Sabtu lalu hidupku sangat overpriced, wkwk, ya, sebagai orang yang belum stabil finansial, aku merasa menonton film di bioskop dengan harga Rp 75.000 di Plaza Senayan dari harga biasa di hari weekday Rp 35.000 itu terasa memberatkan, apalagi hari tua (meski tanggalan muda), aku belum gajian. Belum lagi, aku beli pop corn yang tak kalah overpriced pula, Rp 38.000 untuk ukuran kecil. Tapi baiklah, itu hal lain, film juga hal lain.
Nonton The Architecture of Love (TAOL) sebenarnya karena tertarik itu film ada hubungannya dengan pekerjaan penulis, "kayaknya asyik nih" pas aku nonton thrillernya di bioskop. Terus ada Nicholas Saputra, itu alasan kedua, haha. Meski setelah kukulik ulang, ternyata ini film diangkat dari novel Ika Natasha dengan judul yang sama. Ekspektasiku jujur langsung berkurang, karena aku merasa, sebagaimana cerita Ika di film yang diangkat dari buku dia sebelumnya, bakal bertele-tele dan bisa ditebak. Setelah kutonton, gak salah sih.
Sebenarnya ceritanya sederhana, dua orang punya trauma melarikan diri ke New York, dan menganggap New York lebih romantis daripada Paris, ketemuan di acara PPI (eh), ya macam kumpulan para orang Indo di luar gitu lah, terus ketemu lagi di Central Park. Sebenarnya ini film manusiawi banget, kayak di kehidupan nyata, ini bisa terjadi. Yang aku suka dalam film ini lebih ke latar dan setting tempatnya, shoot ke beberapa bangunan iconik di New York dengan sedikit kilasan ceritanya menarik. Beberapa dialog juga asyik, misal kira-kira isi dialognya gini:
"Riv, itu bangunan udah lama dibangun tapi gak ditempati, kan bagus kalau ditempati. Bisa merajut kenangan-kenangan baru bagi banyak orang."
"Gak semua yang kosong harus diisi, bahkan ketika dipaksakan diisi, dia akan membuat kenangan baru yang merusak kenangan baik sebelumnya."
Nah, di luar itu, sebenarnya konflik batinnya itu konflik batin golongan manusia usia 30-an ke atas gitu. Cinta yang dialami si River dan Raia ini bukan cinta ala anak-anak yang harus bilang "I love you" atau clingy minta ampun. Nah, bagusnya, si River dan Raia ini meskipun sama-sama "butuh" dalam hal "mencintai-dicintai", keduanya bisa mikir logis, gak perlu seagresif itu, gak perlu mohon-mohon gak penting untuk bikin orang stay jika orangnya emang suka ngilangan. Aku suka sih bagian implisit terkait itu.
Hal kedua yang buat aku related, pernyataan River ke Raia saat dia ngalami writer's block, "Raia, jangan berhenti menulis ya. Kamu penulis yang baik." Ya Allah, ini kalimat pengen kuganti, "Isma, jangan berhenti menulis. Kamu penulis yang baik." Wkwk. Aku juga dapat inspirasi bagaimana ide nulis itu bisa didapat darimana aja, termasuk di WC yang isinya westafel unyu. Juga tentang bagaimana bangunan bisa bersuara, menjadikan taman menjadi hidup.
Selebihnya, soal cinta-cinta, soal trauma, soal istri River bernama Andara yang meninggal ketabrak, River teriak-teriak, suami Raia yang selingkuh, soal Erin, soal Aga, soal teman Erin yang disukai Erin dan ternyata suka sama Raia, itu hal yang cheesy dan bisa dialami siapa saja.
Pertanyaannya, kapan ke New York? Kapan ke Central Park? One day, I wish.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar