Ini absurd. Mimpiku semalam, tiba-tiba saja aku dan kamu masuk koran. Aku melihat fotomu dan fotoku sedang berpose natural di sebuah pantai. Aku yakin fotografernya mengambil foto ini diam-diam. Kita duduk berdua berdekatan sambil duduk memainkan pasir. Dalam foto itu: raut wajahku tertawa, kamu tersenyum menunduk. Kita siapa?
Semua jadi semakin aneh. Aku tak mau terjebak dalam asmara absurd ini. Sore itu saat aku berjalan di gelapnya bantaran sungai, aku merenung. Aku sudah sedikit mantap untuk berhenti mengasamaraimu lagi. Kita berbeda, aku merasakan ke-njomplang-an, seperti halnya bermain jungkat-jungkit. Kamu di atas, aku di bawah. Di hati kecilku aku merasa tidak layak saja--kamu tahu lagi kan sifat jelekku ini, aku gampang sekali merasa inferior.
Ah, atau aku saja yang telalu paranoid? Penyair yang kehilangan arah itu kemarin bilang: kita dibuat "seolah-olah dijajah", padahal kita "merdeka"? Atau dengan kata lain, kita dijajah oleh rasa kita sendiri? Diri kita sendiri? Dalam konteks perasaanku ini, aku terlanjur percaya dengan kredo penyanyi tinggi gondrong teduh itu jika di dunia ini tak ada tempat yang sungguh-sungguh merdeka.
Mungkin kamu akan mengerti saat kamu mendengarkan lagu Dalam Doaku (puisinya Sapardi).
Sudahlah, selamat bersijingkat dengan hidupmu ya. Dan disini biarkan aku untuk tak berputus merenda aksara-aksara muskil yang dengan peluh dan rindu kusambangi. Aku tak akan mengganggumu dengan semua anomaliku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar