Sejak kecil hingga memasuki sekolah kelas 1-5 SD, saya tak ada hobi membaca. Keluarga saya juga tak ada yang punya ketertarikan yang besar dengan buku dan bacaan. Mereka jarang membaca, tak suka membaca, bahkan ketika di SMP, ketika saya menemukan hobi baru terhadap bacaan, ibu pernah memperingatkan saya untuk jangan terlalu banyak membaca buku, apalagi buku-buku berat agar saya tidak gila (dalam bayangan ibu, literally seperti orang gila di jalan-jalan).
Ketertarikan terhadap bacaan dimulai ketika saya kelas 5 SD. Saat itu, SD saya tak punya perpustakaan, tapi saya kaget ketika sekolah direnovasi, buku-buku yang ada di kantor guru dialihkan ke kelas-kelas. Judulnya macam-macam, salah satu yang menarik saya, dan menyeret saya untuk menyukai buku kemudian adalah biografi dari Louis Braille. Bukunya tipis, sepertinya terjemahan dari bahasa Prancis tapi sangat mudah dipahami dan ada ilustrasi gambarnya. Kisah buku itu sangatlah sedih, menyentuh kedalaman hati saya, membuat saya menangis berkali-kali, dan ajaibnya jadi pintu buat saya untuk suka dengan buku dan bacaan.
Sejak saat itu, saya hobi membaca, karena SMP dan SMA saya gak ada teman dan hanya punya segelintir teman juga yang tak dekat-dekat amat (karena sifat pendiam saya yang dulu bisa dikatakan parah), saya sering ke perpustakaan buat baca buku dan pinjam buku. Di perpustakaan saya merasa bebas, hidup, dan punya teman. Di masa itu saya suka nulis cerita juga di buku tulis yang hanya saya simpan sendiri. Kebanyakan kisahnya tentang orang-orang di sekitar saya.
Namun, hobi membuat tulisan fiksi berhenti saat kuliah, mungkin hingga saat ini. Saya lebih banyak latihan nulis berita, opini, dan resensi. Pas garap majalah Sektor Informal dengan teman-teman majalah di Arena (tahun 2016an), saya tiba-tiba ngide untuk ngembangin isu terkait sektor informal jadi novel. Cukup tertatih menggarapnya sampai buku ini selesai ketika saya kerja di Semarang sekitar tahun 2019.
Saya cukup senang menyelesaikannya. Bagaimanapun, sebelum membahas kualitas, karya yang baik adalah karya yang selesai.
Harus saya sadari pula, saya adalah tipe penulis yang tidak percaya diri (pede) dengan karya sendiri. Meski telah menyelesaikan beberapa tulisan, saya tetap tidak tenang ketika tulisan itu sampai ke pembaca, saya cukup menyanksikan apakah tulisan itu cukup layak untuk dikonsumsi publik? Banyak kecemasan lain yang bisa saya deretkan, termasuk keputusan menerbitkan novel saya ini.
Karena kurang pede, naskahnya saya biarkan dari tahun 2019, saya juga tak berani mengirimnya ke penerbit. Sampai di tahun ini, ada penerbit rintisan di Bandung; awalnya pendirinya membaca tulisan saya di sebuah website media, lalu mengikuti saya di IG, lalu mengirim pesan DM: kalau misal saya ada naskah, bisa diterbitkan di tempatnya, semua biaya produksi ditanggung penerbit.
Saya teringat novel itu. Dia membaca, tanggapannya baik, dia dan timnya juga baik. Setiap bab dibuatkan satu ilustrasi, lalu tahap editing terutama soal nama-nama instansi.
Novel "Kaki Lima" ini intinya tentang pekerja sektor informal, para PKL Jogja, dan gimana mahasiswa ambil peran di sana. Karena saya tulis saat masih mahasiswa, tone-nya barangkali akan mahasiswa sekali, dengan semua drama, romansa, pergerakan, dan alam pikirnya yang kadang progresif meski naif.
Dibandingkan dulu, saya lebih pede sekarang karena dapat suntikan semangat dari orang-orang baik. Bagaimanapun isinya, saya bangga dan berterima kasih.
Terakhir, untuk pemesanan (pre-order) bisa menghubungi IG @ichipublishingco, Shopee Ichi Publishing Bandung, atau DM ke saya. Terima kasih banyaak 🌷💐🌻
Tidak ada komentar:
Posting Komentar