Aceh barangkali menjadi tempat pertama yang terpengaruh dengan Islam, yang masjidnya diadaptasi dari adat tradisional meunasah, yang berasal dari hall komunitas atau ruang besar untuk berkumpul. Hanya sedikit penyesuaian yang dilakukan untuk menyediakan aula dengan mihrab di depan dan untuk mengarahkan bangunan ke Mekah. Sementara di wilayah Melayu, khususnya di Jawa, komunitas lokal mengadaptasi konsep langgar, bangunan kecil yang digunakan oleh warga untuk melakukan pertemuan.
Langgar sendiri memperlihatkan teknik bangunan lokal: ada panggungnya, menggunakan bambu atau kayu sebagai dindingnya. Kemudian, modifikasi dan elaborasi dibuat di tahun-tahun berikutnya, di Jateng dan Jatim, langgar memiliki struktur atap "tajug" yang berbentuk piramida runcing curam yang dibangun dalam dua atau tiga bagian. Dalam tradisi Jawa, tajug terutama digunakan untuk bangunan non-perumahan, seperti makam, tempat pusaka, dan tempat meditasi.
Bukti masuknya Islam di Jawa ditemukan pada batu nisan sekitar abad kelima belas di Demak, Kudus, Cirebon, Banten, Sundakelapa (sekarang Jakarta), Gresik, Tuban dan Surabaya. Masjid-masjid tua di wilayah ini tidak dapat bertahan karena pengaruh iklim terhadap bahan bangunan yang mudah rusak. Benar saja, bangunan permanen tidak menjadi prioritas shalat umat Islam; salat berjamaah dapat dilakukan di tempat mana pun yang bersih dan terbuka.
Ada bukti yang jelas pada awal-awal pendirian Islam di Nusantara, terutama dari abad ke-16 di beberapa lokasi bersejarah, seperti Kotagede, Demak, Kudus, dan Cirebon. Ada tempat tinggal Muslim yang disebut "kampung Arab" atau kauman di beberapa wilayah pesisir di Jawa dan Sumatra. Pedagang Cina di sini memiliki peran penting dalam penyebaran Islam sepanjang pesisir Jawa, ini kenapa bentuk masjid dengan arsitektur Cina juga ada di Semarang, Cirebon, atau Utara Jakarta.
Sesuai dengan praktik sebelum masa Hindu-Buddha di Indonesia, ketika seseorang mendirikan bangunan berarti juga mentransformasi kekuatan kosmik ke dalam bentuk-bentuk ciptaan manusia. Suatu ritual yang disebut dengan upacara selametan atau kenduri menjadi ekspresi rasa syukur dan dia kedamaian dan keindahan bagi dunia. Masjid juga dianggap dikaruniai kekuatan kosmik. Semangat jiwa ini juga tampak pada bentuk nasi tumpeng dengan dekorasi yang berwarna dari sayuran dan daging.
Sebelum abad ke-13, Aceh dan Malaka mengadopsi masjid sebagai komponen yang esensial dari urbanisme. Pada masa Sultan Iskandar Shah (1402), masjid merupakan tempat publik pertama yang didirikan di samping keraton. Ini terjadi pula di daerah Mataram Kotagede, juga di Demak. Masjid menjadi pusat politik dan spiritual para sultan Jawa. Sebagaimana kota di zaman sebelum penjajahan, Demak Bintara juga mendirikan alun-alun, atau ruang kosong di tengah arah mata angin utara selatan dan timur barat. Sistem koordinat ini disebut nawa sangah, dari tata letak Hindu Jawa, titik kesembilan adalah pusat dari delapan arah mata angin global.
Ini dipercayai oleh Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali penyebaran Islam di Jawa untuk menyesuaikan arah utama dari nawa sangah ke Mekah. Masjid kemudian menempatkan mihrab di sumbu barat laut yang menjadi garis tengah alun-alun. Dalam denah Hindu Jawa, alun-alun merupakan pusat kosmologi dunia dari penguasa. Singgasana penguasa diarahkan ke alun-alun. Bagian lain ada yang disebut "peken", yang menjadi pusat perdagangan dan sosialisasi, di mana masjid dan kraton berdiri tak jauh dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam kehidupan urban, masjid dan kraton memainkan peran yang istimewa untuk perayaan keagamaan hingga pengadilan. Ini terutama terjadi pada bulan Syawal, bulan suci Ramadan.
Masjid tidak hanya artefak, tetapi juga mengandung energi spiritual terkai kesehatan dan keindahan. Masjid Demak sendiri didesain untuk mengakomodasi jamaah yang berdoa di luar ruangan selama hari-hari penting dalam kalender Islam. Konstruksinya sendiri mirip dengan candi Hindu dan Buddha, ada lapangan kosong dengan lanskap minimal, mengelilingi bangunan yang berdiri bebas. Ruang kosong dalam bangunan juga didedikasikan untuk pemakaman keluarga penguasa, atau pahlawan nasional dan para pemimpin. Sehingga, masjid tidak hanya sebagai destinasi jamaah, tetapi juga penghargaan kepada keluarga pemimpin dengan ritual Jawa mistis. Praktik mistisme Jawa berhubungan dengan astrologi dan kalender untuk makhluk lainnya, yang telah ikut melakukan tugas memayu ayuning bhawana. Masjid Demak menunjukkan kepercayaan mistis, dilihat dari jumlah pilarnya, bentuk atap, makam, dan cerita dari pengunjung yang berhubungan dengan mistisisme.
Masjid Demak juga didesain menyesuaikan iklim tropis Indonesia, dengan bukaan dan ventilasi. Meski dalam budaya Jawa, tidak melihat laki-laki dan perempuan sebagai suatu hal yang setara, tetapi dibedakan ke dalam peran alami mereka di dalam masyarakat, sehingga perempuan diberikan tingkat yang sama hormatnya dengan laki-laki.
Tradisi lainnya juga ada ziarah, yang dilakukan dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, membakar setanggi, dan menempatkan bungai di dalam wadah berair. Integrasi antara kaligrafi Arab dan dekorasi Hindu juga menjadi pemandangan yang umum di pemakaman.
Elemen lainnya adalah dengan adanya bedug, yang berfungsi sebagai bagian dari adzan untuk memanggil para jamaah.
Fitur lain adalah menara masjid, sebagaimana yang ada di Kudus. Menara Kudus sendiri menyerupai Candi Singasari. Secara arsitektur, menara merupakan struktur monumen dengan karakter ikonik yang mengingatkan kita pada panunggun karang Hindu (monumen penjaga situs). Atau tempat pelindung dan pemberi sirine yang dipercaya menjadi tempat untuk menjaga keselamatan, kesadaran (eling), dan elemen kontrol diri.
Bangunan prakolonial lain di Jawa adalah Panembahan Senapati di Kotagede (didirikan 1575), dan Sang Cipta Rasa di Kraton Kasepuhan Cirebon (didirikan awal abad ke-17). Keduanya memadukan elemen animisme dan Hidu dalam desain arsitekturnya. Di masjid Kotagede juga diintegrasikan dengan pemakaman generasi pertama dinasti Mataram. Bangunan lama kraton juga hilang di tengah kepadatan penduduk.
Pada masa penjajahan Belanda, Kesultanan Banten, Kesultanan Yogyakarta, dan Kesultanan Surakarta merupakan contoh berharga dari bangunan masjid kala itu. Seperti Masjid Banten yang berdiri tahun 1566 di bawah Sultan Maulana Jusuf. Desainnya juga mengikut gaya tajug yang ada di Demak. Arsitek pemberontak Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel adalah penasihat pembangunan kompleks masjid dan memasukkan ciri-ciri arsitektur Barok awal Eropa.
Masjid Maimun di Medan juga masjid penting lain yang didirikan sepanjang masa penjajahan Belanda. Masjid Deli Maimun atau Masjid Besar Medan didirikan dengan batu bata dan plesteran dengan denah 30x30 meter dan empat struktur sudut segi delapan yang ditandai dengan konstruksi terowongan kubah. Masjid yang berdiri tahun 1906 di bawah kekuasaan Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah ini mengadopsi elemen Hindu, dan tak lupa mausoleum bagi Sultan Deli dan keluarganya menjadi bagian integral dari kompleks masjid.
Setelah kemerdekaan, untuk memperingati pahlawan Muslim dalam perjuangan di masa penjajahan, komunitas yang ada di Yogyakarta mendirikan masjid baru tahun 1950 dengan dana sendiri, yang kemudian disebut dengan Masjid Syuhada. Masjid ini terdiri dari tiga bangunan utama, lantai dasar sebagai perpustakaan dan taman kanak-kanak, lantai dua untuk perempuan, dan lantai tiga untuk laki-laki, dengan tambahan menara di atasnya. Secara arsitektur, Masjid Syuhada merupakan masjid modern.
Tak jauh berbeda, Masjid Al Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta, juga berdesain modern tanpa elemen vernakuler zaman penjajahan. Bentuk modern ini ditunjukkan dengan penggunaan batu bata dan plesternya.
Lalu, pada tahun 1961, Soekarno dan para tokoh Islam seperti Wachid Hasyim dan Anwar Cokroaminoto menginisiasi pendirian masjid terbesar di Asia Tenggara, yaitu Masjid Istiqlal. Istiqlal sendiri dalam bahasa Arab berarti kemerdekaan. Masjid ini berintegrasi dengan plaza di sekitarnya, di sana juga tidak ada kuburan atau mausoleum sebagaimana masjid-masjid lain di masa lalu. Hall utamanya sendiri bisa diisi oleh 12 ribu jamaah, dan kompleksnya mengakomodasi hingga 120 ribu jamaah selama perayaan hari suci Islam. Di sana juga ada fasilitas modern seperti instansi publik, perpustakaan, ruang pertemuan, hall pameran, hingga ruang seminar. Masjid ini tidak hanya untuk pelayanan spiritual, tetapi juga aktivitas sosial-budaya.
Lalu pada masa Orde Baru, di Bandung sendiri ada Pusat Dakwah Islam (Pusdai) yang didirikan pada tahun 1997, dan berfungsi penuh pada tahun 2000. Kompleks masjid juga bisa digunakan sebagai ruang pertemuan, perpustakaan, auditorium, hingga kafetaria. Beralih ke Semarang, setelah masa Orba, juga didirikan Masjid Agung Semarang yang didirikan tahun 2001 dan selesai pada tahun 2006. Masjid ini didesain untuk mengakomodasi lebih dari 10 ribu jamaah, juga sebagai tempat sosial-budaya, bisnis, dan aktivitas produktif lainnya.
Masjid kemudian tidak hanya sekadar bangunan untuk jamaah, tetapi juga menjadi ruang untuk komunitas dan sosial-budaya. Mengadaptasi masa yang semakin berkembang, alih-alih keras kepala pada hal-hal yang konservatif.
ABSTRAK:
Bagi umat Muslim secara umum, masjid merupakan tempat bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Namun, desainnya bergantung pada budaya lokal. Masjid ini memiliki arsitektur unik dan kontekstual. Esai ini mengeksplorasi perkembangan arsitektur masjid di Indonesia melalui era yang berbeda dan dikembangkan dari penelitian lapangan penulis, serta dari pengalamannya tinggal dan bekerja sebagai arsitek dan perencana kota antara tahun 1993 dan 2005.
Wiryomartono, Bagoes. "A historical view of mosque architecture in Indonesia." The Asia Pacific Journal of Anthropology 10.1 (2009): 33-45.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14442210902758715
#31daysofindonesianscholars #bagoeswiryomartono #islam #mosque #architecture #indonesia #culture
PROFIL SCHOLAR:
Bagoes Wiryomartono merupakan peneliti independen yang tinggal di Toronto, Kanada. Dia memperoleh gelar doktoral dari Aachen University of Technology Jerman (1990) di bidang arsitektur dan urbanisme. Minat kajiannya berfokus pada sejarah, teori, dan desain urbanisme di berbagai budaya di Asia Tenggara dan Maerika Utara. Pernah menjadi dosen di ITB, dan peneliti di Asian Institute, Universitas Toronto. Menulis buku di antaranya: “Livability and Sustainabilty of Urbanism”, "Javanese Culture and the Meanings of Locality", dan "Perspectives on Traditional Settlements and Communities".
Rabu, 27 Maret 2024
A Historical View of Mosque Architecture in Indonesia - Bagoes Wiryomartono
Seni dan teknik arsitektur masjid di Indonesia memberikan jalan untuk memahami bagaimana hubungan antara Islam dan budaya bekerja. Sejarah arsitektur masjid di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam sebagai suatu fenomena budaya. Islam diadopsi di Indonesia melalui jalur perdagangan. Masjid-masjid yang berada di pesisir laut seperti di Aceh dan Madura semisal, memperlihatkan adaptasi lingkungan pesisir dan iklim setempat. Islam sendiri tidak mempunyai doktrin atau preferensi terkait arsitektur, bangunan ini lebih menekankan pada tempat dengan lantai yang bersih sehingga orang-orang secara kolektif bisa beribadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar