Aku membayangkan tokoh perempuannya Nermin adalah aku, dan suaminya Firat kuimajinasikan kawan dekatku, sementara orangtuanya kubayangkan orangtuaku sendiri. Bahkan aku sulit dan susah mengurainya. Aku sadar jika, kecintaan kita akan sesuatu bukan menyangkut selera orang banyak atau mana yang lebih unggul dan berkualitas, tapi tergantung seberapa dekat cerita itu beresonansi dan satu frekuensi dengan hidup kita. Pendeknya, apa-apa yang kita suka dan adopsi adalah hal-hal yang "relevan" untuk kita. Di cerpen "Sesunyi Sejarah", aku benar-benar menjadi Nermin. Dia anak tunggal dari seorang ayah penjual bunga. Sang ibu meninggal lebih dulu. Nermin sendiri meragukan pandangan umum yang mengatakan jika anak perempuan akan dekat dengan ayahnya, sementara yang dialaminya seperti relasi biasa (businesslike) dan didukung dengan karakter ayah yang introver. Kata Nermin, "Aku tahu ayah menyayangiku tapi sepanjang yang kuingat dia tidak pernah menunjukkannya."
Saat ayah sedang sibuk mengurus jual-beli bunganya selepas kematian ibu, Nermin sibuk dan rajin menyelesaikan kuliah jurusan Arsitektur di kota. Btw, dulu aku pernah ingin jadi arsitek juga, aku pernah daftar S1 Simak UI dengan mengambil jurusan Arsitektur di tahun 2011, meskipun ujian itu tak kulanjutkan. Menemukan kisah Nermin seperti membawa diriku di masa lalu. Nermin tokoh perempuan yang keren, dalam berbagai segi hidup, dia tergolong sukses, termasuk pernikahannya dengan Firat, sahabat yang dia kenal di kuliahan. Firat adalah sosok pria yang suportif pada istrinya, penuh love dan respect, bahkan Firat juga mencintai sastra, sering merekomendasikan buku pada Nermin. Salah satu buku yang Firat rekomendasikan berjudul "Sesunyi Sejarah" karya Hasan Vefa Karadagli. "Bahkan buku itu telah membagi dua mataku antara terkantuk-kantuk dan terjaga," curhat Nermin.
Suami istri ini mendirikan perusahaan arsitekturnya sendiri. "Aku senang dengan pekerjaan yang kubikin sendiri," ujar Nermin. Perusahaan mereka kian waktu tumbuh dengan besar, sampai mereka tak ada waktu untuk diri mereka sendiri. Kehidupan mereka isinya hanya kerja-kerja dan kerja. Bahkan karena kesibukan ini, mereka juga tak kepikiran memiliki anak. Namun, ada masalah yang lebih fundamental. Kekosongan hadir di tengah kesuksesan material. Hidup mereka serupa mesin, hingga mereka memutuskan untuk berlibur. Mereka ingin menyalakan ulang hidup mereka dengan pergi ke tempat-tempat vakansi di Turki, dan tak lupa, mengunjungi ayah mereka yang telah menjual kebun bunganya untuk dibelikan rumah kecil di dekat pantai. Ya Allah, ini tipe rumah idamanku juga.
Saat kunjungan Nermin dan Firat ke rumah ayah, Nermin merasakan kembali kehidupan yang hangat di pedesaan dengan penduduk yang lebih sedikit dibandingkan tinggal di kota. Firat langsung dekat dengan mertuanya meski mereka baru sekali bertemu. Perbincangan selama 3-4 jam terjadi di rumah baru ayah yang juga di depannya dipenuhi bunga. Tetangga si ayah juga baik, saling menolong, menyapa, dan memberi bantuan. Aku menangis saat si ayah meminta keduanya untuk menginap, tapi mereka cepat-cepat pulang dan menuju bandara. Sehingga si ayah hanya meminta menunggu masakannya matang dulu, makan dulu baru pulang. Scene ini bagiku menyayat hati. Sedihnya, ini adalah pertemuan terakhir keduanya dengan si ayah.
Ketika kembali ke kota, kerjaan mereka makin besar, mereka tak punya waktu bahkan untuk mengobrol bersama. Namun, Nermin berhasil menyelesaikan Hasan Vefa, sementara penulis best seller ini menerbitkan buku baru berjuaul "Cinta yang Tertinggal di Hatimu". Keduanya berniat akan mendiskusikan buku itu. Namun, suatu pagi, ada telepon cepat dari nomor yang tak dikenal. Telepon itu mengabari Nermin, ayahnya sakit keras dan memintanya untuk segera datang. Nermin dan Firas langsung mendatangi rumah ayahnya yang kuyakin hidup kesepian setelah istrinya meninggal. Keduanya terlambat datang, karena ayah telah meninggal.
Nermin menyesal sangat dalam, tak dinyana kematian bisa semenyakitkan ini, bahkan dia tidak memikirkan di mana ayah akan dikuburkan. Hingga Nermin mengambil keputusan menguburkan ayah di samping nisan ibu di Isparta. "Aku bahkan tak berpikir suatu hari ayah akan meninggal, yang terburuk dari semua itu aku tidak pernah memikirkan ayahku dalam beberapa bulan terakhir," ungkap Nermin.
Di pemakaman, ada orang tua yang menemuinya. Ternyata dia adalah Hasan Vefa, penulis favorit suami-istri tersebut. Penulis best seller itu memberi tahu jika buku "Sesunyi Sejarah" dan "Cinta yang Tertinggal di Hatimu" ini adalah tuliah ayahnya. Hasan membuat kesepakatan dengan ayah Nermin untuk memakai namanya karena tak mau hidup pusing dengan popularitas menjadi penulis. Janji lain, ketika buku itu sukses, uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan untuk meningkatkan kesejahteraan para penulis muda. Mereka tak mau mengambil untung dari royalti yang diterima. Hasan meminta Nermin dan Firat untuk datang ke yayasan itu.
Nermin terutama sangat kaget, ternyata ayahnya sendirilah penulis favoritnya. Dia yang tak sempat untuk menginap di rumah ayahnya itu kemudian berkeliling dan berkenalan dengan rumah itu. Dia mendapati tulisan-tulisan ayahnya. Aku berpikir, kadang kita punya banyak teman-teman baik yang kita sia-siakan karena kesombongan kita. Seolah kita punya segalanya. Seperti yang dilakukan Nermin dan Firat ke Pak Selim, juga bahkan pada ayahnya sendiri. Cerita yang sangat dekat bagiku. It's a warm story, not too heroic but it's very meaningful.
Di buku ini ada 12 cerpen: "Laki-Laki dalam Jiwa Kami", "Seher", "Nazan Petugas Kebersihan", "Tak Seperti yang Anda Kira", "Salam untuk Si Mata Hitam", "Surat untuk Petugas Pembaca Surat di Penjara", "Gadis Laut", "Hidangan Aleppo", "Ah, Asuman!", "Membikin Perhitungan Bersama Ibu", "Sesunyi Sejarah", dan "Akan Berakhir Istimewa". Yang terpanjang adalah "Sesunyi Sejarah" yang aku ceritakan di atas, yang pendek barangkali hanya 2-3 lembar saja, seperti kisah gadis laut, dia adalah arwah para korban yang melakukan eksodus karena perang di Timur Tengah, anak itu didekap ibunya, naik kapal, tapi semua penumpangnya tenggelam.
Ada pula kisah Bekes dalam cerpen "Akan Berakhir Istimewa", anak yatim yang sukses jadi dokter dan pembicara internasional di Universitas Harvard setelah berbagai kesulitan yang dihadapinya. Atau kisah "Membikin Perhitungan Bersama Ibu", seorang anak yang mengirimkan yoghurt ke rumah neneknya, yang kadang barang itu bukanlah barang yang dibutuhkan, tapi barang untuk membuat orang lain senang. Kisah anak ini juga diiringi, lebih efektif mana membeli 200 lira gula di bawah apartemen, atau 150 lira di tengkulak pasar, tapi perjalanan transportasi menghabiskan uang 50 lira? Belum lagi gulanya berat.
Kumpulan cerpen ini didasari pada cerpen berjudul "Sehar" yang dalam bahasa Turki berarti Subuh. Kisah seorang pekerja pabrik, perempuan bernama Sehar yang jatuh cinta dengan pria superbrengsek sama-sama pekerja pabrik bernama Hayri. Tapi pria brengsek ini sama teman sekomplotannya memperkosa Sehar di hutan, lalu kasus aib membesar di keluarga Sehar yang punya banyak saudara, satu kakak laki-laki dan tiga adik laki-laki. Ayah Sehar memutuskan untuk membunuh anaknya sebagai akibat aib itu dengan cara menembak. Aku kurang paham kenapa yang mau ditembak awalnya anak terakhir, tapi berubah menjadi Sehar-lah yang kemudian menjadi tumbal. Cerpen ini realistis, tapi cukup absurd secara logika penyelesainnya. Aku tak menemukan hubungan masuk akal yang terceritakan dengan baik, antara perkosaan dan keputusan ayah membunuh. Ini terjadi ketika kemeriahan hari pertama lebaran sudah surut.
Cerpen absurd lain berjudul "Laki-Laki dalam Jiwa Kami", tentang tawanan di penjara yang membuka percakapan dengan pasangan burung gereja, bahkan semut dan laba-laba. Cerpen ini meruntuhkan kadar antroposen kita yang cuma berfokus pada manusia. Bahkan diceritakan juga jika burung gereja betina lebih kerja keras daripada yang jantan, bahkan dalam membangun sarang hingga menjaga telur mereka yang henda dicuri. Cerpen ini berakhir gantung. Namun, inti kritik yang kutangkap adalah bagaimana Selahattin mengkritik negara dari POV para tahanannya.
Kisah menarik lainnya bagiku adalah "Nazan Petugas Kebersihan". Ini keren banget! Bagaimana masalah kelas bisa merasuk sampai kehidupan, dan bagaimana aroma kemiskinan itu bisa masuk ke diri pemiliknya. Seorang petugas kebersihan perempuan bernama Nazan, dia Yatim, ibunya petugas kebersihan juga, tapi ayahnya adalah seorang otomotif hard core yang bermimpi punya Mustang. Dia paham dengan aneka macam jenis mobil, dan itu diwarisi oleh Nazan. Bahkan, ini menariknya, Nazan bisa mengira-ngira jenis atau merek mobil apa yang cocok untuk individu tertentu, dengan jenis kemiskinan apa yang telah mereka hadapi. Ada orang yang baru keluar dari kemiskinan, ada yang kemiskinannya terus berlarut, ada yang ingin cepat meninggalkan kemiskinan seperti kecepatan mobil miliknya, hingga jenis manusia yang bahkan tak berkeinginan meninggalkan kemiskinan dan tak bermimpi punya mobil.
Nazan di sini ditangkap bersama para demonstran lain. Dia dirawat oleh dokter yang kebetulan adalah juragannya. Tapi si ibu dokter itu punya suami yang selingkuh dengan mengendarai BMW yang Nazan temui ketika di jalan. Cerita ini kompleks, karena Nazan akhirnya dipenjara, wajahnya juga masuk koran dan menjadi headline. Ibu Nazan kembali bekerja, Nazan sempat dibela oleh suami si dokter yang seorang advokat, tapi ya, keadilan tak berpihak pada kemiskinan.
Ada diksi-diksi dan frasa-frasa yang menurutku menarik, seperti: "Berbau kemiskinan", "Dia jelas menghabiskan gajinya untuk penampilan", "Membuat kami merasa nyaman dan diperhitungkan", "Kacamatanya yang penuh gaya seolah berkata, "Aku berasal dari lingkungan yang berbeda", "Dia Jaksa muda, masih berbau-bau kemiskinan", "Dia sudah menikah dan kemungkinan besar punya sedan Nissan Almera bekas. Dia membenci kemiskinan, ingin cepat-cepat lari darinya, mengebut seperti mobilnya", "Hakim itu sudah menikah, sudah lupa rasanya miskin, barangkali punya Skoda Superb baru dengan jok kulit warna hitam", "Mereka bukan dari kompleks kami, mereka tahu tidak bisa keluar dari kemiskinan."
Kisah lain yang bagiku menarik adalah "Hidangan Aleppo", di cerpen ini Selahattin dengan sangat bagus menggabungkan bagaimana citra kuliner dan isu terkait genosida di zaman perang dijadikan jadi satu. Tentang pergantian generasi seorang pemilik restauran khas makanan Turki. Di mana dia punya rumah untuk tempat pengungsi, dia jatuh cinta pada seorang pengungsinya tapi cinta itu tak terbalas, hingga akhirnya retauran itu diteruskan oleh pelayannya yang telah mengabdi lama.
Kisah Asuman juga baik, tentang sopir bus yang jatuh cinta pada Asuman, perempuan yang ditemui di bar. Perempuan itu merusak rumah tangga si sopir. Sopir menceritakan ini pada pemuda asing jurusan hukum, di mana pemuda inilah yang menolong si sopir ketika dia menghadapi masalah hukum. Sementara di cerpen "Salam untuk Si Mata Hitam" (kisah pecinta yang patah hati karena cintanya dengan tiga perempuan berakhir tragis dan dia nyaris bunuh diri) dan "Surat untuk Petugas Pembaca Surat di Penjara" (tentang kisah buruh yang membaca surat di penjara) membawa kita pada ironi-ironi hidup lain yang patut disimak.
Selahattin Demirtaş menulis Kumcer ini dengan sangat baik. Mantan Anggota Majelis Agung Nasional Turki dan pimpinan Partai Demokratik Rakyat (HDP) ini memang pantas diganjar penghargaan Muntluc Resistance and Liberty Award, diam-diam, dia memang menambahkan konteks dan fase perlawanan yang dihadapi oleh masyarakat Turki.
Judul: Subuh (Kumpulan Cerita) | Penulis: Selahattin Demirtaş | Penerjemah: Mehmet Hassan | Penerbit: Marjin Kiri | Jumlah Halaman: viii + 118 | Cetakan: Pertama, Maret 2020

Tidak ada komentar:
Posting Komentar