilik hiburan semacam disko gitu.

Cerita lain yang kuingat tentang tukang roti yang kawin lari dengan seorang perempuan anak pengusaha kaya. Anak perempuan ini satu-satunya anak perempuan di keluarga. Dia lari membawa perhiasan ibunya. Lalu mereka menikah di daerah lain dan mendirikan toko roti yang akhirnya sukses. Si Bapak di suatu waktu mendapati dunia berputar seperti roda, usahanya bangkrut. Nasib terbalik, si menantu akhirnya mengirimkan bantuan ke si mertua. Hingga si mertua di akhir cerita berkata, anak perempuannya telah mengambil keputusan yang tepat. Wow, aku cukup mind blowing di sini. Seperti ada penjungkirbalikan fakta yang dilakukan oleh Najib Mahfuz akan nasib.

Kisah-kisah lain yang diceritakan Najib, seperti soal kisah perempuan yang bunuh diri dengan membakar diri karena tahu ibunya adalah perempuan tuna susila sementara dia baru menikah sebulan, salah seorang pria (yang juga imam) menyukainya seolah dilangkahi karena kelamaan. Dia merasa bersalah seperti menyebar fitnah akan ibu perempuan ini kemudian juga menjadi gila. Ibnu Hara, kasihan dia. Ramalan Namla, tentang orang gila yang stress, yang bisa berimajinasi bisa menyembuhkan orang lain dan termahsyur. Namun dia juga membuat ramalan sendiri terkait akhir hidupnya, di kelilingi orang-orang besar. Memang terjadi, tapi dalam kondisi mengenaskan, dan orang-orang besar yang dimaksud adalah semacam polisi, jaksa, atau struktur pejabat formal lain yang dingin. Bagiku ini ironi. Lalu kisah Hasan el-Dahshan yang menikah berkali-kali dan hidup seperti sial melulu, dan akhirnya tertarik pada pembantunya sendiri. Ini juga ironi. Bahkan di cerpen "Bisik Bintang" yang jadi judul utama buku belum bisa kutangkap dengan baik apa maknanya. 

Cerpen-cerpen di buku ini bukan untuk pembaca cerpen pemula. Plot twist-nya berjalan dengan zigzag alih-alih bisa kau duga. Karena tipis, aku sepakat jika tidak terjadi kedalaman yang dibangun dengan utuh. Karakter tokoh merentang panjang dari orang terbuang dan gila, hingga para bangsawan dan pengusaha kaya raya. Dari anak-anak sampai golongan tua. Dan mungkin ketika aku lebih tua, aku bisa lebih baik memahami buku ini.

Judul: Bisik Bintang | Penulis: Najib Mahfuz | Penerbit: Marjin Kiri | Jumlah halaman: vi + 78 | Penerjemah: Muasomah | Cetakan: Edisi pertama, Desember 2020

Senin, 26 Mei 2025

Diskusi Buku "Parasit dan Cerita-Cerita Lain dari Kampung Bantaran Kenangan"

Marjin Kiri di perayaan 20 tahun ulang tahunnya mengadakan banyak sekali diskusi dari pagi sampai sore. Salah satu acara sore yang kuikuti adalah Klub Buku yang membahas karya penulis Aris Rahman Purnama Putra berjudul "Parasit dan Cerita-Cerita Lain dari Kampung Bantaran Kenangan. Acara ini merupakan kolaborasi antara Marjin Kiri, Baca Batja Book Club, dan Aris Rahman P. Putra. Acara dilaksanakan di Gudskul Ekosistem, Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Mei 2025.

Jujur, ketika ikut diskusi Klub Baca ini aku belum baca bukunya Aris. Namun, jujur, aku suka dengan klub baca seperti ini karena membuka berbagai horison lain akan hidup yang enggak kutahu. Diskusi seperti ini juga hangat, karena melibatkan semua peserta yang datang. Kita membentuk lingkaran dan mengungkapkan secara bebas pemikiran kita akan buku yang dibahas. Beberapa hal yang kutangkap dari diskusi itu dan menurutku menarik adalah:

  • Semakin kamu miskin, semakin banyak kekerasan yang kamu hadapi. Itu kenapa pendidikan sangat penting. Jadi, usahakan jangan jadi orang miskin.
  • Ada peserta yang selama empat tahun telah melakukan tradisi membaca satu hari satu cerpen. Menurutku konsistensi ini sangat keren.
  • Ada peserta yang ketika membaca novel seorang penulis, dia memulainya dengan cerpen penulis dulu, karena dari situ bisa dilihat seberapa dalam keterampilannya, tema-tema apa yang menjadi penekanannya, dan isu-isu apa yang ingin dia sampaikan. Mungkin sama halnya ketika kamu hendak merasakan air laut, tak perlu semua kau bawa, kadang kau hanya butuh satu cangkirnya saja, kalau perlu satu sendoknya saja. Ya, mungkin begitu.
  • Ada juga yang cerita, bagaimana buku mempengaruhi manusia, dan bagaimana mereka bisa punya harapan dan mimpi. Seperti di kalangan pesantren kebanyakan bercita-cita pergi ke Timur Tengah seperti Mesir, tapi ada anak yang mau pergi ke Eropa seperti Inggris dan Prancis setelah membaca buku Edensor karya Andrea Hirata.

Melihat latar belakang penulisnya, Aris ini lulusan S1 Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Jadi buku Parasit-nya ini adalah kumpulan kenangan yang dia alami ketika hidup di Surabaya. Penulis favoritnya adalah Ernest Hemingway, juga Mahfud Ikhwan dengan kisah Dhawuknya. Dari Mahfud, dia belajar jika menulis sedekat mungkin dengan pembaca itu penting. Jangan sampai ketika membaca kita hanya sekedar jadi turis yang melihat-lihat tapi tidak terlibat. Big noted

Usai diskusi ini, aku memutuskan untuk membeli bukunya di stand Marjin Kiri. Aku menyelesaikannya dengan kecepatan yang tinggi, sekali duduk, sekitar 1,5 jam sepanjang 83 halaman. Ada sepuluh bab: Prolog, Pengutil, Parasit, Metamorlisa, Nonfiksi, Gembelengan, Rhoma, Nay, Planetarium, dan Epilog. Buku ini diedit pula oleh Felix K. Nesi. Secara umum, aku menangkap buku ini adalah cermin dari kehidupan di bantaran kali, yang jamak kita temui juga di Jakarta, tapi latar yang diambil oleh penulis di Surabaya. Aris mengklaim, kebanyakan penulis Surabaya memang ceritanya gelap-gelap. Isu kemiskinan yang dituturkan dari POV anak-anaklah yang ditekankan. 

Yang menarik pula, di tiap cerpen selalu diberikan persembahan untuk para sutradara yang penulis suka, dari: Kore-eda, Bong Joon-Ho, Guillermo del Toro, Yosep Anggi Noen, Lars von Trier, Alfonsi Cuaron, Steven Spielberg, hingga Jirapah. Contoh, judul "Parasit" ini terinspirasi dari film berjudul sama kaya sutradara Bong Joon-Ho. Aris memilih untuk jalan tengah, dia yang tidak terlalu dikenal banget, tapi juga tidak terkenal banget.

Semisal, di Prolog, bercerita tentang veteran yang hidup di kampung fiksi bernama Bantaran Kenangan. Lalu cerita berlanjut tentang pencurian tiga sahabat Med, Ndra, dan Ris yang mengutil kunci di kompleks perumahan elite di Surabaya. Cukup menegangkan ketika si tuan rumah mengetahui tingkah kriminal kroco tersebut dan meminta anjing peliharaan bernama Owi untuk menghajar mereka. Setelah itu, ada cerita kehidupan Mat dengan ibu dan bapaknya seorang sopir angkot. Ibunya iri melihat tetangga yang hidup lebih enak dan punya perhiasan, sedangkan dia tak punya apa dan hanya memberi makan tempe pada Risman. Si Mursid, bapaknya, punya pistol, yang entah dengan cara yang absurd terlibat dalam adu tembakan yang membuat si Bapak terbunuh dan kisahnya diberitakan di televisi. Cerpen Nonfiksi masih senafas dengan kisah di dalam rumah Mat yang miskin, dan bagaimana dia dan orangtuanya berjuang untuk itu. Untuk keluar dari kemiskinan.

Resonansi tentang latar orangtua Risman juga dibahas di cerpen "Rhoma". Cerpen ini mengisahkan sopir bernama Mursid yang menyukai seorang penjaga warteg bernama Ani. Sebagai kisah picisan pada umumnya, Mursid makan di Warteg, menggoda dengan manuver-manuver cringe-nya, hingga mengajak Ani jalan. Di Pasar Wonokromo, Ani ditraktir beli apa pun, dia milih kaset Rhoma yang Ksatria Gitar, karena Ani ngefans banget sama Rhoma. Namun, setelah pacaran itu, mereka menginpa di hostel, dan membuat Ani hamil. Keduanya keburu dinikahkan sebelum perut Ani membesar. Waktu berjalan, Ani yang jadi pembantu di kota besar seperti mendapati kisahnya didatangkan padanya lagi, dia mendapati anak majikannya hamil di luar nikah juga dengan pacarnya yang tak mau tanggung jawab.

Ada pula cerpen yang katanya jadi favorit di perbincangan dengan peserta di Baca Batja, Metamorlisa, tentang mbak-mbak bertanktop dan bercelana gemes, yang mengalami metamorfosis karena tubuhnya dipenuhi cairan hijau sebelum dia katanya berubah jadi kupu-kupu. Si mbak ini berhadapan dengan lima orang bocah yang kerap mandi dan renang di bantaran kali yang airnya berwarna cokelat. Tapi cairan lengket hijau ini mengeluarkan bau busuk yang membuat anak-anak bilang, "Hiyeeek!" Ternyata, si mbak-mbak ini mengalami kekerasan seksual. Dia juga diselingkuhi, dianggap bodoh oleh orangtuanya sendiri, dan aneka kekerasan struktural lain. 

Kisah lain yang bagiku menarik adalah "Gembelengan", bagaimana si anak kelas V SD yang dibully dan dijadikan korban kekerasan justru menikmati kekerasan itu sendiri. Dia menganggap kekerasan ini sebagai hal yang justru dinikmatinya. Sadis. Si guru ingin menolong tapi juga sedih dengan pola pikir Gembel ini. Gembel mendapat kekerasan tak hanya oleh seluruh teman di sekolah, tapi juga orangtuanya di rumah, cerita ini sedih banget dan membuatku pengen nangis. Ini situasi yang sama yang sangat beresonansi dengan kisahku. Bahkan ketika si guru mengecek tumbuh Gembel, banyak bukti kekerasan menempel di tubuhnya, yang tak bisa diobati bahkan dengan sajian ice cream.

Cerpen lain yang kusuka adalah Nay, semacam cerita di dalam cerita. Si Ndra main ke rumah temannya Nay yang kaya raya. Di sana dia membaca cerita karena diminta guru buat karangan. Dalam cerpen itu ada tiga cerita lagi: Kisah Bik Merian dan rumahnya yang angker, Todung Pendek dan Todung Panjang, serta kisah anak kecil bernama Madeline para perang Jerman. Semuanya sesak, dan di cerpen Planetarium, kisahnya diteruskan oleh Ndra saat Har memintanya berdoa ketika bintang jatuh, Har bermimpi pengen jadi orang kaya, tapi Ndra pengen berjodoh dengan Nay agar ikutan kaya. Nay juga Ndra sukai karena dia satu-satunya anak di sekolah yang suka baca buku selain buku pelajaran. Mimpi itu terjadi di truk sampah. Yang diakhiri dengan epilog bagaimana Kampung Bantaran Kenangan ini hilang digusur pasukan Satpol PP.

Antar cerpen di sini saling berhubungan. Seperti saling berhubungan, jadi nama Ris, Ndra, Mat ini disebut di beberapa cerpen. Yang kuingat dari diskusi itu, Aris ingin menceritakan banyak segmen hidupnya di masa lalu, termasuk bagaiamana dia bisa kuliah dengan Bidik Misi, bagaimana dia memperoleh akses bacaan dari temannya, dan jika dia tak bertemu temannya itu, entah bagaimana hidupnya. Cerita yang bagiku menarik, aku juga seperti itu, tanpa buku dan orang-orang di kelompok studi kritis, entah jadi apa hidupku sekarang? Sampai di titikku sekarang saja, aku sudah sangat bersyukur. Alhamdulillah.