Minggu, 31 Oktober 2021

Jumat, 29 Oktober 2021

Pos Kesedihan dan (Tanpa) Luka

"Kamu banyak takutnya," katamu. Entah berapa kali kata-kata ini selalu ditujukan padaku dari orang-orang dekat yang berhasil menjalin komunikasi denganku sedikit lebih dalam. 

Dan kemarin langit Jakarta masih kelabu, gerimis mengguyur, dan kita bertemu di sebuah kedai kopi yang hampir tutup. Kau memesan kopi susu dan aku memesan jus apel. Waktu itu kau mengenakan jaket hitam, aku pakaian biru bunga-bunga, dan kita duduk saling berhadapan. Ini adalah pertemuan berhasil kita, setelah dua hari yang lalu terhalang bertemu karena hujan, dan tiba-tiba kantor meneleponku untuk bekerja saat malam.

Obrolan kita pertama kali adalah soal kerja, kerja, kerja. Lalu hal-hal terkait dunia lain yang tak kuketahui dari kerja-kerja freelancer dengan segenap pengorbanan immaterialnya. Dengan segenap kertas-kertas yang bisa dimanipulasi. Dan kedai pun tutup, kita berpindah tempat. Aku memintamu untuk mencari tempat yang ramai dan jangan yang sepi. Aku memboncengmu tanpa helm, dan angin Jakarta yang malam derap berselir, memenuhi rongga-rongga sepiku. Akhirnya kau mengajakku duduk di area seputar Gajah Mada Mall di pinggir jalan.

Kau menyapa Bapak penjual minuman yang berkeliling naik sepeda; yang katamu Bapak itu adalah teman nongkrongmu. Malam itu kau memesan minuman yang jarang dipesan, Es Adem Sari. Baiklah, aku pun memesan yang sama, karena aku tak tahu juga apa yang kumau, bahkan sampai di pilihan minuman pun. Di titik-titik tertentu, aku memang suka ikut-ikutan. Semakin malam, geng-geng motor dengan knalpot yang memekakan telinga berseliweran di depan kita. Seolah para pengendaranya memiliki problem kepribadian urban dan kehilafan metropolitan. 

"Mereka ini siapa?" tanyaku.

"Sampah," jawabmu. Aku diam.

"Mereka orang-orang yang pengen gaya karena gak mampu beli motor gede," lanjutmu.

Dan di malam itu juga aku jadi tahu nama-nama lain yang kaummu berikan pada isilop-isilop jalan, beberapa hewan penunggu hutan dan hewan penghamba tuan di rumahan. "Anak yatim pakai seragam kalau bahasa yang lebih halus," tambahmu. Kosakata leta-ku jadi bertambah.

Kita pun duduk di dekat pagar, dekat jalan raya, obrolan terkait hidupmu begitu mengalir. Kau bercerita jika kehidupan semasa kuliah adalah kehidupan yang paling membahagiakan, aku pun merasakan hal itu. Saat kuliah, jarang ada orang yang tidak mengenalmu. Ketika kamu datang ke kantin, dari anak-anak yang ada di pintu masuk kantin hingga ujung semua menyapamu, "Hai Brooo....." Saking kamu populernya.

Kau juga bercerita tentang kebadungan-kebadunganmu. Kala mahasiswa masuk pagi ke kelas, kau baru bangun dan mandi. Tak kalah membuatku tertawa terpingkal, suatu hari kau masuk ke sebuah ruang ujian mata kuliah katakanlah pengkodingan. Kau tak bisa mengerjakannya sama sekali dan hanya menulis nama dan makulnya saja. Beberapa menit kemudian, kau maju menyerahkan lembar jawaban pada pengawas. Pengawas pun geleng-geleng kepala karena kertas jawabanmu kosong. Kau pun berkata:

"Bu, namanya ujian kalau gak bisa ya gak usah dijawab," katamu, dan kau keluar ruang ujian dengan santai, di saat teman-temanmu di belakang teriak sambil ngedumel, "Gila lu." Entah kenapa aku sangat berkesan dengan kisah ini. Aku pernah mengalami hal serupa, saat di ujian Mekanika aku tak bisa mengisinya sama sekali. Tapi aku tak seberani dirimu, mentalku tak sekuat kamu, setidaknya masih bisa kutulis ulang soalnya sambil menunggu jam ujian berakhir. Setelah kunilai-nilai, itu moment-moment dalam hidupku yang juga sangat menyengsarakan. Juga bodoh menyiksa diri seperti itu. Mendengar ceritamu, aku terpingkal-pingkal, sudah lama aku tak tertawa selepas itu.

Kau pun bercerita dengan bangga pula kalau skripsimu berhasil kau selesaikan selama tiga hari non-stop. Sidang dengan cepat, memilih hari baik, memilih penguji yang bisa diajak tertawa-tawa bukan malah menggelontorimu dengan pertanyaan-pertanyaan killer; hingga yang paling gila kau memalsu tanda tangan dekan saking sok sibuknya dekan itu rapat sampai tiga bulan skripsimu tak ditandatangani.

Atau kisahmu yang udah expert jadi korlap dan kordum aksi, tahu gelagat-gelagat anak-anak Cipayung. Hingga jadi bos ngumpulin massa mahasiswa bayaran untuk protes. Naik bus dari kampus pagi dan pulang sore.

Kau juga bisa bercerita terkait perbedaan antara orang introvert dan ekstrovert, dan kau paham bagaimana menaklukan orang:

"Kalau kamu sudah mendapatkan empatinya orang, apa pun akan orang berikan padamu," teorimu yang kau dapat dari sekian pengalaman.

Kau juga bercerita tentang mantan-mantanmu yang belasan, tiap bulan kamu bisa berganti; bagaimana muslihat cinta dan kejahatan adalah saudara kembar yang berkali-kali menghempasmu: diperkosa, diselingkuhi, dikhinati, dituduh, perceraian, dlsb. Dosa laki-laki dan dosa perempuan sama saja. Kupikir kau telah melampaui pos-pos terburuk dalam hidup ini. Menyendiri sendiri dengan menghabiskan beberapa slop rokok dan kopi dalam semalam. Kau hanya mau sendiri. Melupakan makan, dua sampai tiga hari sekali sampai kamu gemeteran baru makan. Kau juga bercerita tentang anak laki-lakimu yang balita, juga dua anak tirimu yang salah satunya telah meninggal. 

Aku juga telah melampaui pos-pos kesedihan, tapi dengan jalur dan rute yang lain. Di satu titik tertentu saat kamu bercerita, aku merasa seolah berada di persimpangan yang sama: mati rasa. Namun kau bisa membacaku dengan nafas dan analisis yang lebih panjang. Kalau kau membaca ini, aku izin padamu untuk menuliskannya ya:

 "Asal kamu tau, aku liat kamu justru sedih, karena sadar bahwa kamu ga bisa nikmatin hidup. Tertawa kamu hanya sebatas tawa tanpa mengerti bagaimana rasanya.. aku tahu kamu lelah hati, bersandar yaa..."

Maaf, aku tak kuasa... 

Kau juga bilang: "Aku mengerti, tapi kamu ga mau. Terbuka lah.. Aku yakin kamu mampu kok...... Aku ngerti kamu....... aku ngerti lelahmu, seperti ingin marah namun tak tahu sebabnya apa. Ingin benci pun tak tahu kepada siapa, ga mau ditanya "kamu kenapa?!" Terkadang kita hanya ingin dipeluk tanpa bicara banyak dan sekadar dibisik bahwa semua akan baik-baik saja........ Aku pernah diposisi kamu. Sering."

..........

Minggu, 17 Oktober 2021

Marantika

Hari ini suhu ruangan sekitar 34 derajat celcius, kipas anginmu rusak semingguan lebih, tak ada udara langsung masuk, dan kulit tangan, wajah, tubuhmu mengeluarkan keringat yang menetes lewat peilpis. Juga dari pori-pori lengan tangan sebesar biji wijen. Bedebah sekali suhu kota ini.

Kamu paham hari-harimu sedang tak baik-baik saja. Ditambah hari ini kau melakukan kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan yang fatal, yang karena itu kerjaanmu jadi diragukan. Bukankah setiap hari setiap orang menghadapi masalah bukan? Tapi kamu tetap merasa baik-baik saja, oh, syukurlah. 

Dan buku-buku kemarin yang kau beli serasa tak berguna. Pun dengan segenap wejangan yang punya umurnya masing-masing, mereka tak selamanya akan terus relevan dan bermakna. Hanya kamu membisiki dirimu sendiri: "Hati-hati. Hati-hati." Untuk apa pun. Sebab jika kamu tengah ada dalam kondisimu yang seperti ini, kamu selalu merasa sendiri, sepi, tak berarti. 

Ayo makan, kamu belum makan, dan beli buku Big Boss, buku favoritmu. Ah, kau kesulitan mencarinya di kota ini. Jangan lupa menyanyi sebagaimana obat dari Pak HM Marantika. Menyanyi adalah jalan menghilangkan stress, katanya. Dan jangan cemberut, cemberut itu menular. Sehancur apa pun harimu, tak apa-apa, tak apa-apa, itu bukti kalau kamu manusia yang masih belajar dan tumbuh dari kesalahan-kesalahan. 

Nyanyikan ulang saja lagu Louise Armstrong, What A Wonderful World... Bukankah dalam suara hayatan Armstrong, wajahnya juga menyimpan banyak misteri sama sepertimu? Entah itu luka darimana, hanya kedalaman yang mampu menjawabnya. Oh, kau banyak mengenal orang-orang baik, yang tetap menjaga jiwamu tetap bebas. Syukurlah.

Selasa, 12 Oktober 2021

12 Oktober 2021

Hari ini aku mendapatkan kalimat yang sangat ngena dari Eka Kurniawan di Jawa Pos edisi Sabtu. Katanya: "Tapi pernahkah kita bertanya, dengan bekerja misalnya, kita juga sedang memperjuangkan kehidupan orang lain." And that's so true, I can compare my condition at that context.

Senin, 04 Oktober 2021

4 Oktober 2021

Pola hubungan yang membuatku banyak bertanya akan kutinggalkan, itu bukan relationship, tapi prank dan ujian. (Sikap iki.) #hubungansehat #hubungansetara