Aku menonton ini di Gajah Mada Cinema Tegal. Bangunannya terpisah, tidak masuk mall sebagaimana umumnya yang ada di Jakarta. Bioskop ini punya studio, dua lantai, dan lantai bawah untuk parkir. Aku nonton sama Arwani, teman sekomplotan sejak di UIN dan KMPD. Kebetulan dia sedang tinggal di Tegal, semi kerja dan mengabdi di sebuah pondok pesantren di Tegal. Jarak pondok ke bioskop sekitar 20-an kilometer, kami ke bioskop setelah makan sate di RM Bu Tomo Slawi, ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Tegal, dan ke Masjid Agung Tegal di alun-alun. Aku tak menyangka, di sore minggu itu bioskop ramai sekali, mengantri cukup panjang, ini tak terjadi di Jakarta, yang dalam jarak kurang dari satu kilo saja udah ketemu bioskop yang berbeda. Misal XXI PI, GI, dan Sarinah.
Setelah kami mengantri, kami masuk ke studio 4 dan film sepertinya dimulai tepat waktu, tak banyak iklan, sehingga kami telat beberapa menit. Studio ketika kami masuk gelap, mau menyalakan senter hape tapi takut mengganggu. Untungnya, mataku cukup tajam melihat kegelapan, untungnya pula tempat duduk kami F6 dan F7 tak begitu jauh dari pintu masuk. Kami duduk bersebelahan. Ini seat yang gak cukup jauh dari layar, ada di tengah-tengah, jadi cukup enak. Sebagaimana amatanku, layar XXI selalu lebih panjang dari CGV. Untuk kualitas sound, memang masih beda jauh dengan di Jakarta. Di sini kuperhatikan masih tersentral sound-nya dari depan, kalau di Jakarta, dari sisi mana pun rata, karena letak sound pakai teknologi yang aku lupa namanya.
Film sudah berjalan di adegan Kalis lulus sarjana ditemani temannya. Lalu berlanjut ke Kalis ada di kosnya di Solo, Kalis pulang ke rumah, Kalis dapat kerja editor di Jogja, Kalis dilamar, sampai Kalis dan Agus menikah. Aku merasa film ini berlalu sangat cepat, "Loh, wis bar iki?" Begitu pikirku, mungkin karena cerita yang terlalu dekat denganku, tentang Jogjanya, tentang Blora-nya, tentang editornya, tentang buku-bukunya, tentang kisah lain-lainnya. Kami tertawa, terlebih saat Agus dan Kalis main langsung jadi pegawai (kasir) toko barang plastik macam bak dll, dan Kalis jadi pembelinya. Sebagaimana aslinya, Agus Mulyadi ya begitulah orangnya, dia santai, natural, dan tampak menikmati perannya. Sementara acting Kalis begitu serius dan tak santai.
Kelucuan lain tampak pada moment seekor burung milik Pak RT yang bisa niru suara orang-orang yang datang. Adegan bapak kos dan pak RT jadi perantara perdamaian Kalis dan Agus. Beberapa kelucuan memang skriptual dan tidak natural, tapi rasanya mengalir saja, Elang El Gibran yang memerankan Agus cukup bisa mengadaptasi karakter Agus yang asli, orangnya santai tak menggebu-gebu. Arwani juga bilang, Febby Rastanty yang memerankan Kalis menurutnya mirip Kalis saat muda. Film ini juga kebanyakan pakai bahasa Jawa, dan kedua aktor utamanya menggunakan logat medok khas Magelang dan Blora.
Beberapa adegan yang membekas, saat Agus beli mantol harga 400 ribu, saat dia bilang Tuhan kadang memang suka bercanda. Saat Kalis sebagaimana impian gadis lain yang ingin membahagiakan keluarga dengan membeli Fortuner tapi Agus lebih suka Brio. Alasannya Fortuner bisa bawa banyak, Agus berkilah kalau itu alasannya mending beli pick up, plus motor pun bisa dibawa. Namun, alasan sejatinya adalah karena Agus belum punya uang sebanyak itu untuk beli Fortuner. Bahkan untuk beli rak buku pun dia masih ragu, uang dia prioritaskan untuk beli buku buat perpustakaan di daerahnya di Magelang. Menurutnya semua anak berhak atas pengetahuan yang sama.
Juga saat adegan saat Kalis dan Agus sama-sama menjadi pembicara sebuah sekolah menengah di Jogja, saat ada anak yang bertanya terkait narasumber yang tak bisa dipenuhi, isinya debat pribadi, tapi Agus bisa membelokannya ke hal lain yang lebih lucu. Meski miskin, yang aneh di sini mungki saat adegan Agus bisa mendatangkan Fiersa Besari untuk hadiah kelulusan di tempat karaoke. Bisa aja sih dari jalur pertemanan, tapi ya kok agak gak nyambung.
Agus dan Kalis juga buat perjanjian di atas kertas, setelah menikah dan hidup bersama nanti, keduanya punya cita-cita yang sama buat toko buku. Toko itu dinamai "Akal Buku", Akal sendiri akronim dari Agus dan Kalis. Di kenyataan, toko itu memang ada dan sudah jadi. Menarik juga ya punya cita-cita yang selaras dengan kesukaan hidup, atau passion hidup. Film bergenre romance-comedy (romcom) yang disutradarai Jeihan Angga ini ditutup dengan pernikahan Agus dan Kalis yang sederhana, yang mengundang sahabat-sahabat dekat di Blora.
Kelas Agus Mulyadi di UNY |
Yang aku berikan aplause tentu cara-cara Agus memahami perempuan, bukan cuma Kalis, cara Agus ini bisa dipakai laki-laki mana pun kukira untuk mendekati perempuan. Kalau perempuan ngambek ya gak usah ikutan ngambek, mending perempuannya diajak ketawa aja. Kalau perempuan ngegas ya dihalusin. Kalau hidup udah serius, ya dibuat selow. Kalau ini dilakukan, niscaya hubungan akan langgeng. Intinya saling mengimbangi. Seperti kata bapaknya Kalis di Blora, "Hubungan itu dua pihak harus saling jalan, kalau gak ya pincang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar