Serial "Rokuhōdō Yotsuiro Biyori" ini diadaptasi dari serial komik Jepang dengan judul yang sama karya Yū Shimizu. Serial ini bisa ditonton di Netflix dengan jumlah episode ada 10, per episodenya menceritakan tentang kehidupan empat tokohnya satu per satu, latar belakang mereka, dan kenapa mereka bisa sampai ke Rokuhoudou. Konsep restauran mereka unik: pakaiannya kimono dan arsitekturnya klasik. Terkadang restauran ini juga jadi tempat terapi dadakan yang menampung curhat-curhat pribadi pengunjungnya.
Tsubuki, Sui, Tokitaka, and Gure |
" ろくほうどう" film, it's about the old cafe which is running by four men: Sui (expert at the tea), Tokitaka (The Chef), Tsubuki (expert at the pastry), and Gure (The Barista). They also have a cute cat named Kinako. Sui has a twin named Yakyo, he is running the big hotel in the town, but these twins get conflicts in the vision, style at works, and characters. That's a fun serial tho.
Empat karakter cowok yang ngurus restauran Rokuhoudou ini unik-unik dan punya keahlian mereka sendiri. Yang paling dituakan dan menjadi lead-nya atau manajernya adalah Sui, si pewaris restauran dari kakeknya yang juga adalah ahli pembuat teh. Rasa teh Sui dan kakeknya mirip. Nah, masakan mereka itu boleh dibilang sempurna, dan gak ada gagalnya! Tiap kali pengunjung datang ke restauran mereka itu selalu pulang dengan wajah senang meskipun mereka datang dengan sedih; entah karena kehilangan orang tersayang, deadline pekerjaan, kesepian, dan rupa-rupa masalah manusia lainnya. Namun di sini juga anehnya, saking sempurnanya, jadi gak ada celah buat masakan-masakah yang tidak enak. Iee, ichigaimasu.
Nah, konflik utama di serial ini tuh konflik saudara kembar, si Sui dan Yakyo. Sui ini tipe orang yang suka membuat orang lain senang, orang lain mendekatinya mudah, hatinya perasa dan peka, dan tipe orang yang people pleasing. Saking suka menolongnya si Sui ini, bahkan ketika ada orang yang tidak membayar karena pekerjaan yang dia lakukan pun, dia fine-fine aja. Saudara kembarnya si Yakyo sebaliknya. Dia serius, dingin, tidak mudah didekati, ambisius, dan perasaannya tidak peka. Jika Sui diibaratkan di kelas punya teman satu sekolahan, si Yakyo ini tak punya teman sama sekali, kecuali satu, sorang ahli perkuean. Mimpi awal Sui dan Yakyo adalah mengelola hotel bersama, tapi akhirnya mereka pecah kongsi. Karakter mereka sulit untuk disatukan dan akhirnya memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri.
Kisah lain tentang Tokitaka yang sejak kecil yatim piatu, ditinggal sama orangtua yang meninggal dan dititipkan sama paman yang justru si paman dianggap mengeksploitasi si Tokitaka untuk bisnisnya. Ada pula si Gure, yang punya visi hidup membuat orang lain selalu tersenyum. Dia punya banyak saudara yang beda-beda ayah, hidup di jalanan, dibuang, dan dia tak mau ada orang yang menderita seperti itu lagi di sekelilingnya. Hidup Gure diselamatkan oleh secangkir kopi dari seorang barista Italia. Lalu juga ada kisah si bungsu, si Tsubuki, yang dipecat dari pastry di tempat kerja dia sebelumnya karena tidak membuat resep sebagaimana biasa, padahal itu dilakukannya untuk seorang anak yang punya alergi tertentu terhadap beberapa jenis makanan tertentu.
Semenjak nonton beberapa serial Jepang terkait makanan, aku mulai mencoba hal baru: menikmati beberapa kuliner di sekitar Jakarta yang usianya udah puluhan tahun; berkunjung ke beberapa restoran Jepang; dan coba mencari cita rasa khas masakan Indonesia. Percobaan ini agak mirip-mirip petualangan di film "Aruna dan Lidahnya". Beberapa tempat yang aku kunjungi di antaranya: Bakmi BTT di Matraman, Nasi Gandul Sabang, RM Ampera 2 Tak Cikini, Nasi Pecel Gondangdia, sampai yang mainstream khas mal-mal di Gokana dan Maragume Udon. Dari beberapa itu, yang paling enak sejauh ini adalah Sayur Pindang Tuna, ketika ke Palembang beberapa tempo hari lalu. Kuahnya seger, campuran asem, kemangi, dan bumbu-bumbu yang kental, trus sambelnya enak ada mangga mudanya. Kesimpulan sementara yang kudapatkan: jam terbang koki dalam memasak memang mempengaruhi rasa masakan. Wkwk.
Maybe I'll take concernly about how people eat, how the way they eat, and what they eat 😂
Aku tahu, masalah makanan adalah masalah yang sentimentil. Aku pernah berada di titik gak pengen aplod apapun di media sosial terkait makanan karena pernah kejadian aku sangat lapar, tak punya uang sama sekali, berada di kota besar, tak ingin merepotkan orang, tak pengen minta bantuan, dan isinya cuma hal gelap. Melihat ada teman yang aplod makanan membuat aku sedih kala itu, karena makanan sebegitu mahalnya untuk aku beli. Hidupku makin membaik karena akhirnya aku bisa beli makanan apapun yang aku pengen dan suka. Lalu aku menyadari perasaan ketika aku susah dulu mungkin juga berlaku untuk yang lain, tak cuma makanan, kadang prestasi, wisata, materi, dan privilege-privelege lainnya. Namun setelah aku pikir, itu adalah hal yang kekanak-kanakan. Kita tak bisa mengontrol sesuatu yang di luar kendali kita. Dan setelah aku berada di titik yang membaik ini, setidaknya aku mengingatkan ke diriku sendiri untuk jangan berlebihan, harus imbang, harus ingat masa-masa susah.
Dan, paling mudah emang ngomong いただきます di depan makanan dan minuman, sambil nonton serial Rokuhoudou Yotsuiro Biyori. Ini baru di pos pertama dah pusing, wkwk. Ya, I'm not the kind of a man who can understand and memorize fastly. But I'll try these difficulties more and more. Hai, so arigatō gozaimasu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar