Prolog:
Azyumardi Azra mengatakan, kita umat Islam perlu berani
melihat sejarah pahit kita sendiri. Sejarah yang tak terkatakan di kalangan
para idealistik dan romantik, sehingga umat Islam lebih tergugah
untuk melihat sejarah Islam lebih obyektif dan bisa mengambil pelajaran
darinya.
Buku ini terdiri dari lima bab: (I) Kebenaran yang Hilang,
(II) Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun, (III) Pembacaan
Baru terhadap Sejarah Umayyah, (IV) Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah,
(V) Penutup: Lalu Apa.
Dalam pengantarnya, Samsu Rizal Panggabean menyampaikan,
Fouda lahir tahun 1945, doktor di bidang Ekonomi Pertanian. Dia berafiliasi
dengan Partai Wafd dan Partai Istiqlal, meskipun lebih dikenal sebagai aktivis
HAM, pemikir, dan komentator sosial. Dia mati ditembak di Madinat al-Nasr,
Kairo, oleh Jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh Umar Abdurrahman. Pembunuh Fouda
bahkan dari golongan pemuda yang tak lulus, pekerja serabutan dan tak punya
keahlian khusus. Fouda oleh Universitas al-Azhar dianggap menghujat agama dan
murtad, karenanya "darahnya halal". (Saya ingin mengkritik
fenomena darah halal ini). Pembunuhan ini direncanakan terlebih pasca-debat
antara kubu sekularis vs Islamis pada Januari 1992 di Pameran Buku Kairo. Di
tengah gelombang ini, memunculkan kelompok radikal dan ganas.
Bahkan sastrawan Mesir, Najib Mahfuz, mengomentari kematian
Fouda dengan ucapan bahwa agresi tidak dibenarkan. Seharusnya publik lebih
mengutamakan diskusi sebagai cara mengatasi perbedaan sudut pandang. Diskusi
berjalan tak ada ujungnya--lebih lanjut bisa dibaca di tulisan Rm. St. Sunardi
berjudul "The Ecstasy of Creation. The Birth of Modern Egyptian Society in
Najib Mahfuz". Kaum fundamentalis ini seolah terserang oleh Fouda karena
mengetahui dirinya sendiri tampak tak bermoral, bodoh, korup, dan munafik.
Fouda mengatakan jika periode sahabat Nabi dan al-Khulafa'
al-Rasyidun (zaman salaf) merupakan zaman yang biasa-biasa saja, tak segemilang
yang digembor-gemborkan pengagumnya, bahkan memalukan. Empat khalifah bahkan
mati karena perang saudara. Khalifah ketiga, Usman bin Affan bahkan tewas dan
jenazahnya dikuburkan tiga hari kemudian di kuburan Yahudi! Fouda bertanya,
kemarahan apa yang tersembunyi di balik perilaku sahabat Nabi? Padahal Usman
orang yang pertama-tama masuk Islam, tapi di kematiannya tak disolati dan
dikuburkan di pemakaman Islam. Berdasar salah satu fakta ini, Fouda menaruh
minat besar terkait fakta-fakta yang dilupakan oleh kalangan romantis dan
idealistik.
Fouda meyakini kaum brengsek hidup di banyak dinasti,
termasuk dinasti keemasan umat Islam. Pada Dinasti Abbasiyah misalnya, pendiri
dinasti ini terlibat penjagalan 90 anggota dari keluarganya sendiri. Mereka
juga kaum yang hedon, suka minum, main perempuan, dan menyimpang. Lalu
bagaimana dengan mereka yang saat ini keras kepala ingin mengembalikan
khalifah? Kritik lain bagaimana ulama dijadikan alat pembenaran terhadap
perilaku korup. Ini terjadi pada masa khalifah kesembilan dinasti Umayah.
Khalifah dalam sejarah rasa-rasanya hanya alibi terhadap
pengincaran kekuasaan. Khalifah di mata Fouda tidak diposisikan pada titik yang
suci, tapi juga bertentangan dengan Islam, sehingga perlu dikritisi dengan
ukuran keilmuan dan HAM. Fouda sadar jika secara alami, manusia hanya ingin
mendengar yang dia sukai. Posisi Fouda yang sekuler jelas, pemisahan
agama dan negara penting untuk menjauhkan agama dari manipulasi kuasa. Fouda
juga tak tertarik pada hal remeh-temeh terkait cara berpakaian, jenggot,
Dajjal, dll. Ada hal yang menurutnya lebih penting seperti keadilan sosial dan
masalah-masalah ekonomi mendesak. Fouda dari sudut pandang Michael Laban
Walzer, menyentuh saraf moral masyarakatnya. Fouda meminta mereka melihat
kesahalan-kesalahan yang sering dia hindari sendiri.
Dalam mukadimahnya, Fouda memang menekankan jika manusia
hanya cenderung ingin menemukan apa yang sudah mapan,
dan nyaman bagi sisi emosionalnya sendiri. Akibatnya, mereka kesulitan menerima
kebenaran lain yang berkemungkinan jauh lebih benar. (Adakah jarak antara
kebenaran satu dengan kebenaran lain jika kalimatnya seperti ini?) Fouda
mendaku telah melakukan studi sejarah secara tekun, cermat, teliti, dan kritis
terhadap argumen yang mengombang-ambingkannya. Fouda mengkritik banyak penulis
dan sejarawan yang buruk karena hanya ingin menulis yang diinginkan pembaca.
Mereka tak peduli walau harus mengkhianati akal-budi di depan dokumen-dokumen
sejarah. Fouda menekankan pada bukunya jika pembicaraan dia dalam bukunya bukan
tentang "agama, iman, dan keyakinan" tapi soal "sejarah,
politik, dan pemikiran." Posisi ini perlu dilihat betul.
Pembicaraan ini menurut Fouda rumit karena ingin
"membuka apa yang ditutup-tutupi" dari fakta-fakta sejarah yang ada.
Namun, pembahasan ini juga menghidupkan kembali organ tubuh kita yang sering
disepelekan, akal; dengan alatnya berupa nalar. Fouda melihat bukan semata
peristiwa, tapi "maksud" dari peristiwa.
Bab I: Kebenaran yang Hilang
Keterbukaan dan keterusterangan jadi bahan dasar Fouda
membuat tulisan, yang dilihatnya sebagai suatu barang langka. Banyak alasan
kenapa orang takut terbuka dan berterus terang, karena dia takut, kebanyakan
hiperbola, dan perhitungan kemungkinan terburuk. Apalagi, orang lebih suka
menuduh daripada menggunakan akalnya sendiri terkait banyak hal. Sekali lagi,
Fouda mengatakan perbincangan dalam bukunya adalah soal "politik dan
kekuasaan" bukan "akidah dan keimanan". Katanya, "Perbincangan
kita adalah tentang slogan-slogan yang memukau orang-orang biasa, tetapi juga
dipercaya kaum elitenya dan dipegang teguh oleh orang-orang salehnya." (p.
8) Lalu, slogan ini jadi kendaraan untuk menuju puncak pimpinan massa. Jelas,
maksud mereka dunia dan kuasa, bukan akhirat dan agama. Allah dan Rasulullah
hanya alat saja bagi mereka untuk legitimasi kuasa. Slogan itu hadir dalam
bentuk, seperti "Islam adalah solusi", "Islam harga mati",
"Tegakkan khalifah". Slogan ini membingungkan, apakah kaitannya
dengan agama atau justru politik.
Fouda memaparkan dua perspektifnya untuk mencari kebenaran
yang hilang. Pertama, di balik slogan-slogan itu ada anggapan sebelumnya jika
masyarakat Mesir itu jahiliah, jauh dari agama yang benar. Solusinya sama,
penerapan syariat Islam. Kedua, Fouda menekankan pola tesis-antitesis, bahwa
perspektif kedua harus bertentangan dengan kesimpulan dari perspektif pertama.
Argumen Fouda yaitu, masyarakat Mesir bukan masyarakat Jahiliah, tetapi malah
mendekati purwarupa masyarakat yang paling dekat dengan nilai-nilai Islam yang
benar. Nilai ini tak sekadar simbolis, tapi esensial. Islam bukan untuk pamer,
tapi Islam yang dihidupi, dan ini tampak pada perilaku masyarakat Mesir.
Indikator ini banyak: mereka sering ke masjid, berlomba-lomba pergi haji, dan
kegembiraan pada perayaan agama.
Selain itu, pemikiran Fouda selanjutnya, penerapan syariat
tidak ditujukan pada diri sendiri. Ia hanya instrumen mencapai tujuan
berdirinya negara Islam. Namun, di sinilah titik perdebatannya. Slogan bahwa
Islam adalah agama dan negara. Di sini ada medan baru, medan kebenaran dan
medan politik. Ini meluas dengan ilusi jalan keluar berbagai masalah, Islam
sebagai tata cara dan solusi. Fouda dengan tajam menilai, di sini terletak
kontradiksinya. Kita jadi buta terhadap perilaku sadis, syariat yang tak relevan,
dan hukum yang tidak adil. Fouda mengkritik keras lumpuhnya semangat ijtihad,
upaya sungguh-sungguh menemukan hukum Islam atau masalah yang tak dijelaskan
dalam Al-Quran dan Hadis. Ada unsur peremehan yang dikedepankan. Termasuk soal
hak-hak perempuan untuk keluar rumah, yang tak bisa diabaikan, dan tidak ada
preseden sebelumnya di masa empat imam. Termasuk soal perumahan yang tak ada
dalam pembahasan fikih ulama-ulama sebelumnya.
Masalah yang dipaparkan Fouda lebih melebar ketika di masa
modern muncul entitas-entitas yang tak ada di dunia khalifah seperti badan
usaha milik negara, dunia perbankan; sehingga mereka yang melakukan ijtihad
tapi malah dituduh imperialis, komunis, atau terjerat keduanya. Sehingga,
masalah jadi tak terbahas sama sekali. Belum lagi masalah pemilihan pemimpin,
semisal diambil dari suku Quraisy. Padahal di sisi lain, Islam menjunjung
kesetaraan yang membolehkan dari suku lain untuk menduduki kursi pimpinan.
Islam juga tak meninggikan derajat Arab di atas suku lainnya di dunia. Islam
hanya membedakan tingkat ketakwaan.
Syarat ini pula yang digunakan untuk legitimasi kepemimpinan
kaum Umaiyah dan Abbasiyah, yang dipilih berdasar keturunan dari suku Quraisy.
Semisal pada awal kepemimpinan Raja Faruq yang dicitrakan sebagai orang saleh,
dengan jenggot dan tasbihnya. Sebab penampilannya, lalu nasabnya
dicocok-cocokkan dengan Arab, meskipun sejarah berkebalikan. Tentu situasi
pembedaan darah biru dan merah ini kurang nyaman. Lalu dibuat pula
imitasi-imitasi hadis untuk menaikkan penguasa. Penentangnya disebut sebagai
musuh nabi. Padahal jelas, kepemimpinan harus diserahkan pada yang lebih
kompeten tanpa melihat nasabnya. Fouda dengan ini mengulik berbagai bentuk
anakronisme yang terjadi di berbagai dinasti.
Dalam Islam pun, tidak ada cara baku dalam memilih pemimpin.
Masing-masing pemimpin punya cara sendiri-sendiri, entah itu langsung maupun
tidak langsung. Fouda sekaligus mengkritik pemilihan pemimpin di Arah Saudi
yang dipilih karena dia dari kalangan keluarga kerajaan. Padahal ada
praktik-praktik lain, entah itu lewat surat , pemilu, hingga lewat institusi
khusus. Alibi-alibi lain soal penolakan terhadap kedaulatan rakyat karena
dianggap menentang kedaulatan Tuhan. Menurut Fouda, negara teokratis hanya membuat
kita limbung dalam pergerakan, dan tidak membawa pada gagasan-gagasan
mencerahkan, sebab kita diminta terus pasrah pada yang sudah ada.
Berdasarkan pada fakta sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun,
Fouda menganalisis kepemimpinan para pemimpinnya yang terdiri dari: Abu Bakar
yang berlangsung selama 2 tahun, 3 bulan, dan 8 hari; Umar (10 tahun, 6 bulan,
19 hari); Usman (11 tahun, 11 bukan, 19 hari); dan Ali (4 tahun 7 bulan). Dari
analisis empat khalifah ini, Fouda mencermati pada masa Abu Bakar dan Ali,
kepemimpinan fokus pada peperangan, pembelot, dan penentang kekuasaan. Ada pola
semangat berperang lebih tinggi melampaui membangun negara. Sementara, masa
Umar dan Usman dianggap Fouda lebih bisa menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya.
Teladan itu baik soal kebijaksanaan, prestasi, martabat, iman, kebajikan,
hingga kedermawanan. Syariat juga diterapkan secara penuh. Urusan negara dan
agama beres di tangan mereka.
Akan tetapi, pada masa Usman, terjadi polemik
penyingkirannya sebagai pemimpin, baik secara sah maupun tidak sah, baik dari
pemecatan maupun kekerasan, sampai masyarakatnya terperdaya untuk menghunus
pedang. Ada seruan terang-terangan untuk membunuhnya. Usman dibunuh oleh
pemberontak di kalangan umat Islam sendiri, dan tragedi ini terjadi di
rumahnya. Bersandar pada kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Al-Thabari), disebut
jika mayat Usman harus bertahan dua malam dan tak segera dikuburkan. Orang
Anshar melarang mayat Usman disolatkan dan dimakamkan di pekuburan Islam yang
dekat dengan Rasulullah, sehingga Usman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi di
Hisy Kaukab. Bahkan, ada rumor mayat Usman sempat diludahi oleh Umari bin
Dzabi'i, dilempari batu sampai penandunya limbung.
Dari fakta akan jenazah Usman itu, Fouda mempertanyakan hal
penting: kemarahan seperti apa yang membuat jenazah Usman sampai diperlakukan
seperti itu? Seolah melupakan jasa Usman sebagai orang pertama yang masuk
Islam, suami dari putri Nabi. Tentu di sini ada perkara yang amat besar terkait
pemimpin. Tentu, pemimpin tak punya klaim akan kekebalan yang membuatnya lebih
tinggi dari rakyatnya. Mengapa Usman menjadi orang paling sial padahal ia
termasuk manusia terbaik yang dimiliki Islam? Ia juga dijanjikan masuk surga.
Ada hal pahit di sini, meskipun pemimpinnya baik, syariat ditegakkan, tapi tak
menjamin bisa menertibkan kekuasaan, terwujudnya keadilan, dan bisa menghormati
martabat manusia.
Fouda membuat kesimpulan, pertama, "sesungguhnya
keadilan tidak akan terwujud dengan kebajikan penguasa semata-mata dan tidak
juga akan bersemi dengan kebajikan rakyat dan penerapan syariat. Namun,
keadilan dapat terwujud dengan apa yang kita sebut sebagai 'sistem
ketatanegaraan' (nidam al-hukm)." (p. 39). Sistem ini meliputi
bagaimana cara mengontrol penguasa ketika dia bersalah dan tak melampaui
kewenangannya. Para pemberontak mencari-cari alasan dari masa lalu untuk
menjatuhkan Usman. Mereka juga menyidang Usman, memintanya melepaskan kekuasaan
dengan sadar, dan meminta penduduk Madinah agar tidak taat lagi pada Usman.
Kesimpulan kedua, "penerapan syariat Islam itu sendiri
sesungguhnya bukanlah esensi dari Islam. Syariat telah diterapkan secara penuh
dan terjadilah apa yang terjadi. Karena itu yang lebih penting dari penerapan
syariat itu sendiri adalah menetapkan ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang
adil dan berkesesuaian degan semangat Islam." (p. 44) Ada pertanyaan
menggelitik, meski pemimpin dan umat sudah taat dan beriman, namun apakah
keadilan bisa ditegakkan? Fouda mengingatkan, untuk memulai sesuatu, perlu dimulai
dari pokok, bukan cabang. Dari esensi, bukan kulit.
Kesimpulan ketiga, "Andai Anda beranjak dari masa Usman
ke masa sekarang, Anda tidak akan menemukan banyak perubahan dan perbaikan,
baik itu dalam aspek penyelesaian problem masyarakat atau dalam soal kontrol
terhadap para penguasa apabila mereka bersalah dari sudut pandang Islam. Tidak
perlulah Anda mencari-cari hubungan antara penerapan syariat dengan potensi
penyelesaian problem masyarakat." (p. 45) Seseorang perlu menanyakan
hal-hal seperti cara meningkatkan upah, mengatasi masalah perumahan, menanggulangi
utang luar negeri, dan BUMN bisa seimbang dalam kerangka syariat? Fouda
berargumen, jawaban ini hanya bisa didapat dari ijtihad alih-alih syariat.
Kesimpulan keempat, "Kita harus membedakan antara dua
perkara, yaitu antara melarikan diri dari kenyataan atau menghadapinya, antara
kenekatan dan keberanian, antara menonjolkan kulit luar dan menelisik inti
terdalam. Masyarakat tidak akan berubah dan umat Islam tidak akan maju hanya
dengan memanjangkan jenggot dan mencukur kumis." (p. 48) Intinya, Islam
tidak terjebak dalam persoalan yang remeh-temeh. Islam menurut Fouda tidak
bergantung sama sekali dengan perkara yang remeh-temeh seperti itu, dengan
perkara pinggiran seperti itu. Islam perlu dilihat dengan paras sebenarnya.
Islam bukan agama kaum fanatis, tapi agama kaum lapang dada. Jika tidak, Islam
akan terperangkap dalam pelarian, dan bagi Fouda, "pelarian memang jauh
lebih mudah daripada menghadapi kenyataan. Cara demikian lebih gampang daripada
bersikap jantan dan ksatria. Mereka mengemukakan kedangkalan, karena yang
demikian lebih enteng daripada menelisik esensi agama. Dalam hiperbolismenya
tentang simbol-simbol, mereka bertindak tidak proporsional sembari menuntut
penerapan syariat. Itulah tuntutan yang sejalan dengan tingkat pemahaman mereka
dan sesuai dengan jalan pikiran mereka." (p. 51) Jika mereka sadar,
syariat Islam dalam masyarakat sudah dilaksanakan, tapi memang renungan dan
pikiran mereka yang tak sampai.
Fouda menyentuh akarnya, para fundamentalis radikalis garis
keras tidak ingin terikat pada konstitusi yang sebenarnya sudah menyertakan
prinsip-prinsip Islam (apalagi dalam konteks Mesir). Kata Fouda, "orang
yang tidak biasa berdemokrasi, tidak pernah bisa menghargai demokrasi."
(p. 56) Yang mereka gaungkan selalu adalah cara termudah. Kemudian membebani
orang lain dengan impian-impian yang tidak perlu. "Biar mereka juga tahu
bahwa setiap masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh pena bukan oleh siwak,
oleh kerja nyata, bukan menyendiri, oleh akal-budi bukan gumaman belaka, oleh
logika bukan peluru. Dan lebih penting dari itu, agar mereka mengetahui
kebenaran fakta yang hilang dari ingatan mereka, komunitas Islam bukan hanya
mereka saja!" (p. 60)
Bab II: Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa'
al-Rasyidun
Bab II ini, Fouda mengajak pembaca untuk lebih berpikir
objektif, tidak fanatik membela Usman atau membela pemberontak karena
masing-masing memiliki maksud dan latar belakang masing-masing. Dia mengajak
kita untuk tidak berpikir dalam sentimen keagamaan. Pada masa pemberontakan
yang terjadi pada Usman, bahkan Ali membuka Baitul Mal untuk dibagi-bagikan.
Kepemimpinan di masa khalifah berkembang, semisal di masa Umar, dia tak
menjadikan kebijakan Abu Bakar sebagai kitab suci yang tertutup. Kebijakan
sendiri adalah bentuk ijtihad, bukan pilar iman. Ijtihad tidak seadar
menafsirkan atau mengoreksi, tapi juga pembatalan hukum. Ijtihad ini bisa
dipelajari dari Khalifah Umar, bahwa kepemimpinan memang membutuhkan skill-nya
tersendiri. Politik dan agama dua hal yang berbeda. Umar tak mau memilih
pemimpin yang berkepribadian lemah, sambil jujur pada orang itu,
"Seseorang yang lemah secara kepribadian tidak akan mampu mengemban tugas
yang melebihi kompleksitas persoalan akidah." (p. 72)
Ijtihad Umar mengajarkan pada kita, setiap perkara ada
pakarnya. Etos ijtihad Umar tak diragukan, bahkan dia bisa memberi justifikasi
terkait langkahnya yang bertentangan dengan apa yang ditulis dalam dokumen.
Fouda lewat beberapa sumber mengungkap berbagai kebijakan Umar, seperti yang
tertulis dalam kitab "Al-Ijtihad" karya Abdul Mun'im al-Namir.
Pertama soal pembagian zakat bagi muallaf di dalam Al-Qur'an. Di Surat
at-Taubah: 60, disebut zakat diperuntukkan bagi fakir, miskin, amil, muallaf,
dst. Fouda menulis, "Betapa banyak orang yang diperbudak oleh belas
kasihan orang lain." (p. 74) Bantuan ini melebar, dari zakat ke tanah yang
diminta muallaf. Abu Bakar setuju memberikan bagian tanah, tapi Umar tidak.
Namun, Umar malah diberi umpatan. Kata Umar, "Sesungguhnya Rasulullah
dulunya hanya sedang memikat hati kalian karena umat Islam ketika itu masih
sedikit. Kini, Tuhan telah menjadikan Islam tidak memerlukan orang-orang
seperti kalian. Pergi dan jalankanlah apa yang selama ini kalian kerjakan.
Tuhan tidak akan rela lagi melihat tampang kalian jika kalian masih berbuat
demikian." (p. 75)
Jelas di sini, Umar menghentikan hukum yang sudah tak
relevan di zamannya, sehingga pemberian jatah bagi muallaf diperhitungkan. Umar
tidak kaku pada kulit luar teks Al-Quran, juga tak tunduk pada hukum
sebelumnya. Namun, dia menyelidikinya langsung. Fouda menawarkan pertanyaan
penting dengan jawaban pelik: Apa kita boleh melakukan ijtihad yang
bertentangan dengan teks Al-Quran karena perubahan alasan hukum atau dasarnya?
Termasuk juga soal potong tangan dalam pencurian di masa Umar tidak diterapkan
karena ijtihad itu terjadi di masa paceklik, namun ada ulama yang bilang hukum
itu hadir karena nilai yang dicuri tak melampau nisab. Padahal, yang dicuri
adalah unta, dan ini melampui nisab.
Contoh kedua, terkait kasus pencurian. Umar mencoba untuk
memenuhi persyaratan perlunya menjamin ketersediaan tingkat paling minimum
untuk hidup. Fouda menulis, "Umar tidak membatu ketika berhadapan dengan
teks yang sudah jelas. Ia tetap berusaha menelisik apa yang ada di balik teks
itu." (p. 80)
Fouda terkait Umar menekankan dua fakta penting: (1) Umar
sosok yang menggunakan akal-pikiran untuk menganalisis dan mengevaluasi
sesuatu. (2) Umar menerapkan roh Islam dan esensinya untuk tujuan keadilan.
Jika Umar hidup dalam konteks sekarang, mungkin dia akan dipandang jumud, yang
kaku tanpa mempertimbangkan konteks zaman. Mereka akan terus menempuh segala
cara untuk menggunakan ayat-ayat Al-Quran sebagai pemukul. Bahkan Umar juga tak
menghambur-hamburkan uangnya. Ketika dia perjalanan pulang-pergi melaksanakan
haji lalu pulang ke Madinah, ia hanya menggunakan uang 16 dinar, dan menurutnya
angka itu sudah berlebihan. Bandingkan dengan jumlah kekayaan khalifah lain,
seperti Usmn, Thallah, al-Zubair, Abudrrahman bin Auf, dll. Fouda menekankan,
"Menghimpun harta tidak sejalan dengan kelurusan iman dan kesucian
nurani." (p. 91) Sahabat nabi seharusnya hidup dengan asketis (orang yang
disiplin, menolak kesenangan duniawi, dan memprioritaskan tujuan
spiritual—tahajud malam hari, berlama-lama waktu salat). Bahkan ada khalifah
yang hanya punya baju yang dipakai, tidur di pelepah kurma dengan syahdu. "Apa yang menjadi karakter Anda akan
sangat menentukan nasib Anda kemudian." (p. 92)
Pun dengan skandal Abdullah ibnu Abbas dengan Baitul Mal dan
tuduhan-tuduhannya pada Ali. Fouda mengatakan bahkan kita lebih santun daripada
para sahabat Nabi. "Harta benda yang mungkin menggiurkanmu amatlah kecil,
tapi konsekuensi dari itu amatlah besar." (p. 97) Abdullah ibnu Abaas ini
juga menginspirasi pembunuhan Presiden Anwar Sadat oleh anggota Tanzimul Jihad
dengan mata celaknya. Ibnu Abbas bahkan dengan sombongnya mengatakan harta yang
didapatkannya seharusnya lebih besar dari yang diambilnya. Menyedihkan. Ibnu
Abbas juga malah ingin menyerahkan harta Baitul Mal ke Muawiyah untuk berperang
melawan Ali; hingga Ali terbunuh dan Ibnu Abbas diterima dengan terhormat oleh
Muawiyah di Damaskus. Sejarah ini menunjukkan bagaimana patologi-patologi
sosial bahkan sudah ada saat awal-awal Islam. Muawiyah sendiri tak segan-segan
membunuh mereka yang adil, saleh, dan asketis. Muawiyah bisa berdebat hingga
mengeluarkan senjata untuk mempertahankan kewibawaannya. Islam yang datang
dengan misi kesetaraan malah dimanipulasi jadi agama yang rasialis.
Dari bahasan bab II tentang al-Khulafa' al-Rasyidun ini,
Fouda menyimpulkan beberapa hal: Pertama, "Orang-orang yang berpikiran
bahwa kita mungkin saja dapat mengembalikan fotokopi di masa al-Khulafa
al-Rasyidun ke dunia modern, sebetulnya sedang mengumbar omong kosong. Mereka
akan mengajak kita dan diri mereka sendiri kepada hasil yang tragis." (p.
111) Menurut Fouda, masa sekarang beda dengan masa lalu, dan Rasulullah tahu
itu. Sesederhana soal berpakaian pun berbeda, karenanya tidak serta bisa
difotokopi. Bahkan sebodoh memfotokopi tindakan Ali yang memukul budak Aisyah
bernama Barirah atas isu perselingkuhan yang dilakukan Aisyah. Barirah mengaku
perselingkuhan itu bohong, Ali memukulnya untuk mendapat pengakuan. Memukul ini
kemudian dijadikan sunah nabi, astaga, bodoh sekali, dan ini diterapkan di
Sudan!
Kedua, "kemajuan peradaban saat ini telah menambahkan
ke dalam mentalitas kita rasa empati terhadap penderitaan orang lain dan
sulitnya memaklumi tata cara peradaban kuno itu dalam memperlakukan
manusia." (p. 115) Seperti hukuman yang dilakukan oleh pembunuh Ali
bernama Abdullah bin Ja'far yang dipenggal kaki-tangannya, matanya dicungkil,
dipotong lidahnya, dan mayatnya dibakar. Para pedukung tafsir 'fotokopi' yang
kita temukan di mana-mana meneladani brutalisme.
Ketiga, "Ketentuan-ketentuan agama memang tetap, tetapi
kondisi kehidupan terus berubah. Di antara yang tetap dan berubah itu, harus
tetap ada bentuk-bentuk penyimpangan atau perubahan pada yang tetap dan
ketetapan pada yang berubah. Sebab, mustahil membuat tetap kenyataan hidup yang
selalu berubah... Upaya mengubah sesuatu yang dianggap tetap itulah yang kita
sebut sebagai ijtihad." (p. 117) Fouda menegaskan bahkan di masa nabi pun
tak ada kesucian yang mutlak, karena ini dunia nyata, bukan surga. Lapangan
ijtihad begitu luas.
Bab III: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah
Dinasti Umayyah sendiri merupakan kekhalifahan Islam pertama
setelah Khulafaur Rasyidin. Dinasti ini didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan
dari 661 Masehi s.d. 750 Masehi. Pusat dinasti ada di Damaskus, dinasti ini
berhasil memperluas kekuasaan hingga Semenanjung Iberia hingga sebagian Asia
Tengah, termasuk Afrika Utara dan Spanyol. Fouda mengawali bahasan ini dengan
beberapa kisah.
Kisah pertama, 20 H, saat Umar bin Khattab berkhutbah di
mimbar Rasullah di kota Madinah. Dia berbicara soal hubungan antara masyarakat
dan pemimpin yang saling berhubungan. Masyarakat perlu meluruskan pemimpin yang
bengkok, yang disambut oleh Arab badi, walaupun itu dengan pedang yang tajam.
Umar hanya tersenyum mendapati kaum Badui yang tulus. Kedua, 45 H, ketika Ibnu
'Auf mengingatkan Muawiyah untuk bertindak lurus. Cara meluruskannya dengan
'kayu'. Ketiga, 75 H, pidato Abdul Malik bin Marwan yang berpidato di mimbar
Rasulullah tapi tak segan menebas leher orang yang memintanya bertakwa pada
Allah. Tiga kisah ini memiliki makna yang dalam terkait gaya pemerintahan di
fase yang berbeda. Pertama melambangkan ketulusan. Kedua lebih pada kelakar
atau pengharapan, ia menginginkan sesuatu dengan simbolisasi yang lain. Ketiga,
bertolakbelakang dari Umar, sikap sombong. Fouda menganalisis (saya suka
gaya analisis ini), pertama, kisah ini memperlihatkan perkembangan model
kekuasaan dari masa al-Khulafa' al-Rasyidun ke masa Muawiyah. Kedua,
menggambarkan situasi sebuah imperium yang berdiri. Kemudian, Fouda mengajak
pembacanya untuk membiasakan diri dengan fakta-fakta yang mengguncangkan dan
menyiapkan mental.
Fouda juga menyebut jika bahkan di Dinasti Abbasiyyah, juga
menunjukkan ragam kemunafikan dan sikap hipokrasi. Di depan umum, mereka bisa
tampak alim, penuh iman, dan khusyuk; tapi juga melakukan hal memalukan.
Saat berbicara terkait Bani Umayyah, ada tiga nama yang tak
bisa dilewatkan: Yazid bin Muawiyah, Yazid bin Abdul Malik, dan al-Walid bin
Yazid. Yazid bin Muawiyah terkenal dengan kasusnya yang membunuh Husein bin Ali
bin Abi Thalib. Yazid juga pernah menyerang Kota Madinah, melakukan tindakan
anarkis selama tiga hari yang mengakibatkan terbunuhnya 4.500 jiwa, 1.000-an
perawan diperkosa, perebutan harta, ternak, senjata, dan pangan. Ini terjadi
hanya setengah abad setelah Rasul meninggal. Kata Fouda, "Kita perlu
menunjukkan kisah ini agar orang-orang yang masih juga gemar menyematkan kata
'Islamiyah' terhadap sistem khilafah bisa sedikit skeptis dan berempati
terhadap kata Islam bila sudah tiba di tangan para penguasa." (p. 137)
Yazid bin Muawiyah hidup di masa para imam-imam besar, seperti Hasan al-Bashri,
Amru bin Abid, dan Washil bin Atha--yang sering dikirimi bingkisan, hadiah, dan
jadi imam agama. Yazid juga menikmati "rukhsah" (dispensasi agama),
yang jelas ada batasnya.
Sementara itu, Yazid bin Abdul Malik (khalifah kesembilan
Bani Umayyah), selain memenuhi dunia dengan makna, tapi juga tak lepas dari
kebobrokan moral, minuman keras, gelapnya malam, romansa terhadap perempuan,
dan empat tahun kebejatan. Dia juga punya obsesi untuk dipandang unik daripada
khalifah-khalifah lain. Termasuk romansa Yazid dengan selirnya, Habbabah
(budak). Bahkan ketika Habbabah meninggal saat tersedak anggur, Yazid masih
mencium dan memeluk mayatnya hingga membusuk. Ia juga menginap di kuburan
berhari-hari. Ini kisah yang tidak pantas karena dia pemimpin, imam umat Islam.
Kasus Yazid ini tak unik, karena di zaman Ababsiyah ada sosok serupa seperti
al-Mutawakkil yang gemar perempuan, dia punya 4.000 selir yang konon sudah
dicicipi. Produsen film porno tentu akan tertarik dengan ini. Namun, tetap
terbungkam karena melibatkan penguasa Islam.
Keturunan Yazid, al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik juga tak
kalah gila dengan ayahnya. Dia gemar mabuk, melakukan tindakan homoseksual, dan
punya hobi membidik Al-Quran dengan panah. Dia juga menjadikan Ka'bah untuk
minum-minum. Sikapnya mirip orang yang "lemah iman", terputus rahmat,
dan tak ragu berbuat maksiat. Hingga terjadi beberapa kali kudeta, dan Bani
Umayyah berakhir dengan tewasnya Marwan. "Engkau lebih membutuhkan
diri-Nya, daripada ia membutuhkan dirimu."
Ada beberapa kesimpulan yang Fouda tarik:
Pertama, meskipun
di masa Umayyah ekspansi Islam bertambah luas, tapi juga banyak kasus
pembelotan dan pertentangan di dalam lingkungan keluarga yang berkuasa.
"Sampai-sampai anak membunuh Bapak, Bapak membunuh anak." (p. 150)
Fouda menganggap Umar bin Khattab sebagai seorang agamawan dan negarawan
sekaligus, sementara khalifah lain hanya salah satunya saja. "Seorang
pemimpin, pemimpin apapun, haruslah benar-benar mengenal medan dan berpegang
erat kepada senjatanya. Seorang pemimpin juga harus percaya pada diri sendiri
dan hukum yang dia tentukan, daripada harus meminjam senjata orang lain, pindah
ke medan mereka, atau menari-nari di atas ranjau mereka." (p. 153)
Pemimpin juga perlu memaksa musuh untuk berdialog di medannya. "Kita
serahkan perhitungan akhirat kepada Allah, bukan kepada Jamaah Islamiyyah dan
para imam masjid yang sudah politis." (p. 155)
Kedua, keduniawiaan sebuah
negara dengan kemajuan bidang pemikiran, sastra, humaniora, ilmu pengetahuan,
seni, dan fikih berjalan selaras. Semua jadi lebih buruk ketika cengkeraman agama
bertambah kuat di dalam negara, kecuali aspek ibadah. Seni menjadi bagian dari
kebebasan, seniman tak bisa menghasilkan karya yang bagik jika pikiran dan
imajinasinya tak lepas, serta membuka diri dengan "pencapaian imajinasi
orang lain". Telinga juga perlu peka pada kritik, siap menerima ocehan,
sensitif pada keindahan (bukan ancaman); dan semua ini bukan watak "negara
agama".
Bab IV: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah menggantikan Dinasti Umayyah yang
memerintah dari tahun 750 hingga 1258 M (132-656 H). Pusat pemerintahan ada di
Baghdad, didirikan oleh al-Saffah, dengan berbagai pencapaian dari
perkembangan ilmu pengetahuan, penerjemahan karya kuno, kemajuan arsitektur dan
seni, serta perkembangan ekonomi.
Fouda mengawali bahasan bab ini dengan mengutip al-Saffah
yang menganggap dirinya sebagai seorang "penjagal", yang tak ragu
untuk menjagal siapa saja yang menyerang kepemimpinannya. Dia punya prestasi
melampaui kebengisan, seperti mencari kuburan dan berburu sisa-sisa dari
jenazah pemimpin Umayyah. Jenazah itu dilecut, disalib, dibakar, dan ditabur
abunya ke udara. Kuburan yang dibongkar dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin
Muawiyah, Abdul Malik bin Marwan, hingga Hisyam bin Abdul Malik. Bahkan setiap
keluarga Umayyah yang tersisa juga diperlakukan kejam. Fouda yang awalnya
mencoba menganalisisnya atau paling tidak mencari justifikasinya, malah jijik membaca
hal-hal sadis seperti itu. Fouda mempertanyakan, "Bagaimana dari Al-Quran
dan Sunnah yang dapat membenarkan tindakan-tindakan brutal kalangan Abbasiyah?
Di manakah suara para fuqaha dan ulama pada masa itu? Mengapa mereka diam saja,
bahkan mendukung lewat syair-syair?" (p. 163)
Al-Saffah juga melakukan tindakan keji pembunuhan di 90
orang Bani Umayyah yang sebelumnya dijamu, kemudian kepalanya dihancurkan. Lalu
Saffah meminta permadaninya digelar sambil menyantap makan malam, mengucapkan
alhamdulillah dan tahniah. Lalu dia menutup kisahnya dengan ungkapan,
"Demi Tuhan, tidak ada santap malam yang lebih nikmat, lezat, dan khidmat
daripada yang kita lakoni malam ini." (p. 168) Lolongan orang sekarat
dianggapnya sebagai penyedap rasa yang membantunya mengunyah. Apakah ini
benar-benar Islamiyyah? Tanya Fouda. Jelas, pemimpin seperti Al-Saffah ini
hanya menggunakan Islam sebagai jubah saja, bukan isi. Al-Saffah juga melakukan
dua tragedi: pembunuhan Ibnu Hubairah dan Abu Salamah al-Khilah. (Di titik ini
aku jadi bertanya, apakah Rasulullah juga suci dari dosa pembunuhan?) Apa yang
dilakukan Al-Saffah merupakan implementasi dari paham Machiavelisme, yang
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan tujuan.
Bahkan Fouda mengambil sikap, jika pemilihan pemimpin itu
tidak hanya karena dia keturunan Ali atau keturunan Abbas. "Bahkan lebih
dari itu, jika ada keturunan Rasulullah yang masih hidup, saya tidak akan
membaiatnya hanya karena ia anak-cucu Rasulullah. Sebab, kenabian tidak pernah
diwarisi dan kecakapan yang sama tidak mesti berpindah ke anak-cucu. Karena
itu, tidak mengherankan bila Nuh dikenal sebagai Nabi, tapi anaknya justru
dikenal sebagai pelaku perbuatan nista." (p. 179) Sebab, yang jelas bagi
Fouda adalah, satu pihak membela hak keturunan (nasab), yang lain membela
kepentingan perut. Termasuk penyiksaan Al-Mashur kepada sosok-sosok seperti Abu
Hanifah (karena menolak pemimpin peradilan) dan Imam Malik (karena menyebut
hadis yang tidak disuka). Al-Mashur seperti memperlakukan sastrawan hanya
sebagai pihak yang memberi puja-puji, dan para cendekiawan untuk memberi
legitimasi. Ia menumpahkan darah bersungai-sungai, sekaligus membangun kota.
Fouda juga menyebut anak Harun al-Rasyid yang bernama
al-Mahdi yang jago melakukan penyimpangan seksual. Juga Hasan bin Ali bin Abi
Thalib juga tersohor karena banyak istri. Dia menikahi 70 orang perempuan, ada
yang menyebut 90 orang. Dia juga sering menceraikan istrinya, tapi ini tak
dipedulikan oleh masyarakat karena terobsesi ingin menjadi bagian dari keluarga
Rasulullah. Masa itu juga marak terjadi pergundikan dan nikah kontrak (mut'ah).
Selir misal, juga erat kaitannya dengan perbudakan. Di dalam perbudakan,
majikan menggauli budaknya. Budak sendiri dari perdagangan budak dan hasil
rampasan perang. Bahkan Ali bin Abi Thalib meninggalkan 4 orang istri dan 19
orang selir. Selir ini terus tumbuh ratusan di masa Yazid bin Abdul Malik,
ribuan di masa Abbasiyah. Bahkan gundik pun dibedakan, jika untuk keperluan
birahi dicari di Barbar, untuk keturunan diambil perempuan Persia, untuk teman
hidup dipilih perempuan Romawi. Nikah kontrak yang awalnya dilaksanakan pada
kondisi darurat (perang), lalu hal itu diharamkan hingga hari kiamat.
Di zaman Abu Bakar, ada pula pezina bernama Mughirah yang
terkenal dengan fenomenanya bersama "Ummu Jamil" (perempuan panggilan
masa itu). Kemudian Umar menugaskan Abu Musa al-As'ari untuk menyelidiki
kebenarannya sambil berpesan, "Abu Musa, aku akan mengirim dan
menugaskanmu ke negeri tempat iblis bertelur dan menetas. Karena itu, engkau
harus tegas dan tetap pendirian dengan apa yang engkau dapatkan. Jika tidak,
Allahlah yang akan menegurmu." (p. 2017) Penugasan ini terendus oleh
Mughirah, dia dipecat dari jabatannya; jabatan itu diberikan pada Abu Musa
lewat surat Umar yang berisi empat kalimat. Mughirah bisa lepas karena
kesaksian Ziyad yang sumir. Saat Mughirah berkuasa, Ziyad dianggap pahlawan,
dia diangkat jadi Gubernur Basrah, lalu Kufah, meskipun jejak rekamnya kejam,
otoritet, dan penuh intimidasi.
Tokoh kekhalifahan al-Watsiq (842-847 M) juga memiliki
orientasi seksualitas sesama jenis, dengan kekasihnya Muhaj dari Mesir. Hingga
ada pameo, jika hubungan al-Watsiq dan Muhaj baik, maka stabilitas dan keamanan
negara akan terjarmin; begitu juga sebaliknya. Al-Watsiq bahkan pernah
menggantung kepala al-Khaza'o selama enam tahun, sebelum kepala itu dipancung.
Masalahnya terkait kemakhlukan Al-Quran. Penyimpangan seksual juga dilakukan
al-Walid bin Yazid; penyimpangan ini tidak berani diutarakan, karena yang
tercatat hanya yang baik-baik. Fouda menekankan, "Yang ingin kami lakukan
tak lebih dari upaya mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi di sejarah agar
kita melek sejarah dan tidak terbius oleh romantisme sejarah. Mudah-mudahan
fakta-fakta yang sudah kita paparkan itu ikut membuka mata kita bahwa sistem
khilafah yang diagung-agungkan oleh para pemujanya itu tak lebih dari sistem
monarki absolut yang tidak pantas ditangisi kepergiannya." (p. 232)
Beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Fouda:
Pertama,
"Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata 'Islamiyyah', pada
hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia
tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali namanya." (p. 233) Seruan
untuk menghidupkannya lagi hanya egoisme Arab saja, alih-alih menghidupkan
Islam.
Kedua, "Islam adalah agama-non-negara. Orang-orang yang tidak
sependapat dengan premis ini hendaklah menunjukkan bukti-bukti sebaliknya dari
argumen sejarah. Bagi kita tidak ada argumen yang lebih telak daripada
sejarah." (p. 233) Sebab bagi Fouda, tak ada gagasan yang lebih rancu
daripada kampanye, "Islam adalah agama dan negara, mushaf dan
pedang". Negara selalu menjadi beban Islam, bahkan juga mengebiri, bukan
nilai tambah.
Ketiga, "selalu ada perbedaan yang esensial antara manusia
dengan hewan." (p. 234) kaitannya dengan, manusia selalu bisa belajar dari
pengalaman-pengalamannya yang dihimpun dalam wadah bernama "wawasan".
Khilafah berburuk sangka kepada kita seolah tak bisa belajar dari sejarah,
seolah pengalaman 13 abad tak kunjung memadai; tidak berjalan dengan dua kaki
(manusia) tapi empat kaki (hewan).
Keempat, "ketika kita teliti dalam
membaca sejarah Islam, kita segera akan menyadari kenyataan bahwa kehidupan
masyarakat kita dewasa ini jauh lebih maju daripada sebelumnya dengan ukuran
apa pun, bahkan pun itu dalam standar moralitas." (p. 235)
Kelima,
"sejarah selalu mengulang dirinya; seakan-akan tidak ada hal baru di dalam
sejarah. Sungguh pun demikian, kita terkadang tidak juga kunjung mampu
menangkap pesan-pesan utamanya." (p. 235) Menurut Fouda, kita harus
menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh golongan ekstremis,
apalagi metode yang kita gunakan hanya "fotokopi" sejarah.
Keenam,
"sesungguhnya pertumbuhan Jamaah Islamiyyah dan aliran-aliran politik
keagamaan yang ekstrem telah begitu banyak memengaruhi sektor pendidikan,
pengajaran, dan sarana informasi masyarakat kita." (p. 237) Fouda mengajak
kita melakukan perenungan ulang.
Ketujuh, "Islam sesungguhnya sedang
berada di persimpangan jalan. Satu jalan sedang mengarahkan kita kepada
disharmoni dan konflik berdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan kita.
Dan di atas segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya-upaya
pencerahan." (p. 238) Yang dikhawatirkan, yang berkembang bukan mereka
yang punya kemampuan, tapi para demagog yang menghela roda sejarah, dan kita
membayar ongkos mahalnya.
Kedelapan, "detil-detil peristiwa dan kejadian
yang kita paparkan sesungguhnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting
kita kembangkan adalah sebuah 'metode berpikir' yang memungkinkan akal pikiran
bekerja, menganalisis, lalu mengambil keputusan. Yang tidak kalah penting
adalah mengembangkan keberanian untuk mengungkap fakta-fakta sejarah secara
proporsional." (p. 239) Fouda tak sedang terobsesi menjadi pelopor, tapi
tulisan ini dibuat atas dasar cintanya pada agama.
Bab V: Penutup: Lalu Apa?
Fouda berkata, pembaca tak perlu terguncang karena membaca
buku ini, bahkan dia bilang, terguncang demi mencapai kebenaran adalah hal
mulia. Terguncang pada fakta lebih baik, daripada bangga pada kepalsuan. Sebab,
sudah naluri jiwa ingin mengonsumsi apa yang disukai. Dia menekankan,
"Islam-negara atau Islam yang bernegara selalu merupakan reduksi terhadap
Islam-agama, bahkan menjadi beban baginya. Islam, sebagaimana yang dikehendaki
Allah, adalah agama dan akidah, bukan hukum-hukum dan pedang." (p. 240)
Bahkan kebobrokan-kebobrokan yang Fouda ungkap dikatakannya mencoba
menghindarkan diri pada detail persoalan untuk menghindari ungkapan tercela.
Standar yang dipakai Fouda adalah aspek kekuasaan dan politik. "Yang
sesungguhnya saya inginkan bukanlah menindak langsung ekstremisme dalam
pemikiran. Tetapi, yang saya inginkan adalah menghadapi kekerasan dengan
ciuman, pedang dengan pelukan, bom dengan ungkapan-ungkapan yang
menyejukkan." (p. 272) "Kita percaya bahwa Islam yang benar bersifat
progresif dan akan selalu menjamin kepentingan umum. Islam mengejar kereta
peradaban dan memperbanyak pengetahuan." (p. 275) Ruang privat lebih luas
daripada ruang publik. Islam juga memperhatikan tujuan daripada cara.
"Islam tidak punya baju-baju. Ia juga tidak punya gelar-gelar... Setiap
kita umat Islam dan setiap kita adalah para penjaga Islam." (p. 250) Beberapa kesimpulan yang Fouda tarik:
- "Setiap orang yang membuat klaim harus membuktikan
kebenaran klaimnya."
- "Kita menyambut logika salah-benar dalam perdebatan
politik dengan tangan terbuka."
- "Sesungguhnya fakta-fakta sejarah yang sudah
dipaparkan dalam buku ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan keniscayaan
pemisahan dan bahayanya pertautan antara agama dan politik." (Serta
janggalnya seruan mengembalikan pada sistem khilafah).
- "Jika kita tinggalkan fakta-fakta sejarah dan
langsung menukik ke aspek praktik negara yang mengusung slogan Islam dan
mengklaim berhukum dengannya, kita justru mendapatkan bukti lain lagi tentang
pentingnya pemisahan antara agama dan negara sekaligus menjadi argumen
bahayanya menautkan antara keduanya."
- "Pemisahan itu justru jalan satu-satunya untuk
menjaga keutuhan nasional, dan pertautan justru menjadi jalan tercepat untuk
meruntuhkan sendi-sendiri persatuan."
Di akhir buku, Fouda menceritakan tentang pemakaman jenazah
Yusuf Wahbah yang dibunuh Aryan Sa'ad (penganut Kristen Koptik Mesir).
Peristiwa ini menjadi anomali, dan Fouda bersumpah untuk Aryan, "Azan dan
lonceng akan selalu berpelukan di tanah air ini. Semuanya menjadi hamba Allah
yang setara." (p. 256)
Epilog Nurcholish Madjid, "Sejarah Tidak Sakral“; dan
Goenawan Mohamad, “Fouda”
Cak Nur merasa mengalami kesulitan ketika dia berdiskusi
kritis terhadap Islam. Sebab, dari empat pengganti Rasulullah, hanya Abu Bakar
yang meninggal alami. Sementara Al-Quran tidak melihat persoalan seperti ini.
"Human history is nothing sacred about it." (Sejarah tidak sakral).
Peristiwa saling membunuh tidak mengganggu kesucian Islam, dan misi politik ini
memang bagian dari manusia.
Sementara, Goenawan Mohamad berkomentar terkait kematian
Fouda yang meninggal mengenaskan di Madinat al-Nasr, Kairo. Anaknya terluka
parah. Pembunuhnya Jama'ah Islamiyah, karena Fouda dianggap menghujat agama,
karenanya boleh dibunuh. GM menganggap buku ini bisa mengguncang sendi-sendi
pemikiran kaum Islam. Dinamika Islam yang bertaut dengan kekuasaan harus
dibongkar, sedikit jalan jelas apalagi suci di sini. Kekuasaan dan kebutaan
yang jadi satu menghasilkan kebengisan. Apa yang dilakukan Fouda adalah mengganggu
kemutlakan khilafah.
Judul: Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan
Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim | Penerjemah: Novriantoni | Penyunting:
Kholid Dawam dan Saiful Bahri | Terbit: 2021 (Jakarta) | Penerbit: Democracy
Project, Yayasan Abad Demokrasi | Copyright:
Al-Haqiqah al-Ghaibah, Farag Fouda | Link download PDF: Buku Farag Fouda Edisi Indonesia