Iqra berpendapat, struktur peluang politik baru menyediakan kesempatan bagi gerakan petani Jabar dan SPP untuk pengorganisasian, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan khazanah perjuangannya, meningkatkan kohesi dan kapasitas organisasi gerakan, serta membentuk jaringan dengan gerakan sosial dan organisasi masyarakat sipil lainnya seperti berbagai LSM, serikat buruh, dan gerakan mahasiswa. Dengan kata lain, SPP dan aliansi lokalnya cukup sukses sebagai gerakan sosial dibandingkan gerakan petani di daerah lain di Indonesia. Penelitian ini memiliki konsekuensi metodologis dan teoritis yang lebih luas dalam memahami peran agensi dan kesadaran kerakyatan dalam studi kontroversial, gerakan sosial, formasi elite dan negara, serta politik Asia Tenggara.
Perubahan agraria dan gerakan petani memainkan peran yang penting dalam berbagai fenomena politik di seluruh dunia. Dari perspektif gerakan sosial dan studi wilayah, berbagai penelitian dari Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan interkoneksinya di antara tiga wilayah, menunjukkan bagaimana transformasi agraria membentuk jalan bagi pengorganisasian petani secara politik. Di Amerika Latin, rusaknya hubungan patron-klien, di mana "tuan tanah mempunyai monopoli mutlak atas paksaan institusional dan sumber daya ekonomi dalam wilayah kekuasaannya", telah menyediakan kesempatan baru bagi kaum tani untuk mengorganisasikan gerakan sosial. Iklim politik pasca-otoritarian juga memberi kesempatan bagi gerakan petani untuk berkembang. Peluang gerakan ini juga terjadi di Chili dan Meksiko, di mana gerakan petani, khususnya "Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah" mampu mempengaruhi kebijakan negara mengenai reformasi pertanahan.
Contoh ini menggambarkan pentingnya peran gerakan petani ekstra-parlementer dalam aliansi dengan kekuatan sosial lainnya seperti masyarakat adat, masyarakat miskin perkotaan, dan pegawai sektor publik dalam mendorong demokratisasi yang lebih besar, proses pembuatan kebijakan yang lebih partisipatif bagi warga negara, dan agenda redistribusi ekonomi. Melemahnya jaringan lama patron-klien dan semakin menonjolnya subkultur kelas sebagai identitas utama kaum tani, membuat hal ini mengarah pada penghindaran konflik secara diam-diam atau konfrontasi dalam bentuk pemberontakan atau bentuk pembangkangan terbuka lainnya. Artikel ini terutama berfokus pada studi kasus SPP dan gerakan petani lainnya di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Barat, meskipun konsentrasi lahan di provinsi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Pendekatan studi kasus di SPP berguna dalam pengembangan dan pembangunan teori khususnya dalam menghasilkan dan menguji hipotesis. Studi ini juga berusaha memperluas argumentasi terhadap lokalitas lain di Indonesia, terutama daerah-daerah di mana gerakan petani masih berjuang untuk mendapatkan tujuan mereka. Studi dilakukan menggunakan metode perbandingan subnasional. Studi perbandingan gerakan petani di tingkat subnasional di Indonesia akan membantu kita memahami mengapa gerakan petani berhasil di beberapa daerah, namun tidak berhasil di daerah lain. Secara teori, studi ini menggunakan teori gerakan sosial, yang berfokus pada bagaimana struktur peluang politik membentuk kemunculan dan pengorganisasian gerakan sosial. Selain itu juga untuk memahami politik pos-otoritarian pada tingkat struktural elite. Iqra juga mencoba memahami gerakan petani Indonesia menggunakan istilah mereka sendiri, "sejarah dari bawah", yang bersumber dari analisis data sekunder.
Kaum tani sebagai kelas sosial bawah telah memainkan peran penting dalam pertikaian politik lokal dan nasional di Pulau Jawa sejak masa kolonial. Meskipun sejak kehancuran PKI dan dampak dari pembunuhan masal kader-kader serta simpatisasannya yang diikuti dengan naiknya rezim Orde Baru, sangat mengurangi basis kerakyatan bagi formasi politik kelas tani. Selama rezim otoriter Orde Baru, petani di pedesaan Jawa juga harus menanggung proses proletarisasi menyusul meningkatnya kapasitas elite pedesaan yang didukung negara untuk mengakumulasi modal dan secara represif mengontrol aktivitas politik otonom kaum tani. Namun, tahun-tahun terakhir rezim Orde Baru dan runtuhnya rezim tersebut pada tahun 1998 memberikan peluang baru bagi petani di Jawa Barat untuk berorganisasi sebagai sebuah gerakan sosial. Jawa Barat menjadi pusat perhatian bagi banyak mahasiswa dan aktivis LSM yang jumlahnya semakin meningkat pada tahun 1980an. Aktivis mahasiswa membawa masyarakat desa ini ke DPR di Jakarta untuk berdemonstrasi.
Bentuk-bentuk baru organisasi agraria ini diwujudkan dalam pengambilalihan tanah “spontan” oleh petani lokal di Jawa Barat serta pembentukan gerakan sosial formal seperti SPP khususnya di Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis yang telah secara efektif memobilisasi petani di Jawa Barat untuk pendudukan (okupasi) tanah, demonstrasi massal dan negosiasi dengan pemerintah. Peluang baru ini menghasilkan suksesnya peraturan perundang-undangan nasional mengenai reforma pertanahan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan regulasi lain. Pada tahun 2001, SPP memobilisasi ribuan petani Jawa Barat untuk berdemonstrasi mendukung keputusan legislatif tentang reforma agraria yang kemudian dikenal dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/2001, TAP MPR No. IX/2001) dan membentuk aliansi dengan sebuah LSM bernama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam mendukung disahkannya keputusan tersebut dan berpartisipasi dalam pembuatannya.
Selain itu, Petani di Jawa Barat juga menghadapi perlawanan dari para elite. Rachman (2011) dengan fasih menjelaskan rangkaian konfrontasi antara petani lokal dan elite. Dalam studinya, ia secara khusus berfokus pada elite negara, terutama mereka yang bertugas di Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani), sebuah badan usaha milik negara dan “lembaga pengelolaan lahan terbesar yang menguasai 19 persen lahan di Pulau Jawa” di Desa Cigugur, Kabupaten Ciamis, pada tahun 2008. SPP dan aliansi lokalnya juga mencoba melobi tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga dua lembaga di tingkat nasional, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait serangkaian tindakan opresif terhadap SPP dan petani lokal.
Namun, terlepas dari upaya untuk mendatangkan aliansi potensial dari dalam pemerintahan, tanggapan Perhutani selanjutnya dengan membentuk aliansi dengan LSM lingkungan hidup pro-pemerintah setempat yaitu Forum Penyelamatan Lingkungan Hidup (FPLH), yang memberikan daya tawar lain bagi pemerintah, yang efektif membantu Perhutani. Pada akhirnya, Perhutani dan sekutunya secara efektif mendemobilisasi SPP dan aktivisme petani lokal dengan mengklaim kembali tanah yang diduduki, mengkriminalisasi aktivis petani, dan memasukkan petani lokal ke dalam program perhutanan sosial versi negara atau Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Meski demikian, meski mengalami kemunduran, SPP dan aliansi lokalnya masih aktif dan beroperasi di berbagai tempat di Jawa Barat. Mereka telah memanfaatkan kombinasi aksi langsung, lobi politik, dan aliansi dengan gerakan sosial lainnya untuk mengerahkan pengaruhnya dan memaksa para elite untuk mengakomodasi agenda mereka.
Pendiri SPP, Agustiana, adalah seorang aktivis mahasiswa asal Jakarta yang terlibat dalam aktivisme anti-otoriter melawan rezim Orde Baru semasa kuliahnya dan bersama aktivis mahasiswa lainnya dan petani yang dipolitisasi mendirikan SPP pada 24 Januari 2000. Alih-alih membuat ketergantungan pada aktivis intelektual seperti Agustiana dan lainnya, SPP mencoba menjadi serikat petani berbasis massa melalui pembentukan sekitar 40 cabang lokal aktif yang mewakili lebih dari 25.000 anggota di seluruh kabupaten Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya pada tahun 2004-2005. SPP tidak hanya mampu memanfaatkan momen yang ada dalam “kegilaan demokrasi” pasca-Orde Baru, namun juga mengkonsolidasikan dirinya sebagai gerakan sosial yang kuat, dan mencari aliansi dari gerakan tani dan sosial yang lebih luas serta di dalam negara, sehingga memungkinkan secara efektif, memaksa elite negara lokal dan nasional untuk mengakomodasi beberapa agenda pro-petani.
Dalam kasus SPP vis-à-vis elit negara nasional dan lokal ada lima faktor penting yang disebutkan Tarrow (1994) dalam karyanya "Power in Movement: Social Movements, Collective Action and Politics". Pertama, penting untuk dicatat bahwa “Gerakan tercipta ketika peluang politik terbuka bagi aktor-aktor sosial yang biasanya tidak memiliki peluang tersebut”. Kedua, gerakan sosial berkembang dan berkelanjutan dari jaringan sosial dan komunitas yang sudah ada. Ketiga, perubahan konteks politik juga mempengaruhi pola mobilisasi gerakan sosial. Keempat, gerakan sosial juga mendapat manfaat dari “ketersediaan sekutu yang berpengaruh” dan “perpecahan di dalam dan di antara elite”. Kelima, selain berbagai faktor struktural, politik simbolisme dan khazanah perjuangan juga penting bagi keberlanjutan gerakan sosial.
Iqra kemudian berargumen bahwa meskipun terdapat struktur peluang politik baru, apalagi ketika struktur tersebut tidak ada, gerakan petani lokal tidak akan mampu secara efektif menantang dominasi elite negara jika mereka tidak berkembang menjadi gerakan sosial yang terorganisir, yang lebih jauh bisa dikaji dari gerakan petani di Malang Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Flores, Gili Trawangan, dan Bengkulu.
. . . bahwa sumber kebebasan manusia tidak hanya terletak pada apa yang dilihat oleh Marx, yaitu pada aspirasi kelas-kelas yang akan mengambil alih kekuasaan, namun mungkin lebih jauh lagi pada ratapan sekarat kelas yang akan dilanda gelombang kemajuan. (Moore 1966:505).
ABSTRAK:
Artikel ini merupakan pembahasan terkait studi kasus Serikat Petani Pasundan (SPP) pada masa pasca-otoritarian di Indonesia. Tujuannya untuk menjawab pertanyaan, mengapa SPP dan gerakan petani di Jawa Barat secara umum dapat memaksa elite pemerintahan di tingkat lokal maupun nasional untuk mengakomodasi beberapa elemen reformasi agraria yang diusulkan oleh petani. Iqra berpendapat, struktur peluang politik baru menyediakan gerakan kesempatan baru bagi gerakan petani di Jawa Barat dan SPP berhasil mengorganisasikan gerakan sosial tersebut.
Anugrah, Iqra. "Peasant movements and state elites in post-New Order West Java: A case study of Sundanese Peasant Union." Perspectives on Global Development and Technology 14.1-2 (2015): 86-108.
Link: https://brill.com/view/journals/pgdt/14/1-2/article-p86_7.xml
#31daysofindonesianscholars #iqraanugrah #petani #peasant #jawabarat #spp #serikatpetanipasundan
PROFIL SCHOLAR:
Iqra Anugrah saat ini bekerja sebagai Research Fellow di The International Institute for Asian Studies (IIAS) Universitas Leiden Balanda. Akademikus tulen yang lahir di Jakarta, 25 Mei 1991 tersebut menyelesaikan pendidikan S1 di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Jepang, S2 Kajian Asia Pasifik dari Ritsumeikan APU (2011), S2 Ilmu Politik dari Ohio University USA (2012), serta S3 Ilmu Politik dan Kajian Asia Tenggara dari Northern Illinois University USA (2018). Minat penelitannya pada isu-isu terkait demokrasi, pembangunan, gerakan sosial, agraria, Asia Tenggara, dan metode riset. Iqra juga bergiat di IndoPROGRESS, Forum Islam Progresif, dan Laziswaf Daulat Umat (DU). Buku pertamanya yang masih dalam proses secara tentatif berjudul, "Peasants and Activists in Contemporary Indonesia: Between Countermovement and Market Accomodation". Buku ini menganalisis politik agraria dan konteks perubahannya pada masa kontemporer Indonesia.
Kamis, 04 April 2024
Peasant Movements and State Elites in Post-New Order West Java - Iqra Anugrah
Studi terkait gerakan petani di masa kolonial dan pasca-Perang Dunia II di Asia Tenggara telah memberikan kontribusi yang kaya terkait literatur perubahan agraria, politik petani, perdebatan politik, dan subordinasi informal. Namun, masih sedikit studi yang menaruh perhatian pada gerakan petani di Asia Tenggara, khususnya pada konteks transformasi agraria dan perubahan politik yang terjadi sangat cepat di daerah. Selain itu, ada ruang kosong terkait bagaimana memahami terbentuknya agensi popular dan peran struktural elite di politik Asia Tenggara. Paper ini berusaha mengisi gap tersebut dengan mengambil studi kasus di Serikat Petani Pasundan (SPP) di masa pasca-otoritarian Indonesia. Paper ini menjawab pertanyaan, mengapa SPP dan gerakan petani di Jawa Barat (Jabar) secara umum dapat memaksa elite di tingkat lokal dan nasional untuk mengakomodasi berbagai elemen reformasi agraria yang diusulkan oleh petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar