Kemarin Cakson ulang tahun yang ke-32, ulang tahunnya mudah diingat karena menjadi tanggal-tanggal cantik yang disukai jamaah Shopee, 10.10. Tanggal baik juga dimiliki Arwani yang lahir tanggal 12.12. Aku mengetahui tanggal lahir mereka dari repository UIN, membaca sekilas skripsi mereka (Cakson bahas film Captain Fantastic, Arwani bahas Gusdur) dan bonus sedikit riwayat hidup. Cakson kelahiran 1992, aku dan Arwani 1993, jadi seumpama di pohon keluarga, Cakson adalah kakak pertama, aku kedua, Arwani ketiga. Umur kami bertiga boleh dibilang sepantaran.
Di titik ini, aku tak pernah membayangkan akan menjalin persahabatan dengan dua makhluk aneh ini: Cakson dan Arwani, semenjak kami dipertemukan di UIN, lalu kami dipertemukan di Jakarta Selatan, Sabtu, 20 Juli 2024. Arwani membuat grup WA "Menolak Tua", dan kami membuat project "Slentang-Slenting" dengan semangat yang nothing to lose (yang kukira adalah sebaik-baiknya motif menjalani hidup). Kami beberapa kali bertemu lewat Zoom, membicarakan apa saja dari malam sampai pagi tengah malam. Gak ada ekspektasi menjalani ini, bahkan mungkin kalau sekadar hanya bercerita saja, buat kami (setidaknya buatku pribadi) sudah cukup. Menumbuhkan harapan-harapan hanya memperpanjang daftar penderitaan, aku menyerah. Jalani dan nikmati saja, itu udah cukup. Sebagaimana doa indah dalam Islam yang pernah kudengar:
"Ya Allah, ajari aku melihat segala sesuatu apa adanya."
Lanjut, semalam, kami video call dari jam 11.49 P.M. s.d. 3.28 A.M. Ya, hampir empat jam kami ngobrol, dan ini rekor terlama aku telponan sama orang(-orang) di gawai, karena aku pernah ada di titik sama sekali tak nyaman menerima calling phone, apalagi video calling itu menuntut energi dan "keberanian" sendiri. Namun, di titik ini bersama mereka, aku punya keberanian menampakkan diri secara effortless, tanpa beban harus begini dan begitu, dan yang gak kalah penting, bisa jadi diri sendiri. Pertemuan online ini terjadi pula, karena awalnya cukup skeptis, Arwani tengah di perjalanan dari Jogja ke Tegal.
Di ulang tahun Cakson, Arwani bertanya padanya terkait refleksi di ulang tahun Cakson itu. Cakson menjawab dengan ketawa-tawa, hingga aku usul untuk memancingnya dengan pertanyaan. Akhirnya aku dan Arwani diberi kesempatan menanyakan tiga hal, yang akan dijawab jujur oleh Cakson. Seingatku tanya jawab itu begini...
Arwani: Sebutkan tiga penyesalan yang pernah kamu lakukan sepanjang hidup?
Cakson menjawab, baginya tak ada penyesalan dalam hidup. Yang dia lalui sejauh ini dia terima, apa pun itu. Lalu Arwani menspesifikan pertanyaan itu, moment khusus apa yang membuat Cakson menyesal? Lalu Cakson menjawab "telat mengambil keputusan". Ini misalnya terjadi setelah lulus SMA, dia pernah daftar masuk Akmil (wah, tak kukira, haha, sebenarnya dari segi fisik udah cocok). Sebab ada masa tunggu 2 tahun, dia merasa itu bisa dia maksimalkan dengan baik seharusnya. Merefleksikan ke hidupku sendiri, aku juga pernah ada di titik itu, nyoba banyak sekolah kedinasan (IPDN 3X, STAN 2X, dan STIS 1X), gak lolos semua, dan seperti menyusahkan keluarga, malu dikatakan nganggur ketika ditanya keluarga besar, dan perasaan bersalah semacam itu.
Isma: Tiap kali ulang tahun, kadang aku selalu bertanya ke diri sendiri, capaian apa yang telah kubuat? Menurutmu, di umurmu sekarang, capaian besar apa yang udah kamu raih dan kamu merasa bangga dengan hal itu?
Cakson menjawab, kata dia, mungkin kedengarannya receh, tapi dia bilang saat dia membuat akun YouTube, dan dia mendapat respons dari banyak orang yang bahkan tidak dia kenal. Cakson merasa ternyata dia bisa melakukan sesuatu yang berdampak, dan itu memberi suatu kepuasan sendiri.
Dan aku tiba-tiba mengingat pengalaman tak terlupakan ketika umurku 17 tahun, dan aku ingin membuat hari itu sebagai hari yang spesial. Maka di pagi hari, saat itu tahun 2010 kelas 2 SMA, aku sepedahan sendirian dari Cepu sampai ke Bojonegoro (jarak PP kurang lebih 90 kilometer). Tujuanku ke alun-alun dan Masjid Alun-Alun Bojonegoro. Lalu aku pulang larut malam dan nyasar sampai ke belokan Ngawi arah ke Jogja. Ibuku sangat khawatir waktu itu aku hilang, sampai menayakan ke teman-temanku yang lain yang tinggal di perumahan RSS. Aku masih ingat sepeda itu sepeda yang kupakai sehari-hari ke sekolah, dengan pedal yang berat dan olahan yang berat. Ya, setidaknya itu terjadi bukan, ulang tahun ke 17 adalah ulang tahun yang kuingat selamanya hingga saat ini.
Arwani: Hal apa yang gak kamu sesali dalam hidup?
Cakson menjawab, kuliah di Filsafat UIN Jogja, secara umum adalah ekosistem Jogja. Kalau tidak ada Jogja dalam hidupnya, dia tak akan mampu menjadi seperti sekarang. Ketika daftar kuliah, dia daftar di UI pilihan pertama dan UIN pilihan kedua. Awalnya, dia berharap bisa keterima di UI, tapi dia akhirnya berdoa untuk diterima di UIN saja, ingin merasakan Jogja, dan pilihan itu tepat. Cakson bercerita jika dia lahir dari keluarga yang tak mempersiapkannya menjadi sesuatu, misal ada temannya, anak dari kyai pesantren mana yang didesain menjadi ini dan itu, setelah lulus menjadi ini dan itu. Di Jogja dia juga senang berada di lingkungan yang plural, bahkan temannya orang Katoliklah yang mengajarinya untuk bersyukur, karena di agamanya sendiri Islam, dia belum menemukan itu.
Cakson juga menceritakan betapa mulia orangtuanya memberi nama lengkap
Budi Agung Wicaksono, di mana Wicaksono itu sendiri berarti
kebijaksanaan. Dari lahir barangkali Tuhan telah menakdirkannya untuk hidup di jalan kebijaksanaan (filsafat). Tak hanya bijaksana, tapi juga orang yang berbudi (berakhlak), juga orang yang agung (besar). Penjelasan tentang nama mengingatkanku dengan obrolan bersama Arwani ketika main di Tegal, kenapa aku dinamai Isma Swastiningrum dan kenapa Arwani dinamai Muhammad Arwani.
Isma: Hal apa yang pengen kamu capai di masa depan? Yang belum kamu capai di masa sekarang? Mungkin semacam cita-cita atau mimpi?
Cakson menjawab, yang kutangkap intinya sebagaimana gagasan Pramoedya Ananta Toer (Pram), dia ingin ada hal besar yang berdampak luas, yang bisa dia wariskan untuk orang banyak. Buku-buku Pram itu telah mengubah banyak orang dengan ceritanya yang luar biasa. Dia juga pengen seperti Indomie, bayangkan, Indomie itu telah membantu berapa banyak orang yang kelaparan dengan produknya yang sederhana, mudah ditemui di mana-mana, dan semua orang suka. Spek menjadi seperti Pram dan Indomie ini cita-cita Cakson ke depan. Kalau capaian terdekat, sebagaimana orang yang berpikiran tradisional lainnya dalam tahap tertentu, dia ingin punya pasangan, dan ya syukur-syukur punya anak. Aku bertanya, kalau pandangan terkait child free gimana? Dia kembali seperti gagasan tradisional pada umumnya, ingin punya anak, meski kita gak tahu, ke depan Tuhan apakah memberinya atau tidak. Aku mengangguk dan menyepakati, itu hal yang realistis.
Arwani: Kalau kaum Eropa tiap kali meninggal di nisannya itu kan ada kata-kata yang menggambarkan tentang pribadi dan konsep dari orang itu? Kamu pengen naruh kalimat apa di nisanmu?
Cakson kesulitan menjawab karena belun begitu jelas, lalu aku memberi contoh semisal kalau di nisannya Karl Marx di Jerman itu kan dia nulis kira-kira bunyinya, "Tugas filosof bukan menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya." Atau kalau di makam-makam orang Tionghoa atau umat Kristiani itu macam ada ayat Alkitab seperti Matheus ayat sekian. Atau dalam Islam, aku suka ayat Yasin: 21, yang bunyinya, "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." Lalu Cakson dengan sangat ringan menjawab, dia tak mau naruh kalimat apa pun di nisannya, biarlah orang-orang yang mengenalnya dengan baik saja yang memberikan kalimat itu. Haha, jawaban yang tak kusangka-sangka, karena sepertinya Arwani punya jawaban yang lebih meyakinkan akan hal ini. Namun, Cakson punya ide (entah ini dari hadis atau riwayat mana), katanya dalam bahasa Arab kemudian dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Dunia adalah penjara bagi orang-orang yang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir." Menurut Cakson ayat itu sangat real dalam refleksi hidupnya, dan dia merasa mengalaminya sendiri, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena sosial masyarakat yang sekarang.
Isma: Siapa sosok (dalam hal ini manusia) yang mengubah hidupmu menjadi sekarang ini?
Cakson menjawab, banyak orang dalam hidup ini yang telah mengubah banyak hidupnya. Sosok pertama tentu orang tuanya, ayah dan ibunya. Lahir dari orang tua yang bisa dikatakan terdidik, keluarganya telah mengajari dia soal kejujuran, terutama ibunya: kalau kamu gak suka, ya bilang gak suka. Misal, ketika ibunya memasak, Cakson gak perlu harus memanis-maniskan penilaiannya kalau masakan ibunya gak enak, dan ibunya terbuka akan hal itu, karena masukan dari Cakson juga berharga untuk pembelajarannya. Ini gak hanya terjadi pada masakan, tapi juga pada hal-hal lain, kalau gak suka, kamu bilang gak suka. Kurasa, ibu Cakson konsisten dalam hal ini. Sosok berikutnya, kakak dia, adik dia, yang kadang emang selalu gak bersesuaian tapi mereka telah mengajarinya banyak hal.
Sosok berikutnya, dosen-dosen di Filsafat UIN Jogja, ya yang sebagian aku tak kenal dan sebagian kenal. Misal Bu Fatimah, banyak mahasiswa yang katanya gak suka sama dosen ini, tapi gak bisa dipungkiri dia tipe dosen yang memacu mahasiswa untuk berkembang. Lalu, ada Pak Faiz (Fahruddin Faiz), Cakson sampai ambil dua kelas Pak Faiz tentang filsafat cinta; dan kelas itu bagi Arwani adalah kelas yang membuatnya semangat bangun pagi dan pergi ke kelas. Menurut Hera salah satu teman Filsafat mereka, tiap kali Pak Faiz datang ke kelas, tiba-tiba kelas terasa adem.
Sosok lain tentu teman-teman dia, banyak orang-orang unik yang dia temui, dengan kelebihan dan kekuarangannya sendiri. Semisal Muhaimin, atau si Hera tadi. Hera ini tipe anak yang open minded dan ceplas-ceplos yang tak disangka dia berasal dari orang di luar Jawa seperti dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). "Kalau dia dari Jakarta atau Jabodetabek, aku bisa wajar, tapi kalau dari luar Jawa, itu beda sih," katanya. Juga ada teman sepantarannya yang di hidupnya sekarang punya pemikiran yang diluar pemikiran orang-orang Jabodetabek pada umumnya, teman dia pas buat konten.
Pertanyaan lalu aku giring ke lebih spesifik lagi, aku ceritakan pengalaman ketika kuliah pernah mencintai orang dengan dalam, tapi akhirnya tak berjalan tak sesuai ekspektasi, pelajaran berharga apa sih yang kamu pelajari soal mencintai orang lain? Haha, nanya ini kami saling ceng-ceng'an, banyak "merk" (nama orang) disebut, ya, kami sama-sama tahulah sedikit banyak kisah asmara masing-masing yang sama-sama nelangsanya itu. Cakson menjawab dengan jawaban yang longgar soal cinta dan welas asih.
Pertanyaan lain beralih padaku, misal Cakson bertanya, selain kegelisahan akan rumah, hal apa yang menggangguku? Aku menjawab salah satunya adalah pendidikan sampai S3. Kenapa itu penting? Tanyanya lagi, aku jawab, pertama soal keluargaku, Bapak sangat menghargai pendidikan sementara ibu lulus SD saja tidak, dan aku pengen buktiin ke orang tua, anaknya cukup bisa dibanggakan dalam hal pendidikan. Kedua, karena pengen jadi peneliti dan penulis, dan almamater menjadi bagian penting ketika orang ingin mengembangkan karier dan peer group sesama peneliti. Ketiga, ekosistem institusi pendidikan memberiku kesempatan untuk berdiskusi dan memberi ruang belajar. Dari ketiga itu, Cakson bertanya, mana alasan yang paling kuat? Aku jawab nomor dua, ya, cukup menjawab kebutuhan setidaknya, haha. Meski kadangkala aku berpikir juga, pendidikan tak sepenting itu asalkan aku masih diberi ruang untuk menulis dan membaca, bagiku itu sudah cukup.
Kami juga bahas tentang orang Madura, lalu beralih ke teman kami yang berasal dari Magelang yang aneh suka cerita terkait kerajaan-kerajaan dan Islam, sampai di akhir obrolan, kami bahas tentang kasus gen Z, juga gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad yang bermasalah padal istrinya Nagita Slavina itu lulusan UI dan Universitas Melboune (eh salah, harusnya ANU, Australian National Unversity, semacam UI-nya Australia). Bayangkan istrinya yang kupikir dia gak bodoh gitu secara pendidikan, tapi bisa dibohongi dengan gelar abal-abal dari universitas di Thailand yang susah ditemukan kantor fisiknya di mana, atau pidato rektornya yang bahasa Inggrisnya sangat belepotan kemana-mana (banyak parodinya di YouTube).
Sampai pada satu pertanyaan yang kami lempar, "Ketika kamu bertemu seseorang yang kamu tahu banyak hal kamu merasa dia gak memenuhi kriteriamu, tapi kamu merasa itu orangnya (he/she is the one), kamu bakal nerima itu atau enggak? Indikatornya apa?" Seperti kasus Raffi dan Nagita, yang secara pendidikan bisa dikatakan gak setara. Baik Cakson dan Arwani mencari jawaban itu, aku jawab simpel aja sih, kalau dalam Islam itu, keyakinan atau iman, yang entah apa indikatornya, semacam ada perasaan mantap ketika hidup sama seseorang itu dengan semua kelemahannya. Pengalaman juga, kadang orang terutama perempuan terjebak dalam hubungan Rangga Syndrom, yang suka sama cowok-cowok sok cool dan misterius, tapi tipe kayak gitu bagus secara fiksi, dan gak bagus untuk dijadiin suami. Juga tokoh-tokoh seperti di serial Naruto dan Aang itu, tokoh utamanya itu utopis dan diciptakan karena di dunia nyata tak ada yang seperti mereka. Justru yang nyata itu tokoh antagonisnya, seperti Uchiha Sasuke atau Pangeran Negeri Api.
Obrolan kami berakhir dengan project tidak jelas lainnya, yaitu membuka praktik Psikolog Abal-Abalan, yang mewadahi para gen-Z untuk menguatarakan permasalahannya, kita bedah masalahnya. Aku bagian psikologi modern, Cakson bagian ngompor-ngompori, dan Arwani bagian yang menambah keruwetan. Sebagai awal, konsultasi ini gratis, haha.
Sebab telah mencapai dini hari, obrolan kami akhiri. Ulang tahun yang ideal menurutku memang seperti ini, sederhana dan effortless, tapi bermakna, bukan dengan kue ulang tahun, tiup lilin, party gak jelas, atau hal-hal yang di luar terlihat ramai tapi di dalam sepi. Rasanya senang punya teman-teman yang bisa diajak deep talk tentang hal apa pun seperti mereka. Ini harta yang kuimpikan sejak lama, dan meski aku tak punya siapa-siapa, tapi masih punya sirkel seperti ini, aku yakin akan masih bisa baik-baik saja. Makasi Cak, Wan, semoga kalian selalu sehat (lahir-batin) dan hidup, itu saja doaku. Aamiin.
Satu lagu untuk kita bertiga menutup tulisan ini, sebagai refleksi kehidupan kita masing-masing (antara "I" yang di luar dengan "I" yang di dalam, antara sisi maskulinitas dan feminitas kita, antara mimpi dan realita kita, antara yang berubah dan yang tidak berubah), "Grow a Day Older" dari Dewi Dee Lestari...
See the sunriseKnow it's time for us to pack up all the past
And find what truly lasts
If everything has been written down, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity
If life is ever changing, so why worry, we say
It's still you and I with silly smile as we wave goodbye
And how will it be?
Sometimes we just can't see
A neighbor, a lover, a joker
Or a friend you can count on forever?
How tragic, how happy, how sorry?
For all we know, we've come this far not knowing why
So, would it be nice to sit back in silence?
Despite all the wisdom and the fantasies
Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause I know that you
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When she tires to write a birthday song
When she thinks so hard to make your day
When she's getting lost in all her thoughts
When she waits a whole day to say...
"I'm thankful for this moment cause I know that I
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When he ache his arms to hold me tight
When he picks up lines to make me laugh
Whan he's getting lost in all his calls
When we can't wait to say : "I love you'."
If everything has been written down, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity
Tidak ada komentar:
Posting Komentar