Aku ingin bercerita tentang kejadian yang ku alami tanggal 4 Januari 2014. Waktu itu sekitar jam 20.00 WIB sanggar lagi mbahas tentang “Psikologi dan Teater”. Pemateri yang bernama ibu Miftah menyuruh kita memerankan pertunjukan tentang tokoh yang memiliki karakter yang paling dekat dengan kita. Selama lima menit kita beradegan seperti tokoh itu. Dari kognitif, afektif, sampai psikomoriknya. Dari cara dia ngomong, jalan, bergaya, berpikir, merasa sampai perilaku-perilaku lainnya.
Bu Mifta memberi waktu kita 5 menit untuk mencari dan
merenung siapa tokoh itu. Bisa dari artis film, pahlawan, atau orang-orang
terdekat kita ibu atau bapak kita sendiri. Trus dikasi waktu 10 menit untuk
mempraktekan tokoh itu. Silahkan teriak, silahkan berekspresi, ruang milik
kalian :D
Aku bingung mau meranin siapa? Aku bertanya ulang, siapa yaa
tokoh yang dekat dengan aku? Yang mencerminkan aku gini? Tak ada tokoh mana pun
yang kurasa mendekati aku selain Lintang. Ia, Lintang Laskar Pelangi. Bukan
sok-sok’an atau apa sih, haha. Yang pasti aku belum secerdas dia, itu aja.
Aku penampil ke-sepuluh. Setelah pertunjukkan dari
teman-temanku sanggar yang luar biasa :D Mbak Rosi (yang meranin guru sosiologi
dia pas di MAN), Ardi (meranin mas-mas stand up comedy gitu), Ilham (meranin
kabayan entah siapa ya? Pakai bahasa sunda, hehe.. gak mudeng), Mbak Isti
(meranin gurunya juga), Fahmi (meranin dosennya dia), Madam (meranin teman
kuliahnya yang polos bernama Hanafi), Hafidz (meranin tokoh guru entah siapa,
pakai bahasa Inggris), Mita (meranin dosennya yang suka ngomong “ia toh? Ia
toh?”), Doni (meranin dosen dari luar negerinya yang pas dia tampil itu aku
ngerti kalau dosennya keren dan banyak ilmu, haha), trussss Doni nunjuk aku… *musik
ilustrasi: Jeng, jeng, jenggg
Aku maju. Pertama aku memberi monolog dulu:
“Pernah nonton film
Laskar Pelangi semua kan? Pasti kenal dengan yang namanya Lintang. Nah, mala
mini saya ingin meranin dia. Mungkin karena dia pendiam, nggak banyak ngomong dan suka buku seperti saya” terdengar sorakan #eaa
“Baiklah, saya akan
memerankan adegan yang pertama: Lintang itu dari pesisir. Tiap hari dia pergi
ke sekolah naik sepeda, tiap hari ada buaya yang menghadangnya. Saat itu pertma
kali dia masuk sekolah, dia sendirian, sedang yang lain pada ditemani orang
tuanya” Trus aku duduk meranin
Lintang sambil bawa buku dan pensil.
“Adegan kedua. Saat
Lintang nyampe ke sekolah saat sekolah mau tutup, dan dia hanya sempat
meyanyikan lagu Indonesia raya.. dia nyanyikan lagu itu dengan sepenuh hati”
Aku nyanyi Indonesia Raya bagian reff :D
“Adegan ketiga. Pas
Lintang, Ikal, dan Mahar ikut lomba. Saya akan memerankan juri dan Lintangnya
sekaligus”. Aku duduk an ngasi pertanyaan yang aku karang, dari pertanyaan
fisika, matematika, sampai yang paling narsis “sebutkan tiga pelatih sanggar
nuun??” wkwk
“Adegan ke-empat.
Sebenarnya dialog ini ada di film Sang Pemimpi, tapi nggak apa-apa yaa.. saya
meranin disini. Saat Lintang marah sama Ikal”
Trus aku buat dialog yang seolah Ikal ada di depanku.
Masihkah kau ingat Arai ngomong gini boi:
“Apa yang terjadi
dengamu Kal? Kemana semangat itu.. mimpi-mimpi itu?!
Tanpa mimpi orang
seperti kita akan mati.
Mungkin setelah lulus
kita hanya akan jadi buruh, tukang, atau pembantu.
Tapi di sini Kal!! Di
sekolah ini!!
Kita tak akan pernah
mendahului nasib kita”
Hehe, maaf pak cik Andrea, naskah aslinya aku ganti :p
“Adegan kelima. Saat
perpisahan, saat ayah Lintang meningeal, dan dia putus sekolah. Misalkan saya
berperan sebagai ibu Muslimah, ada tukang pos yang memberi surat ke saya”
Trus, aku membaca surat Lintang yang juga aku karang:
“Ibunda guru.. Maaf,
aku tak berangkat sekolah hari ini.
Ayahku meninggal. Aku
akan berhenti sekolah.
Salamku untuk ibunda
dan teman-teman.”
Trus, adegan yang terakhir. Saat aku jadi Ikal, saat Lintang
pamit dan ninggalin sekolah..
AKU TERIAK KERAS DAN PLONG SEKALI BOIII..
“LINTAAAAAAAAAAAGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG”
Pertunjukanku usai dan mereka bertepuk tangan, dilanjutkan penampilan teman-teman sanggar lain yang nggak kalah gilanya. Habis itu
aku berkaca-kaca :') Akhirnya teriakanku nyebut nama LINTANG kesampaian juga, di depan orang-orang lagi, melebihi ekspektasiku yang pengen teriak di depan laut. Aku
pernah nangis terisak-isak nyebut-nyebut nama Lintang. Aku gampang nangis kalau
ingat Lintang. Dia anak yang ngajari aku banyak hal, aku mencintai dia dari
lubuk hatiku terdalam.
Yogyakarta, 4 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar