Semalam tadi, teman dari Jogja datang menginap di kos. Kondisi kosku seperti biasa masih berantakan, belum kusapu, kupel, dan kurapikan. Kosku sekarang isinya begitu banyak barang dari yang awalnya ruang kosong. Kadang aku heran sendiri, bisa-bisanya aku mengepul barang sebanyak itu. Aku dan temanku bernama Ria saling bercerita. Kami bercerita soal kabar, pekerjaan, kegiatan, asmara, tentu juga hal-hal yang berhubungan dengan filsafat. Dia ke Jakarta untuk menemui sahabat dekatnya dari Swiss, hubungan mereka telah dekat, dan dua minggu setelah pertemuan mereka, semacam terjadi ikatan batin yang menghubungkan. Entah kelanjutannya, tapi semoga akan berakhir dengan baik. Mereka bertemu di sebuah yayasan permakultur untuk mengelola tanah, lingkungan, alam. Ria jadi volunteer di sana.
Pagi tadi, usai bangun, Ria bercerita tentang tesisnya, terkait agama dan sampah. Ada hal penting yang ingin aku tulis dari penjelasannya, dan menurutku hal tersebut reflektif. Antara agama yang dijelaskan negara dengan rukunnya itu berbeda dengan konsep agama dari masyarakat adat yang memiliki fondasi tiga hal: responsibility, ethics, resiprocal (tanggung jawab, etika, dan kesalingan). Tiga konsep ini sebenarnya diterapkan pada orang-orang yang mengelola sampah di bank sampah dan tempat pembuangan akhir yang menjadi target penelitian Ria.
Dia juga bercerita saat mendaftar semacam scholarship di Inggris, berkaitan dengan climate change. Dia ditanya, apa makna climate change buat kamu? Sebab climate change luas, akhirnya dia memberi contoh melalui segenggam tanah. Bahwa, dalam segenggam tanah itu, dia bisa melihat berbagai kehidupan lain yang sangat besar dan kompleks. Dalam sebongkah tanah ada banyak organisme yang hidup di dalamnya. Bahkan hal-hal sesederhana itu bisa Ria temukan saat dia datang ke Jakarta naik bus. Dia melihat selokan di Jakarta yang kotor, tapi ajaibnya, di sana hidup ikan-ikan kecil yang bertahan di antara sampah-sampah, "Mereka bisa hidup loh!" kata Ria bersemangat.
Pandangan Ria akan alam berubah. Semisal di hutan, dia tak melihat hutan saja, tapi juga ekosistem lebih besar di dalamnya. Dia seperti tertarik pada hal-hal yang dia rindukan. Menurut pengamatannya juga, justru tanaman yang hidup di alam liar punya tingkat survival dan kesehatan yang lebih baik daripada tanaman yang kita rawat, kasih pupuk, dan ditaruh di pot. Sebab apa? Sebab kondisi tanah yang berbeda. Ria punya mimpi besar bagaimana mengembalikan tanah sebagaimana hakikatnya.
"Alam itu kan tanpa ego ya, dan kita bisa kembali ke sana setiap waktu. Berbeda dengan manusia yang ada egonya, tiap manusia punya ego, setiap ego berbenturan, dan menjadikan diri kita menderita, hancur, sendiri, merasa kesepian. Padahal alam menerima kita kapan saja, kita juga bisa kembali ke alam tiap waktu, tanpa menghakimi, menerima apa adanya kita," penjelasannya yang kuingat dan sangat filosofis.
Tarikan dari alam itulah yang menjadi kacamata dan cara pandang Ria kemana pun dia pergi. Tiap di lingkungan tertentu, yang selalu menariknya ternyata ada semut, ada kucing, ada tanaman lamtoro, ada bunga kantil, ada pohon bernama ini. Dia juga mengingat obrolan dengan temannya seperti Mas Ikhsan Skuter tentang konsep tumpangsari, sustainable, yang sebenarnya Jawa dan Indonesia punya, tapi malah dijelaskan dengan baik oleh Barat. Ini yang menjadi dorongan hidup Ria, desire dia, raison d'etre dia, bukan lewat ceramah-ceramah, tapi alam.
Ria juga mengingat akarnya, menengok past life dia, dari neneknya seorang guru ngaji, yang setelah itu berladang dan merawat tanah. Ria lalu memandang konsep kekayaan dan kemiskinan dengan cara yang berbeda. Kaya dalam konsep umum adalah yang punya rumah, mobil, motor, perhiasan, uang yang banyak; tapi tidak seperti itu. Baginya, kaya adalah ketika seseorang bisa mencukupi kehidupan dia sendiri yang menyatu dengan alam, memproduksi makanan dan minumannya sendiri tanpa bergantung dari luar.
"Kelihatan utopis ya, Is," ujarnya, semacam menyiratkan keraguan dengan yang dihadapinya, antara idealita dan realita.
Dia kuperhatikan juga zero waste lifestyle. Dia membuat makanannya sendiri, tempat makannya sendiri, sendok dan garpu sendiri, dlsb. Dia pas aku pakai handbody, bedak, dan pelembab; dia bilang udah gak pakai make up lagi, dan mandinya gak pakai sabun, tapi pakai batu. It's crazy, isn't it? Dan fakta yang menyedihkan, bagi mereka yang menganggap dirinya "modern", dengan standar-standar umum produk kapital dan material, hal-hal seperti ini akan disebut "primitif". Sama seperti orang-orang adat dan hutan yang dipanggil dengan sebutan "primitif" oleh orang-orang kota. WADEHEL MEN.
Apalagi produk-produk makanan kebanyakan yang dijual tanpa jiwa (soulness), tak ada rasa, dan jika mau beli makanan yang enak dan berjiwa, bersiap merogoh kocek yang dalam.
Aku seneng, masih dikelilingi oleh orang-orang unik semacam ini lagi. Betapa banyaknya orang-orang unik dan kaya di sekitarku. Semoga kalian selalu sehat. Sayang kalian....
Lalu aku menanyakan diriku sendiri, pada bidangku sendiri, aku ingin hidup tenang, dan aku mulai merindukan alam. Hidup bersatu dengannya, tanpa adanya ego yang membuat sengsara. Bersama alam aku luas dan bebas. Aku jadi kangen menyatu pada alam lagi. Mengarungi perjalanan spiritualku, seperti ke Gunung Selok di Cilacap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar