Pada perayaan Hari Buruh tahun 2006, Indonesia merekam protes jalanan terbesar oleh para buruh di negara ini sejak aksi serupa terakhir terjadi pada pertengahan 1960an. Ribuan pekerja melakukan demo di berbagai kota, dan lebih dari 40 ribu pekerja melakukan demo di Jakarta sendiri. Dijaga lebih dari 14 ribu personel. Di kota di mana pemrotes jalanan dengan cepat melakukan kekerasan sebelumnya, semua kegiatan berlangsung secara damai, memenuhi janji pemrotes.
Yang membawa pekerja turun ke jalan dengan kekuatan penuh adalah berkaitan dengan pengajuan revisi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Tujuan dari revisi ini adalah untuk meningkatkan iklim investasi, tetapi banyak artikel menyatakan revisi ini sederhananya untuk membuat pasar tenaga kerja Indonesia lebih fleksibel dengan relaksasi berbagai ukuran perlindungan para buruh. Pengajuan revisi termasuk pengenalan kerja-kerja yang fleksibel, dengan praktik outsourcing yang lebih banyak, dan mengurangi uang pesangon. Pemerintah dan kelompok bisnis berpendapat bahwa revisi ini secara buruk dibutuhkan untuk menghidupkan kembali perekonomian Indonesia yang masih kecil, yang kebutuhannya tidak sepenuhnya tercover sejak krisis ekonomi Asia tahun 1997. Calon investor membutuhkan pasar tenaga kerja yang lebih lentur untuk mempertemukan kebutuhan dengan pasar ekonomi global.
Pekerja, di satu sisi, mengeluh terkait keberadaan peraturan tidak cukup melindungi mereka dari penganiayaan dan berbagai usaha perlindungan hanya akan memperburuk keadaan mereka. Setelah perdebatan yang intens dilakukan selama beberapa bulan bersamaan dengan aksi turun jalan, sejak awal April 2006, pemerintah menempatkan pengajuan revisi dan meminta akademisi dari lima universitas untuk menilai naskah UU Ketenagakerjaan. Untuk mengingatkan pemerintah bahwa mereka tengah memperhatikan prosesnya secara lebih dekat, beberapa bulan kemudian pada peringatan Hari Buruh, pekerja protes di jalanan dengan angka yang menakjubkan.
Peristiwa di sekitar peringatan Hari Buruh 2006 menandai babak baru sejarah liberalisasi ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi Asia yang membawa kejatuhan rezim otoritarian Soeharto, pada waktu uang sama membuka liberalisasi ekonomi. Bagian penting dari ukuran ini adalah penciptaan fleksibilitas pasar buruh, sebuah kebijakan untuk menambah kemampuan pasar tenaga kerja dengan pembersihan berbagai aturan yang menghalangi. Esensi liberalisasi ekonomi tentang peningkatan tekanan pasar tenaga kerja dan penghapusan ukuran perlindungan buruh pada pasar tenaga kerja.
Instrumen penting dalam pencapaian tujuan efisiensi di Indonesia adalah agen atau badan tenaga kerja swata (PEA/private employment agency).
Sejak diperkenalkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003, agen tenaga kerja swasta ini secara efektif menjadi instansi garda depan yang membawa fleksibilitas pasar. Agen swasta ini telah memisahkan dan mengindividualisasi tenaga kerja, mengekstraksinya dari pemiliknya (pekerja) dan secara efektif mengubahnya menjadi sebuah komoditas. Dalam prosesnya, agen swasta telah mengatur pergerakan arah ketenagakerjaan yang digambarkan lebih baik, padahal buas alih-alih bebas. Faktanya, Romo Benny berpendapat jika penciptaan agen swasta ini telah menciptakan insentif dan kesempatan baru bagi berbagai pihak di masyarakat untuk mengambil keuntungan dari buruh yang kurang terlindungi, di bawah rezim ketenagakerjaan pasca-Soeharto.
Diskusi terkait peran agen swasta ini bertujuan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai konsekuensi politik dari kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam dua hal. Pertama, upaya untuk membuat teori tentang cara kerja pasar, gagasan tentang tenaga kerja sebagai komoditas telah menimbulkan permasalahan. Dalam analisisnya mengenai jual beli tenaga kerja, Karl Marx menyatakan secara jelas, "tenaga kerja hanya ada sebagai sebuah kapasitas, atau kekuatan dari individu yang hidup."Oleh karena itu, di dalam nilai tenaga kerja terdapat unsur sejarah dan moral yang membedakannya dengan barang-dagangan lainnya. Karl Polanyi memberikan penolakan paling kuat terhadap status komoditas tenaga kerja. Baginya tenaga kerja adalah “komoditas fiktif” karena direproduksi dalam konteks hubungan sosial yang jarang bersifat komersial atau kontraktual. Oleh karena itu, memperlakukan tenaga kerja sebagai sebuah komoditas berarti mengabaikan hubungannya dengan aktivitas kehidupan lainnya, dan oleh karena itu diperlukan “penghancuran struktur sosial untuk mengekstrak unsur tenaga kerja dari struktur sosial.”
Kedua, meskipun kerangka ekonomi cenderung memandang kebijakan ini secara ketat kaitannya dengan peningkatan efisiensi dan perluasan lapangan kerja formal. Romo Benny ingin menunjukkan bahwa kebijakan yang sama pada akhirnya dapat mengikis harapan pekerja untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan melemahkan kebangkitan hak-hak politik buruh yang selama ini terjadi pada masa pasca-Orba. Agen swasta, mencegah konsolidasi kekuatan politik buruh, bukan dengan mengadopsi langkah-langkah anti buruh secara langsung, tetapi melalui komodifikasi buruh, atau yang Romo Benny sebut "mengambil buruh dari pemiliknya."
Kerja lapangan dari artikel jurnal ini dilaksanakan antara bulan Juli-September 2006 di Tangerang, di pusat industri Provinsi Banten. Informasi didapatkan dari wawancara terhadap empat manager agensi, aktivis dari tiga serikat kerja, pegawai dari kementerian ketenagakerjaan, dan beberapa figur di Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Selain itu, Romo Benny mewawancarai para buruh kontrak, juga menggunakan informasi dari koran, dokumen pemerintahan, NGO, untuk mendukung analisis.
Pendukung liberalisasi pasar berbasis pada argumen ekonomi neoklasik yang mempercayai bahwa intervensi institusional dapat menciptakan distorsi di dalam pasar. Regulasi pemerintah terkait gaji, jaminan sosial, bargaining kolektif, dan jaminan keselamatan kerja telah mencegah pasar menjalankan hukum keseimbangannya, dan karenanya menciptakan distorsi.
Dalam kondisi ini, pasar tenaga kerja disebut “kaku” dan bukannya "fleksibel."
Para akademisi telah mengidentifikasi sejumlah bentuk fleksibilitas pasar menggunakan kategori berdasarkan pada tipologi: fleksibilitas numeris, sistem shift kerja, kerja temporer, dll.
Fleksibilitas ini juga terdiri dari kontrak-kontrak yang dibatasi oleh durasi, seperti kontrak jangka pendek dan kontrak tetap.
Dengan kata lain, fleksibilitas pasar tenaga kerja berarti kebebasan bagi pekerja untuk mengangkat dan memberhentikan pekerja secara singkat, dan kebebasan untuk melakukan outsourcing sebagian atau seluruh bisnisnya kepada perusahaan lain. Pendukungnya berargumen, keseluruhan tenaga kerja akan tumbuh karena pekerja akan diserap ke dalam sektor perluasan dari ekonomi pos-liberal yang menciptakan rezim buruh murah. Dengan kata lain, fleksibilitas ini menciptakan mobilitas lintas sektor, dengan keuntungan bagi pekerja untuk meningkatkan keterampilan mereka.
Peran negara yaitu mempertahankan stabilitas fiksal dan moneter.
Seruan untuk liberalisasi pasar tenaga kerja di Indonesia diawali dengan timbulnya krisis ekonomi. Krisis ekonomi penting dalam proses liberalisasi ekonomi karena dua alasan. Pertama, hal ini dapat melemahkan koalisi yang menentang liberalisasi; kedua, mereka dapat mengkonsolidasikan koalisi yang mendukung liberalisasi.
Lembaga keuangan internasional melihat krisis tahun 1997 sebagai peluang untuk memperkuat kebijakan liberalisasi dan menyingkirkan apa yang mereka sebut “kapitalisme kroni” yang menjadi ciri perekonomian Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya. Dari tahun 1997 hingga 2003 Dana Moneter Internasional (IMF) memberlakukan agenda reformasi komprehensif terhadap Indonesia sebagai bagian dari program dana talangan (bailout) perekonomian. Pada puncaknya, program IMF melibatkan lebih dari lima ratus syarat, yang sebagian besar berkaitan dengan pengendalian inflasi, rekapitalisasi bank-bank yang bangkrut, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara.
Sementara UU Ketenagakerjaan kurang akomodatif terhadap pekerja. Di satu sisi, hal ini meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan menetapkan standar hidup layak daerah (KHL) sebagai dasar penilaian upah minimum.
Pengenalan pekerjaan kontrak di Indonesia pada tahun 2003 membuka peluang baru bagi bisnis yang mengkhususkan diri dalam menyediakan pekerja kontrak dan jasa subkontrak. Agen tenaga kerja swasta, atau PEA, adalah organisasi non-negara yang menawarkan layanan ketenagakerjaan seperti perekrutan, pelatihan, peningkatan keterampilan, penempatan tenaga kerja, dan penyediaan tenaga kerja. PEA juga terlibat dalam layanan konsultasi untuk manajemen sumber daya manusia seperti memberikan nasihat tentang isu-isu terkait administrasi personalia, pengupahan, dan kebutuhan kepegawaian. Beberapa dari lembaga-lembaga ini sebenarnya merupakan perluasan dari lembaga yang dulunya merupakan lembaga pelatihan dan konsultasi.
UU Ketenagakerjaan no. 13/2003 membedakan antara “agen penyedia tenaga kerja” atau agen outsourcing (pasal 64, 65, 66) dan “agen penyedia tenaga kerja” yang tugasnya menyediakan pekerja untuk dipekerjakan oleh klien mereka (pasal 35, 36, 37, 38). Dengan kata lain, agen penyedia tenaga kerja mempekerjakan pekerjanya untuk melakukan pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan lain, sedangkan agen penyedia tenaga kerja hanya bertindak sebagai agen perekrutan untuk perusahaan lain.
Selama penelitian lapangan, Romo Benny mengumpulkan informasi tentang empat PEA: Dasa Bhakti Taruna (DBT/ sebagian besar di industri sepatu, tekstil, dan garmen), Gama Prima Karya (GPK/ toko penjualan bahan bangunan, dan lembaga pelatihan keterampilan menjahit), Damarindo (DMI/aktif di berbagai sektor seperti industri keamanan, garmen, tekstil, dan sepatu), dan Synergy Mitra Sejati (SMS/ penyediaan supir, petugas keamanan, pekerja pabrik, dan tambak udang). DBT, GPK, dan DMI berpusat di Kota Tangerang; SMS berbasis di Jakarta tetapi memiliki klien di Tangerang.
Semua PEA beroperasi dengan cara yang sebagian besar serupa. Mereka menerima kontrak dari perusahaan klien untuk menyediakan tenaga kerja sesuai dengan spesifikasi tertentu. Mereka mengiklankan lowongan kerja di surat kabar lokal, melalui Dinas Tenaga Kerja setempat, dan di ruang iklan publik. Setelah menerima lamaran, lembaga tersebut melakukan wawancara dan tes untuk menentukan tingkat keterampilan dan apakah pelatihan lebih lanjut diperlukan. Ketika kesesuaian pelamar atau mereka ditentukan pelatihan selesai, agensi mengirim mereka untuk bekerja di perusahaan klien mereka.
Karena Tangerang, kota berpenduduk 1,4 juta jiwa pada tahun 2006, telah menjadi magnet bagi masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia, asosiasi kampung halaman berkembang pesat sebagai cara untuk menegaskan identitas migran dan mengumpulkan sumber daya. Pada kenyataannya, didirikan atas dasar jaringan informal dan patronase.
Kemudahan dalam merekrut dan memberhentikan pekerja serta segala keuntungan yang didapat telah meyakinkan pengusaha untuk mengadopsi fleksibilitas ini dengan antusias. Sekretaris Jenderal Apindo di Jakarta menekankan bahwa pengusaha harus memanfaatkan peluang baru ini; jika perlu disalahkan, dia berkata, “Salahkan hukum!”
Pihak berwenang mempunyai kewenangan untuk campur tangan dalam kasus seperti ini dan menegakkan hukum terkait pemecatan karena pailit, namun karena berbagai alasan hal ini jarang terjadi. Pertama, kurangnya pengawas ketenagakerjaan, belum lagi kegagalan dalam determinasi dan kompetensi, mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Kedua, pemerintah daerah berada di bawah tekanan untuk menciptakan lingkungan yang “ramah dunia usaha” dan oleh karena itu mereka berusaha untuk tidak terlalu menekan pengusaha, terutama ketika ada perusahaan penanaman modal asing yang terlibat.
Meningkatnya pengaruh agen swasta di Indonesia membebani pekerja tidak tetap dalam beberapa hal. Pertama, upah mereka diturunkan ke tingkat dasar tanpa tunjangan dan tunjangan yang diterima pekerja tetap. Kedua, pekerja tidak tetap telah kehilangan rasa aman dalam bekerja seperti yang pernah mereka rasakan sebagai pekerja tetap. Dalam kasus ekstrim, para pekerja dipekerjakan untuk jangka waktu satu minggu dan harus menunggu hingga awal minggu kedua untuk melihat apakah perusahaan menerima cukup pesanan agar mereka tetap bekerja. Ketiga, pekerja tidak tetap mengalami penurunan taraf hidup karena mereka harus mengurangi pengeluaran seiring dengan berkurangnya pendapatan.
Dalam artikel ini saya ingin menunjukkan bagaimana PEA memfasilitasi penyebaran fleksibilitas pasar tenaga kerja di Indonesia dengan menciptakan pengaturan kelembagaan yang memungkinkan pengusaha untuk mengabaikan perlindungan tenaga kerja secara hukum dan membersihkan arena tawar-menawar dari lembaga-lembaga lain yang melakukan intervensi seperti serikat pekerja. Agen-agen tersebut juga menyediakan pekerja tidak tetap yang murah dan bisa menjadi majikan dipekerjakan dan dipecat dalam waktu singkat. Namun, selain dampak langsung dan negatif tersebut, operasional PEA dalam segala bentuk dan kedoknya telah mengubah hubungan industrial secara mendasar. Memang benar, dorongan PEA untuk fleksibilitas pasar tenaga kerja telah memberikan karakter baru pada hubungan industrial di Indonesia.
Namun, dalam semua retorika mengenai fleksibilitas, sering kali dilupakan bahwa penundukan hubungan sosial pada kepentingan pasar menciptakan risiko mengabaikan realitas perebutan kekuasaan di tingkat akar rumput.
Pemberlakuan PEA mengabaikan dimensi-dimensi ini dan dengan demikian mengancam reproduksi masyarakat secara keseluruhan.
ABSTRAK:
Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 membawa pada kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Pada waktu yang sama membuka deliberalisasi ekonomi. Beberapa ukurannya diambil dari bentuk liberalisasi pasar yang bertujuan untuk menambah kekuatan pasar, untuk menyesuaikan perubahan kondisi ekonomi melalui pembersihan apa yang dilihat sebagai gangguan regulasi. Instrumen penting dari usaha ini adalah privatisasi agensi pekerjaan swasta, melalui UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang diperkenalkan tahun 2003. Artikel ini berpendapat bahwa pengenalan agensi ini telah menciptakan berbagai kesempatan bagi berbagai aktor di masyarakat untuk mengambil keuntungan dari pekerja dengan sedikit perlindungan hukum, dalam rezim perburuhan setelah Soeharto yang tidak pasti. Dalam prosesnya, kondisi hubungan industrial juga telah berubah menjadi lebih buas daripada liberal. Akhirnya, para agensi membantu mengikis harapan kehidupan kerja yang lebih baik dan meruntuhkan kebangkitan hak politik pekerja di Indonesia.
Juliawan, Benny Hari. "Extracting labor from its owner: Private employment agencies and labor market flexibility in Indonesia." Critical Asian Studies 42.1 (2010): 25-52.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14672710903537464
#31daysofindonesianscholars #bennyharijuliawan #buruh #agensi #employment #labormarket
PROFIL SCHOLAR:
Benedictus Hari Juliawan atau yang sering disapa Romo Benny merupakan Provinsial Serikat Jesus (SJ) Indonesia yang lahir di Ambarawa, 1 Juli 1975. Riwayat pendidikan beliau: S1 Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkara (STFD), S2 Sosiologi Universitas Warwick, S2 Development Studies Universitas Oxford, dan S3 Development Studies Universitas Oxford. Romo Benny dulunya merupakan aktivis 1998, juga merupakan dosen di Universitas Sanata Dharma. Fokus penelitian Romo Benny terkait pekerja migran, sektor informal, dan perburuhan. Romo Benny juga pengurus majalah Basis dan aktif menulis di sana. Buku yang dieditnya, "Settling Down: The Struggles of Migrant Workers to Adopt" dan "Brokerage and The Plight of Migrant Workers in Asia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar