Senin, 28 April 2025

Self-Coaching

Kemarin aku ikut education fair untuk kesekian kalinya, saat itu bertepatan di Hotel Pullman Jakarta, depan HI pas, dan depan EF Plaza Indonesia pada Minggu (27/4/2025). Acara ini diselenggarakan oleh SUN Education, tempat dulu aku ngambil IELTS kedua. Aku ingin mencatat pelajaran-pelajaran yang kudapat semasa mengikuti beberapa seminarnya.

  • Surat rekomendasi itu untuk memperlihatkan aspek-aspek di luar angka dari anak yang diberikan mahasiswa, misal terkait anaknya ini seorang problem solver, resilience, hardworking, punya keinginan yang besar untuk terus belajar, dlsb.
  • Seorang higher achiever bisanya suka overwhelming, dan itu perlu dinavigasi. Mengelola ekspektasi dengan "self-coaching". Dan salah satu hal yang kutekankan ke diri sendiri, "Is, belajarlah self-coaching". Kegiatan ini serupa melakukan refleksi diri. 
  • Orang-orang Indonesia rata-rata tidak tahu kelebihannya apa, tapi ketika ditanya tentang kekurangan, mereka bisa mengungkapkan daftarnya sampai seribu. Kita bisa melakukan self-coaching di sini dengan mendaftar paling tidak 25 kelebihan yang kita punya. 
  • Jangan terlalu fokus memperbaiki kekurangan, nanti kelebihannya jadi tumpul. 
  • AI cuma alat, jangan mengandalkan AI, karena akan terlihat. AI itu bahasa mereka to good to be true. Sementara tulisan tangan kita sendiri itu serupa signature
  • Pemberi beasiswa suka dengan program atau proyek sosial yang memberikan dampak kepada masyarakat. Wawancara itu punya bobot 70 persen dalam seleksi penerinaan beasiswa. Seperti bagaimana kita meyakinkan orang dengan biaya miliaran untuk diberikan ke kamu. Kayak seorang calon mantu yang mau meyakinkan calon mertua.
  • Tujuan iinterview itu kalau diibaratkan bisnis, saya invest ke kamu itu worth it gak? Jangan sampai jadi "awardee maling", yang egois cuma peduli sama diri sendiri. Dapat beasiswa gak pulang, sibuk ngejar karier untuk diri sendiri.
  • Be prepared. Use the STAR methods: Situation, Task, Action, Result.
  • Kalau kamu diinterview, dan pilihan kamu ke luar negeri, sebisa mungkin, pakailah bahasa Inggris, karena kadang interviewer juga menjebak.
  • Kalau bicara terkait kekurangan, "Jadilah problem solver untuk masalah sendiri."
  • Kalau kamu mikirin "impact-impact-impact" apa yang bisa kamu berikan untuk masyarakat dan negara, kamu akan mendapatkan beasiswa itu sangat mudah. "You will get the scholarship easily."
  • Proyek sosial tak perlu yang susah, lakukan hal-hal sederhana, seperti mendaur ulang sampah. Atau kamu ngumpulin sampah terus dijadikan kerajinan tangan apa gitu juga boleh.

Menutup tulisan ini, pas aku pulang dari Pullman, aku masih bisa nemu bapak-bapak kaki lima penjual nanas keliling. Harganya juga wajar, dua wadah 20 ribu. Entah kenapa sore itu rasanya aku trenyuh.

Minggu, 27 April 2025

Sif Malam (Jalan Pulang)

Untuk Mas Irfan dan Mas Wiman

"Dan kesepian semakin mahir merawatmu...."

Halo Mas Irfan R. Darajat di Jogja, juga Mas Wiman Rizkidarajat di Purwokerto, kakak-kakakku di dimensi yang lain. Malam ini aku ingin ngobrol bareng kalian, sambil curhat gak papa ya, entah kenapa aku selalu bilang begini sebelum curhat. Seolah aku harus minta izin untuk mengungkapkan perasaan, meski sebenarnya itu tak perlu. Kalau mau cerita ya cerita saja, begitu kata sahabatku yang lain. Mungkin aku memang serentan itu membicarakan hal yang dianggap orang menyek-menyek.

Mas-masku yang baik, aku mengenal Jalan Pulang pertama jujur pas diajak Sidra wawancara terkait kolam musik indie yang spesifik. Waktu itu aku nemenin Sidra (yang sekarang anaknya mburuh di Australia itu) pas dia jadi anak magang Arena untuk wawancara Mas Irfan (vokalis JP) di Joglo Kopi Sorowajan, tempat ngopinya anak-anak UIN. Waktu itu kira-kira sepuluh tahun lalu, 2015, saat negara api (aka Jakarta) belum menyerangku. Aku merasa saat itu ada kedekatan sendiri terkait bagaimana Mas Irfan menceritakan lagu-lagunya, cerita kuliahnya di Fisipol UGM, bacaan-bacaan dia, penulis-penulis semasa angkatan kami, teman-teman kami yang saling beririsan, sampai isu-isu yang dibawa dalam karya.

Mulai sejak itu, aku mulai mendengarkan Jalan Pulang. Aku memulainya dari lagu "Pulau Laut", "Kartu Pos dari Moscow", "Rumah Dijual", dan "Mei". Aku bisa sangat panjang berbicara untuk setiap lagu ini satu per satu. Saat itu aku mendengarnya di YouTube, lagu-lagu itu entah kenapa sangat-sangat dekat denganku. Aku bahkan bisa melahirkan kalimat-kalimat yang tak kalah puitis yang terinspirasi dari lagu-lagu itu, dan membuatku kaget sendiri, bisa juga ya aku buat kalimat seperti ini. 

Jangkar lain yang membuat labuhan pada Jalan Pulang berumur panjang, ketika aku ikut Sekolah Urbanis yang diadakan RCUS, dan diketuai Mas Irwan Ahmett dan Mbak Tita Salina. Saat itu, aku ada tugas akhir, dan wawancara Mas Irfan lagi via Zoom. Dari obrolan itu, banyak-banyak banget kupasan bawang yang aku ketahui dari Mas Irfan dan keluarga, karena saat itu tema tulisanku soal orangtua. Aku tanya sampai ke detail, bagaimana orangtua Mas Irfan mempengaruhi karakter dan tingkah laku sekarang? Apa pemikiran Bapak yang selalu diingat? 

Mas Irfan saat itu cerita sangat banyak dan menyentuh. Dari dia yang sejak kecil suka sakit-sakitan, cita-citanya menjadi kenek angkot karena posisinya yang enak (semilir dekat pintu), lagu-lagu yang sering diputar di rumah ketika kecil, ayah yang kuliah doktoral di Jerman, pengen motor tapi tak dibelikan (pas dewasa baru sadar saat itu situasi keuangan sulit), obrolan dengan ibu yang intens, kakak laki yang keras kepala, kakak laki-laki yang punya banyak ibu (karena dirawat banyak saudara ibu), dan kakak laki-laki itu adalah Mas Wiman Rizkidarajat. FYI, keluarga Mas Irfan ini UGM hard core, ayah beliau profesor di UGM, ibu beliau pegawai UGM, Mas Irfan dan Mas Wiman juga kuliah di UGM. Kurang Kagama apalagi? Kagamanya Kagama ini mah.


Usai obrolan Zoom itu, aku langsung mengikuti Mas Wiman di Instagram, dan gak nyangka difolback (seneng waktu itu, haha, seperti ajakan perkenalan dan persahabatanku divalidasi, dan rasanya entah kenapa langsung bisa klop, kek sirkelnya nyambung). Istri Mas Wiman yang bernama Mbak Margi Ariyanti juga kebetulan anggota Jalan Pulang, beliau pegang piano. Mas Wiman dan Mbak Margi punya anak laki-laki lucu bernama Daya (nama lengkapnya Amerga Bhismadaya). Berbeda dengan Mas Irfan, Mas Wiman mengambil jalur akademisi alih-alih musisi. Eh, Mas Irfan sekarang dosen di UGM juga deng, berarti dua-duanya akademisi (dan musisi). Aku sering aktif memantau story-story beliau, Mas Wiman, tentang kehidupan kampus, kehidupan jadi dosen Unsoed, skena DIY Purwokerto, jurnal-jurnal yang beliau terbitkan, musik-musik blackmetal beliau, foto-foto Daya, sampai konten larinya. Beliau ini soal lari memang keren, sehari bisa sampai 10-20 kilometer dilalui, dan itu tiap hari. Gila sih, aku belum kuat tirakat sampai sana. Kisah olahraga lariku paling jauh di Jakarta gak sampai 5 km, dan itu frekuensinya bisa dihitung jari.

Seiring berjalannya waktu, setelah mengenal Mas Irfan yang berkecenderungan karakter khas negara Nordic, dan Mas Wiman yang berkecencerungan karakter khas Nusantara, aku tak tahu menyebutnya apa, tapi inti yang ingin aku bilang adalah kalian serupa kakak-kakakku di dimensi hidupku yang lain di luar saudara sedarah. Kedekatan kultural akan jiwa dan daya inilah yang kurasakan, selain obrolan seputar musik, hidup, dan buku di Instagram.

Sebenarnya di tulisan ini tuh, aku mau cerita tentang lagu "Sif Malam" dan bagaimana kisah itu relate denganku. Mas-masku, sejak tanggal 8 April 2025 lalu (ekhm, sesi curhatnya dimulai ini), aku dapat tugas dari kantor untuk rekap link berita dan dikirimkan antara jam 22.00-23.00 WIB, dan ini tiap hari. Ya Allah, setelah kujalani ini berat banget. Apalagi tadi habis dari Tangerang Selatan, perjalanan jauh, pulang capek, tapi harus kerja lagi. Belum ditambah lagi dengan ngedit berita, Ya Allah. Tapi pas aku dengar lagu "Sif Malam", aku merasa mak jegagik, brengsek! Ini musiknya gak ada obat! Ngena banget di aku pas di lirik: "Dia memang terluka, dia tak ingin bercerita atau berkeluh kesah, dia hanya ingin terus bekerja dan melupakan semua...." Terus dilanjutkan ke reff-nya, anjayyy! Keren banget! Gak ada lagu lain yang bisa mengerti pekerjaanku dari jam 10-11 pm ini selain lagu "Sif Malam"-nya Jalan Pulang.


Ya Allah, karena shift baru itu, jam tidurku terganggu. Kalaupun aku tidur, sering gak nyenyak. Aku kadang di kantor nyuri-nyuri tidur. Emosiku beberapa waktu jadi gak stabil. Aku mau complain tapi ya gimana? Meski aku pernah diajak ngomong Kapuspen terkait ini, tapi sampai sekarang gak diobrolkan lagi, dan gak dicari tandeman yang bisa gantian. Malam ini jujur adalah malam yang berat, dan lagu "Sif Malam" memahami dan menghiburku dengan sangat baik. Suwun mas masterpiece-nya.

Aku mau bilang makasi juga telah mengundangku lewat Ruang Pana untuk hadir di konser Jalan Pulang Sabtu ini di Beranda Svara, tapi karena beberapa hal, aku gak bisa datang. Sedih rasanya, jujur, Kalau Jakarta-Jogja sedekat Jakarta-Bogor, aku akan jamin duduk di saf paling depan, dan bernyanyi bersama kalian satu album "Dan Kisah-Kisah Lainnya", dari lagu "Kepada Ytc." sampai "Malam Nyari Sempurna".  Kapan-kapan kalian harus konser di Jakarta ya, kutunggu lho, kutunggu. Sebagai adik di dimensi lain, aku sayang kalian banyak, sayang kalian banyak mas-masku. Sehat terus dan jangan berhenti berkarya.

Jakarta, 27 April 2025, di Sif Malam, jam dua dini hari

Selasa, 22 April 2025

Problem ABC Scholarship Course: Kamu Punya Flow Kamu Sendiri

Ruang Refleksi
Hampir selama tinggal di Jakarta aku giat banget ikut kursas-kursus yang berhubungan semua dengan tips, trik, panduan beasiswa. Banyak yang kuikuti dan gak murah. Namun semalam aku seperti diingatkan blind spot yang gak kusadari dari menjamurnya jasa-jasa lembaga gibal-gibul seperti itu, dengan produk yang kadang gak sesuai sama iklan yang mereka tawarkan. Obrolan dengan mahasiswa NUS semalam tentang ABC course and scholarship memberiku pelajaran penting: Pertolongan itu lebih mudah, murah, dan dekat dari yang dibayangkan; yang membuat berat, mahal, dan jauh adalah kapitalisme (anjay kapitalisme) dan rasa gak enakan sebelum mencoba mencari pertolongan sama orang-orang terdekat.

Beberapa blind spot abc scholarship course gibal-gibul yang pengen ku-highlight: (0) mahal, (1) mereka punya rumus dan outline sendiri misal dalam bikin esai, tapi tanpa sadar itu mematikan kreativitas, dan membuat esaimu jadi generik karena sama dengan yang lain; (2) mereka gak kenal kamu, gak tahu latar belakangmu, mostly mereka kerja ya kerja; (3) apa yang mereka tawarkan setelah kamu jalani kadang gak sesuai kebutuhanmu; (4) personalisasi kamu sebagai "human" yang autentik itu direpress sampai dihilangkan; (5) paling nyebelin kalau itu sifatnya grup, akan selalu ada orang-orang yang udah jelas informasi ada di grup/panduan beasiswa, tapi tetap ditanyakan lagi. Stupidity at its best.

Sekarang aku ada di tahap trust issue (anjay trust issue) sama lembaga abc course scholarship. Apalagi lembaga yang kuikuti terakhir. Pertama, dia gak nepati janjinya untuk bantuku brainstorming ketika Zoom sama salah satu profesor di universitas Australia yang kubibrik. Bahkan setelah Zoom itu selesai, dia juga seolah biasa aja. Kedua, jam dia Zoom gak sesuai sama di iklan, dibilang pertemuan 1 jam, tapi dia seringnya cuma 30 menit. Dari 4 kali pertemuan, tiganya sekitar 45-30 menit. Ketiga, ini yang bikin aku hopeless. Kami Zoom pukul 9 pagi, semua masukan dia kuproses as soon as yang kubisa tiga jam kemudian. Kurang semangat apa? Aku juga nawarin jadwal pertemuan ulang di tanggal yang dia kosong, tapi gak direspons. Lalu ku-WA lagi dua hari kemudian gak direspons. Kubiarkan dari tanggal 14 April sampai 22 April sekarang gak direspons. Padahal penutupan beasiswa 30 April. Udah pengen cepat-cepet submit, tapi ya, ya udah. Terserah dia aja balasnya kapan.

Sekarang ada di tahap "nrimo ing pandum" dan manut sama skenario Tuhan, Yang Maha Teliti, yang membuat skenario hidup. Aku hanya alat Beliau saja di dunia ini. 

Minggu, 13 April 2025

Pameran Pendidikan di Hotel Kempinski

Punya pengalaman berkali-kali ikut education fair, rasanya seperti overwhelming, dan baru kali ini, setelah aku tahu yang kumau, jadi gak bingung lagi apa yang dituju. Aku sepakat, mindset bertumbuh tuh mesti dijaga nyalanya tiap hari. Gak papa di masa paling blo'on sekali pun ngumpulin banyak brosur yang akhirnya gak guna, jalan dari stand ke stand lain dengan konsultan yang gak jelas dia ngomong apa karena kendala bahasa (itu masih mending dibanding ketemu konsultan yang belum-belum bikin lu makin inferior broaden your POV, karena ada tipe konsultan yang emang galak), ketemu banyak ratusan, ribuan anak yang padha pinter, ambis, and shining wanna be. Satu hal yang kupelajari: lu punya perjalanan unik lu sendiri, toh, kalau itu gak sampai, ada tempat lain yang lebih indah.

Dan pelajaran yang kudapat dari pameran ini adalah:

1. Tujuan milih kuliah itu sandarannya apa yang kamu lakukan. Kalau mau daftar, kau harus tunjukkan dirimu bisa balance di banyak hal, gak cuman pinter doang, banyak coy orang pinter di Indonesia. Yang kurang itu orang yang seimbang, yang dewasa, pola pikir harus tumbuh, jadi otentik, kalau kamu lucu, ya tunjukkan kamu lucu. 

2. Jangan lupa: Practice, practice, practice.

3. Ingat: BAHASA BUKAN PENGHALANG LO DI MANA PUN! Terapkan growing mindset. You don't need to get the all answer and result at the present.

4. Mulailah seawal mungkin, jangan mendekati deadline. Buat langkah beyond. Tuliskan tiga hal paling gak yang bisa bikin penyeleksi ingat sama kamu (three things do you want to remember). Banyak personal statement, tapi apa yang membuatmu berbeda. Jadilah autentik dan jujur. 

5. Personal statement itu penting, karena nentuin tujuan. Membantumu memetakan apa yang kamu inginkan, bagaimana sejalan dengan tujuan, dan untuk mengetahui dirimu sendiri. Hindari menjadi terlalu general, semakin autentik kami, maka semakin berguna, jangan jadi duplikasi. Kualitas penting, tunjukkan kamu unik. "It's more like story telling and visualize you."

6. Trik sebenarnya sederhana, sebagaimana seperti kamu main Tinder, bagaimana membuat profilmu bisa dilirik oleh orang lain dalam aplikasi. Bagaimana kamu membangun personal branding, kalau kamu suka binatang, tulislah misal kamu aktif di Animal Welfare. Kalau kamu punya hobi, tunjukkan, daripada mendaftar kamu melakukan ini dan itu. 

7. Satu kesalahan fatal dari orang yang mendaftar beasiswa: MEREKA HANYA PEDULI PADA BEASISWA ITU SENDIRI, TAPI TIDAK PADA DIRI MEREKA, KARIR MEREKA, dan APA YANG BENAR-BENAR MEREKA INGINKAN. Kamu punya waktu untuk menjadi versi terbaikmu. Kamu bisa kontribusi apa? Mau jadi apa? Apa yang bisa kamu berikan balik untuk pemberi beasiswa yang tak murah ini? Please be different. Details and break the application. Tulis course yang sangat membuatmu hidup.

8. Kalau kamu dapatin beasiswa, perluas horisonmu, sekali lagi: BAHASA BUKAN MASALAH. Kamu bisa travel di banyak tempat. (Aku ingat pas di UGM, sepede itu ngomong Inggris meski patah2 di depan penerima Nobel.)

9. Kalau lu ada di sekolah yang baik, itu akan buka banyak kesempatan baik pula. Beasiswa Pergururan Tinggi Utama Dunia (PTUD) ini jadi jalur paling baik untuk dapat beasiswa, karena kamu sudah struggling duluan di aplikasinya yang berat. PTUD juga melambangkan kualitas yang lebih baik. Di sini sangat-sangat-sangat kompetitif. You need to secure your place first.

10. The best investment you can make is yourself.

11. Bingung mulai sekolah dari mana? Mulailah dari program, di mana program itu mempunyai tempat terbaik, apa indikatornya? Ketika nemu program terbaik, jahit dengan kebutuhan dan rencanamu. Misal, kalau kamu milih Antropologi, apa yang kamu inginkan dari Antropologi?

12. Ada dua kesalahan utama para pelamar beasiswa: (a) Isi aplikasi mereka dari belakang, sekarang, dan ke depan GAK NYAMBUNG. Apa pun rencananya, dongengmu harus nyambung. Ketika menulis esai, kamu melakukan ini karena ini; dan kamu akan melakukan ini. Pokoknya gimana ceritanya dari belakang, sekarang, dan depan NYAMBUNG. (b) Tulisan mereka tidak spesifik dan mengawang-awang, pemberi beasiswa tidak butuh "saya ingin memajukan Indonesia," tapi "saya mau melakukan pemeriksaan gratis setiap minggu di Puskesmas Karangboyo," misal. Akan semakin bagus jika ada cerita. Terus lakukan riset, jangan berhenti. 

13. Tiap tahun lebih kompetitif, PR-nya banyak. Simple: semua itu praktis dan bisa dipelajari. Nggak perlu terjebak dalam lembaga yang gombal-gambul.

Senin, 07 April 2025

Mencintai Seperti Catatan Kaki

Semua boleh goyah dan berubah, tapi hatiku masih stuck di kamu. Kau serupa mata air yang gak habis-habisnya kutimba, lagi, lagi, dan lagi. Kau tak hanya memberiku hidup, tapi juga cinta, inspirasi, poros, semesta. Mungkin aku terlalu memaksakan diri (meski tahu ukuran sepatu kita tak pernah sama), mungkin aku terlalu keras kepala (lebih dari batu), mungkin aku kekanak-kanakkan (yang memaksa mainan kesukaan tertentu meski tak mampu dimiliki). 

Tak ada yang menyentuh hatiku sedalam itu, serupa kamu. Aku telah pada taraf yang ekstrem kadang, menjadikanmu sebagai kompas hidup. Jika kau tak ada, apalah arah hidupku nanti. Aku menyerah, aku gagal, aku gagal melepaskan diriku padamu. Membebaskan pengaruhmu dari diriku. Sering kan kubilang: Jika kau adalah kitab, aku hanya serupa catatan kakimu saja, dan aku tak mau meminta lebih. Catatan kaki bisa dibaca, tapi lebih sering tak dibaca. Begitu pula aku di hidupmu.

Tiba-tiba aku curiga, Isma yang sekarang adalah manusia rakitan yang otak dan kepribadiannya dibentuk, diciptakan, dan sengaja atau tidak dirawat olehmu. Berbagai prestasi dan lejitan inovasi yang kubuat semata-mata seolah bersumber dari semangat yang sama: "wujud cinta yang kurasakan padamu." Itu kenapa, pondasi dirimu sudah mengakar, dan seandainya aku pohon, maka akar yang menguatkanku, membuatku tegak berdiri adalah kamu. Sebab mencermati hidupku sebelum bertemu kamu, aku hanya serupa anak sekolah pada umumnya, pretasi pas-pasan, masuk ke kelas sekadar masuk, ya, tak seberat setelah aku mengenalmu. Aku seperti ketiban tanggung jawab untuk tidak cuma mengurus diriku sendiri. Ah, brengsek kamu! Menjadi rumusanmu "Einstein+(Marx×Pram)=Isma" itu jadi jihad yang kuperjuangkan karena kamu yang mengatakannya dan aku mengamininya.

Di Jakarta aku telah melalui banyak musim, tapi aku merasa di sana terlalu lama dan tak melakukan apa-apa. Di Jakarta rasanya seperti menikmati ice cream, makanan/minuman yang tak kusuka-suka amat, tapi diminati orang banyak; dalam hatiku sendiri, serupa ice cream, tak memberiku gizi. Menurutku, tak ada yang bisa menggantikan masa panjang itu, masa masih hidup di universitas bersamamu. Aku mengenang masa-masa di mana aku bisa membuat tulisan yang sangat sentimentil dan emosional, membuatkan puisi-puisi yang kukirim ke emailmu dan tak pernah kau balas, membuatkanmu novel-novel yang kupersembahkan padamu meski tak tertulis, dan setelah kita sama-sama keluar dari Jogja, aku seperti Michael yang kehilangan Hanna di film The Reader (2008).

Aku menonton film The Reader kemarin, dengan kedalaman yang sangat berbeda njomplangnya. Film ini memang bukan untuk semua orang, hanya penonton yang punya derita batin serupa yang bisa terhubung. Jika pertama kali aku menonton film ini merasa jijik dan menganggap film ini sampah dengan skor 1/10; kemarin aku berani declare, ini film drama terbaik yang pernah kutonton dengan skor 9/10. Film ini bagiku bukan sekadar film, tapi lompatan paradigma personalku membaca yang di luar diriku. Rasionalisasinya, ketika aku pertama kali menontonnya, aku terjebak dalam stereotip adegan affair-nya saja yang waktu itu terasa plastis, permukaan, dan murahan. 

Menontonnya ulang aku mengumpat, anjir, Michael (David Kross) dan Hanna (Kate Winslet) di sini akting mereka perfect! Kate Winslet mendapatkan piala Oscar pertamanya karena film ini, dan di pidatonya yang sebentar, dia bilang mimpi mendapatkan piala Oscar telah dia manifestasikan saat kecil di kamar mandi, dengan wadah sampo sebagai pialanya. Tiap detik, Kate dan David menjiwainya, dan aku bisa paham dengan pilihan dan keputusan yang diambil para tokoh-tokohnya (meski aku tak bisa sepakat dengan semuanya). Muatan dilema moral, filsafat, etika, hukum, sejarah, sastra, guilty pleasure, dll, ini problem yang sangat manusia, dengan pertanyaan besar: Bisakah cinta dilepaskan dari sejarah? Dalam konteks ini Nazi dan Jerman.

Bagaimana perempuan seusia Hanna yang berumur 36 tahun menjalin hubungan intim dengan bocah 15 tahun yang mirip seperti anaknya. Aku paham bagaimana Michael di usia segitu sedang menggebu-gebu dengan darah mudanya, ego usia muda yang besar; sementara Hanna yang illeterate, tak bisa membaca dan menulis, nyaris tak memikirkan hubungan jangka panjang. Sebab dia serupa perempuan kesepian umumnya yang terbiasa menderita dan tak ingin menambah beban ke diri sendiri. Michael yang dipanggilnya "Kid" itu hanya oase sebentarnya saja yang kasual, setelah itu kembali ke kenyataan hidup yang membosankan di Jerman setelah Perang Dunia II.

Keduanya juga berasal dari kelas ekonomi yang berbeda dan relasi kuasa yang berbeda. Michael dari anak orang kaya yang etiketnya dijaga sampai di ranah meja makan, Hanna dari kelas pekeja, petugas karcis di trem, serta tinggal sendirian di apartemen murah dan miskin pinggiran Jerman. Bagian yang paling kusuka di film ini saat Michael mengajak Hanna sepedahan di sebuah daerah yang ada di novel sastra klasik yang dia bacakan kepada Hanna. Michael mengajak Hanna makan, tapi dia bingung saat melihat menu makan, dia tak bisa memilih karena tak bisa membaca. Apalagi di sampingnya ada banyak anak-anak yang tertawa-tawa sambil memilih menu. Bisa kau rasakan bagaimana psikologi Hanna kala itu? Scene itu membuatku terenyuh. 

Bagian yang membuatku menangis: saat Michael bertemu Hanna lagi di persidangan. Di mana persidangan ini barangkali serupa yang digambarkan Hannah Arendt dalam bukunya "Eichman in Jerusalem". Bagaimana Hanna yang illeterate itu dicerca habis-habisan, sampai dia mengakui kesalahan yang sebenarnya tak murni kesalahannya. Juga karena dia malu dianggap tak bisa membaca dan menulis. Kesalahan yang andai dia akui bisa meringankan hukumannya di penjara. Scene ini juga menyimbolkan bagaimana genosida yang terjadi di Auschwitz gagal dibaca oleh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk negara dan oknum-oknumnya. Aku ikut menangis bersama Michael saat keputusan penjara seumur hidup kepada Hanna diputuskan, itu perasaan perih yang purna, saat kau tak bisa melakukan pembelaan apa pun terhadap orang yang kau cintai karena ada perasaan bersalah dan perasaan yang belum selesai. 

Kau tahu hal lucu lainnya apa? Michael kuliah di Heidelberg Law School, dan tadi pagi Heidelberg menolakku. Sekitar sebulan yang lalu, mengikuti jejak akademikus Geger Riyanto, aku daftar Master di jurusan Sosial Antropologi Universitas Heidelberg. Aku buat surat motivasinya sebaik mungkin, meski akhirnya aku gagal di administrasi, karena mereka menganggap dokumen yang kuunggah tak sesuai ketentuan mereka. Aku mendapat pengumuman lewat bahasa Jerman dan Inggris, dan rasanya begitu, mak jleb, kenapa bisa sekoinsiden ini dengan Heidelberg? Tempat kuliahnya Hannah Arendt itu, juga di film The Reader, Michael masuk kelas eksklusif dari hanya beberapa mahasiswa terpilih oleh profesornya. Bagian itu seperti melecutku dengan halus, aku ingin juga menjadi yang terbaik. 

Metanarasi lainnya, kisah Michael dan Hanna tentang dua orang yang berbeda umur yang jauh (si anak 16 tahun dan si perempuan 31 tahun), kurasakan pula di lagu Und es war Sommer yang dinyanyikan Peter Maffay. Ingat lagu ini, niatku belajar bahasa Jerman jadi naik, haha. Kembali, inti perasaan di film The Reader: aku menangis saat Michael tak berani menemui Hanna ketika dipenjara. Aku menangis saat Michael memutuskan untuk merekam suaranya ke dalam kaset, membacakan novel-novel klasik seperti Odyssie karya Homer, Petualangan Tintin karya Georges Prosper Remi, Petualangan Huckleberry Finn karya Mark Twain, The Lady with the Dog karya Anton Chekov, Intrigue and Love karya Friedrich Schiller, War and Peace karya Leo Tolstoy, juga buku-buku lain dalam versi novel "The Reader" karya Bernhard Schlink, seperti Franz Kafka, Thomas Mann, Goethe. 

Aku menangis saat Hanna belajar membaca dan menulis. Aku menangis saat Michael edisi tua punya satu anak bernama Julia dan pernikahannya yang gagal, lalu bertemu Hanna lagi di bangsal sosial. Keduanya punya harapan yang berbeda, Hanna sangat semangat, dan Michael seperti lempeng mungkin karena kelelahan hidup akan cinta yang dirasakannya ke Hanna. Sampai puncaknya, Hanna memilih untuk bunuh diri (padahal sebelumnya Michael telah mempersiapkan rumah kecil untuk Hanna di masa sepuhnya); aku tak tahu alasan kuatnya, tapi itu scene yang membuatku ingin menangis keras. Aku bisa merasakan betapa hancurnya hati Michael, tapi di saat yang sama, aku bisa memahami keputusan Hanna. Kadang dunia memiliki selera humor yang gelap dan kejam seperti ini.

Aku ingin kembali ke pembahasan kita, film ini sangat sesak di dada. Aku membayangkan, barangkali aku serupa Michael, yang sejauh apa pun aku pergi, bertemu dengan sebanyak apa pun orang, aku kesulitan konek dengan mereka secara lebih mendalam. Mungkin nanti aku akan menikah dan punya anak (kau juga), tapi aku ragu pengaruhmu dan cintaku padamu akan hilang. Kompleksitas psikoanalisis Lacanian terkait, "Why do people stay stuck in toxic relationship?", dan bagaimana Slavoj Žižek memperluasnya dalam hubungan negara dan masyarakat mungkin sedang kuhadapi pula. Kesenangan dan kesakitan sekaligus mungkin yang membuat suatu hubungan itu lebih pelik dari sekadar toksik dan tidak toksik.

Lacan memang sudah mengingatkan, orang yang bertahan dalam hubungan toksik bukan karena dia tak tahu, tapi terjebak dalam struktur hasrat yang selalu dibentuk dari kekurangan. Sebab kita selalu merasa ada yang hilang, lalu membangun fantasi pada objek di luar kita: orang yang kita cintai. Tentu ini diikuti kebodohan-kebodohan lain: menggantungkan keselamatan, pemujaaan, sampai upaya pemberontakan untuk meruntuhkan fantasi yang telah lama dibangun. Kesenangan dalam ketertindasan yang disebut Žižek sebagai kenikmatan tersembunyi (jouissance). Sekali lagi, bukan aku tak tahu, bukan aku tak sadar, tapi aku memang memilih untuk mengurai dan memahami kepelikanku akan ini.

Kau tahu, kenangan bersama orang yang kau cintai bisa membentuk peta perasaan, pikiran, dan tubuh seseorang seumur hidupnya. Aku merasa, hingga sekarang, aku masih menjadi seseorang yang tak hanya bisa menerima kedalamanmu, tapi aku juga ikut berenang bersamamu tanpa aku takut tenggelam. Dan kuyakin, seumur hidupmu, rasanya kau belum pernah bertemu dengan orang yang serupaku, yang berani menyelami kedalamanmu seperti diriku.

Narasiku ini tak berlebihan, pada dirimulah segala cinta, kerinduan, dan aneka hasrat yang kuinginkan dan kucari menemukan bentuk. Semacam Michael yang mungkin hanya menjadi catatan kaki bagi Hanna, aku pun barangkali begitu, hanya menjadi catatan kakimu saja. Tak selalu kau lihat, tapi ada. Jika cinta adalah soal kamu mau hidup dengan jenis keraguan yang mana? Aku akan menjawab, keraguan terhadapmu. Jika cinta bukan hanya gejolak, tapi keputusan yang berulang-ulang setiap hari, kau adalah yang sering kuulang-ulang itu. Jika tema hidupku adalah kamu, maka aku bisa bercerita tentang banyak manusia yang hidupnya aneh-aneh. Dunia memang berantakan dan kacau, tapi bersamamu terasa teratur dan masuk akal.

Dua hari yang lalu, aku meminta ChatGPT untuk menggambar kita. Ah, dia gak adil, masak kamu mirip tapi di aku gak mirip, haha. Ya sudah, gak papa, anggap aku memang secantik perempuan di gambar ini. Prompt visualisasi ini memang terinspirasi dari lagu "Bangku Taman" dari Pure Saturday yang sering kau dengar ketika di Student Center dulu. Sampai sekarang, aku menganggap lagu itu selalu hidup, di samping lagu "Kosong" dan "Elora". Dan jika kau bertanya, mood apa yang ingin aku bangun dalam tulisan ini? Aku menjawab seperti di lagu "Bangku Taman" bersamamu... Sungguh, seperti tertulis di lirik awal lagu "Elora", aku tak menginginkan apa pun selain yang telah kau berikan padaku.

Lima hari setelah ulang tahunmu yang ke-36 tahun. 

Catatanku sebagai kado untuk ulang tahunmu.

Jakarta, 7 April 2025

Ps: Tanggal 2 Mei 2025 kemudian, aku menulis keputusan besar yang kutulis di sini, "Surat Selamat Tinggal untuk S".