Senin, 26 Mei 2025

Ngobrol Buku "Politik Jatah Preman" oleh Ian Wilson

Marjin Kiri merayakan 20 tahun usianya dengan menggelar bincang buku bertajuk "Politik Jatah Preman" di Gudskul Ekosistem, Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Mei 2025. Acara ini mendatangkan penulisnya secara langsung, Dr. Ian D Wilson yang juga dosen senior Politik Internasional dan peneliti utama di Indo-Pacific Research Centre, Murdoch University. Acara dimoderatori oleh Penulis dan Pengajar teori sosial, budaya, dan politik Maulida Sri Handayani. 

Ian Wilson menjelaskan, yang terjadi setelah 98, ada fragmentasi organisasi hingga demontrasi. Politik di jalan sangat penting. Mereka yang bisa mengendalikan massa itu yang cukup diinginkan, terutama oleh politisi. Dulu euforia demokrasi menuntut banyak hal, karena dianggap memecah belah. Setelah 98, banyak Ormas muncul untuk menuntut banyak hal.

Yang menarik ada Ormas Betawi, yang tak terfasilitasi oleh Parpol. Dari dulu Ormas jadi broker antara politikus, parpol, dan masyarakat. Dinamika setelah 98 ini terfragmentasi. Ada sentimen mereka tak dapat untung, mereka punya hak menuntut atas itu. "Kami warga asli sini, kami punya hak atas pekerjaan," katanya.

Ini bentuk pemaksaan. Pemilu sebagai proses ada kontestasi untuk menuntut perubahan. Pada awal 98, demokrasi ada, tapi banyak kekerasan. Ada kontestasi juga, tentang hal atau berbagai kelompok: FBR, FPI, Bamus Betawi, dll.

Di Bamus Betawi memang kalangan lower class, yang menarik bagaimana kita bisa menuntut kebaikan. Ormas adalah bentuk untuk menuntut seperti pekerjaan, hak atas wilayah, dan dinamika politik sangat kental. Masyarakat termarjinalisasi berperan.

Juga ada cara baru bagaimana politisi memanfaatkan Ormas. Ormas jadi broker. Misal penelitian di Cakung, 2005-2006, ada kekerasan Ormas Betawi dan Madura. Ada imigran baru, ruang untuk bisa berdagang.

Premanisme juga bisa disebut transaksionalisme. Siapa pun bisa deal dengan siapa pun. Di Indonesia tak ada yang kuat di politik, yang ada transaksionalisme. Yang menarik, selalu Ormas dilirik saat Pemilu, tapi upaya memenangkan suara tak begitu. Yang disebut dengan premanisme tak begitu berhasil. Ini bisa jadi modal politik, tapi mereka confused.

Tapi kenapa dia selalu dibutuhkan premanisme itu? Jawabannya dalam konteks transaksionalisme. Ada modal sosial, deal, untuk bantu meraih kekuasaan. Mereka tidak terbungkus parpol, tapi pengaruh di mana-mana. Logikanya logika preman. Logika atau strategi politik yang lain. Ini juga menggoyang relasi-relasi yang didirikan, tapi ini di konteks yang cukup teratur. Di tingkat politik elite, mereka bilang itu, "benalu" dan menimbulkan potensi konflik, padahal mereka sudah tahu.

Misal kasus Hercules dari Timor Timur, keluarga dia meninggal, dia diangkat jadi perangkat pembantu tentara. Dia dekat dengan militer dan dekat dengan Prabowo. Dia dibawa ke Jakarta, dia ikut di Tanah Abang, dia juga punya relasi dekat dengan tentara. Ini menjadi modal politik dan punya gank dan jaringan yang cukup kuat. Dia menguasai Tanah Abang karena ada backing dari tentara, karena gak mau ada yang mau konflik dengan tentara. Menjaga masyarakat atas nama keamanan.

Bagaimana dengan rezim Prabowo yang diisi oleh militer? Di sisi lain jelas ada keuntungan dekat dengan Prabowo.

Bicara soal Ormas, ada pola yang sama, pemilkiran politik Hercules mencerminkan gaya premanisme. Dia begitu loyal terhadap yang menjadi presiden, tapi dia juga berkorban, beberapa kali dipenjara, tapi Prabowo tak intervensi. Ini cukup unik karena silent politic agak jarang. Semua organisasi yang ada relasi dengan kekuasaan formal, mereka lebih berpengaruh. Ini juga proses, deal yang paling wah. Ketika dekat dengan konstelasi kekuasaan formal, ada pula yang berpindah-pindah. Movement selalu identik dengan kekuasaan.

FPI dan Ormas Islamis agak beda, FPI punya konsep pembelaan Islam yang bertentangan dengan negara. Mereka bisa exist begitu lama, tapi karena masih berguna bisa jadi anggota. Ketika jadi gerakan independen, setelah 212, ini cukup cepat. Ormas tidak cuma mengarahkan diri ke status quo. Sementara, Ormas seperti Pemuda Pancasila bukan bertentangan dengan status quo.

QnA:

Rasyi: Ingatan buku Ian udah agak kabur. Tapi seingatnya, kerangka analisis soal negara menjalankan ketertiban itu absen, negara juga menjadi preman lewat tax. Apakah benar, di saat premanisme itu didefinisikan sebagai masalah, apakah ini tindakan benar? Kekosongan keamanan ini apakah untuk yang menjembatani adanya premanisme? Mengalihkan masalah dalam bentuk premanisme dengan menguatkan militer (polisi)?

Ian: Dalam konteks Indonesia, dan dinamikanya, proses formasi negara tidak sama dengan monopolisasi negara pada rakyat. Negara tantangannya, bagaimana mengatur hal tersebut, untuk mendisiplinkan dan menjaga relasi. Kembali ke Petrus, yang terjadi mendirikan sistem siskampling yang melembagakan sistem keamanan. Lalu ada gale-gale dan centeng, yang menarik, jika melihat konsep menguatkan negara itu seperti bertentangan. Seperti satpam, ini posisi menarik. Mereka bukan private tapi juga bukan formal. Ini jadi pola-pola yang ada di Indonesia. Ini bukan hanya penegakkan hukum, tapi juga menjaga relasi. Bersekutu dengan Ormas dan preman, ini bagian dari konsep keamanan. Ada kontestasi konsep keamanan itu seperti apa. Rasio polisi ini juga rendah. Mereka mengkontrak perampok, untuk mengatur keamanan. Ini bisa jadi obrolan democratic discussion.

Sapta: Apakah hubungan preman dengan elite politik selalu didasari suka sama suka dan loyalitas? Atau salah satu pihak gak sadar, dia telah dimanfaatkan. Misal penelitian Pak Noorhaidi Hasan, gerakan laskar jihad yang dimanfaatkan dan menjauhi elite politik, tapi makin besar. Lalu di Poso menambah kepanikan. Apa ini terjadi juga di preman yang Pak Wilson teliti?

Ian: Laskar jihad kalau disebut preman tak tepat, karena unsur ideologi ada. Juga ada relasi kontestasi politik. Ini jadi tangan ketiga dalam kontestasi politik, yang paling terkenal itu FPI. Ini ada peran untuk mengalihkan tensi sosial ke hal tertentu dalam framing primordial. Meskipun Ormas anggota dari kelas bawah, framing selalu pro status quo. Sentimen yang bisa diideologisasi setelah 65 dianggap sudah selesai. Sebagai masyarakat yang besar, Ormas punya peran untuk kooptasi.

Pak Fadloli El Muhir, pendiri Forum Betawi Rempug (FBR) pernah menyatakan kebanyakan working class untuk ganggu serikat buruh, jawaban tak memuaskan. Logika dasarnya, mendukung status quo dan transaksional. Sama dengan FPI, tahun 2010-an makin besar, sengaja masuk daerah di pinggiran Jakarta. Ada tatanan industri baru. Mereka punya keluhan yang sama karena dibayar murah, tapi sentimen ini entah kenapa bisa dikaitkan dengan kristenisasi. Ormas dalam kerangka oposisional ini tidak ada.

Fiska: Partai politik pasti ada ormasnya, misal partai besar Gerindra dan PDI bersifat seperti preman juga (paramiliter), partai baru seperti PSI dan buruh belum kelihatan. Apakah itu bentuknya akan berubah?

Ian: Kalau Satgas pascareformasi itu besar, bisa dianggap semimilter. Ini menjadi liability dan berkompetisi secara elektoral, dan tetap harus meraih suara. PSI logikanya beralih ke patron. Kalau buat poin optimistis, ini bisa terjadi di medsosnya, misal Gerindra menjawab mereka preman dengan tertawa. Mereka merasa tak bisa memaksa anak-anak muda. Ini tetap jadi tantangan dan dinamikanya makin kompleks. Setiap Ormas selalu punya sejarah yang sama. Ian bertemu Habib Rizieq, yang menyebut FPI terlalu besar, tapi ada pihak yang mendongkel. Mereka buat security sendiri. Mereka juga sadar harus menjaga citra.

Bonnie: Dia merasakan menjadi mahasiswa ketika masih Orba. Kasus Petrus kelihatan sekali dan ada keluarga yang kena, salah satu korban itu bertato. Lalu Moerdani bilang itu perang antar gank, tapi itu dekat pemilu. Menggunakan mereka, ditanya detail. Ketika Golkar menang, dijalankan. Soeharto mengakui itu sebagai terapi. Mereka digunakan untuk memenangkan rakyat dan juga terapi.

Ian: Benar itu Soeharto bilang sebagai shocked terapi, untuk menyingkirkan pihak yang mengganggu. Lalu ada kasus antipreman, selalu menghasilkan peningkatan keanggotaan Ormas. Ada dinamika mendisiplinkan ini, dinamika ini bukan menghapuskan tapi mendisiplinkan. Di politik sekarang digunakan ekses-ekses untuk mempersempit ruang berorganisasi. Bagaimana premanisme bisa digunakan untuk menyerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar