Sore yang lusuh di hari yang rusuh
Berpiknik ke tempat tak terduga di balik layar
Paham yang butuh dijemput
Melebih-lebihkan kata sederhana
Hidup hanya tertawaan yang sebentar
Pada duka-duka yang telah bubar
Juga cinta yang merupa pahlawan yang berputar-putar
Menjadi di musim berahi
Berlari-lari pada seluruh mata yang lengang--membereskan gelisah
Tak perlu menunggu jompo dan loyo untuk bisa berpikir dan merasakan dalam
Melepas fantasi-fantasi yang terpenjara
Bagai otak boneka yang terlunta-lunta
Sukses telah kulipat dan kuselipkan di kaos kaki
Diiringi konvoi kebahagiaan
Dilewati kata suka
Lorong-lorong gelap di seantero tulisan
Fakta-fakta kocar-kacir kelabakan
Kata-kata membawa korban
Esok aku akan tenang di pikiranmu
Latihan makan dan berjalan
Rabu, 28 November 2018
Kamis, 22 November 2018
Seperti yang Pertanyaan Ingini
Mengapa? Itu pertanyaan pertama yang kau ajukan ketika semua tak berjalan sebagaimana mestinya. Kau orang yang lebih menikmati pertanyaan kan daripada jawaban? Dalam pertanyaan mengandung jarak peradaban, berantah retorika, belantara logika, dan khilaf diri ... Pertanyaan akan membuat fokus. Tapi apa iya? Mengapa ada kejatuhan yang sama? Terhempas, di mana harus aku sembunyi? Seandainya pertanyaan ini tak pernah terjadi? Kenapa tak pernah membawa peta cerita? Kau tak tahu kemana harus kau tuju? Apa ada air mata dan hati terluka? Tubuh, jiwa, untuk siapa? Aku bahagia untuk siapa? Selama jantungku masih berdetak selama pula aku hidup? Apa aku bermakna? Apa kudengar bisikmu? Sedarah apa aku mengalir? Adakah akhir? Siapa yang menyambut? Kenapa menangis? Apa aku dimiliki? Menemukan apa?
Adakah pertanyaan yang tak didahului kata tanya dan tanya tanya?
Sudikah kiranya. Memastikan waktu berhenti di sini. Jam yang tak pernah menanti. Seutas keinginan yang tetap bertahan. Sendiri menghitung kini.
Adakah pertanyaan yang tak didahului kata tanya dan tanya tanya?
Sudikah kiranya. Memastikan waktu berhenti di sini. Jam yang tak pernah menanti. Seutas keinginan yang tetap bertahan. Sendiri menghitung kini.
Rabu, 21 November 2018
Pasar Malam
Sebuah malam yang sunyi pada sebuah desa kecil di Amartya. Bintang-bintang ditemani bulan berbentuk C memberi terang sebuah lapangan luas rerumputan. Jika siang hari, lapangan ini berwarna hijau, ketika malam berubah kelabu. Kiri dan kanan lapangan ini ditumbuhi pohon-pohon mangga yang teduh, yang di kaki-kakinya tumbuh bunga-bunga pukul 9 berwarna ungu, putih, kuning, dan merah muda. Jika nakalku kumat, aku akan dengan senang hati memoteknya beberapa dan diam-diam akan kutaruh di jendela kamarmu setiap tanggal 14 saat siang.
Sambil menunggumu, aku duduk di rerumputan. Lalu terbangun dengan suara lonceng sepeda onthel milik ayahmu yang telah kau hiasi dengan keranjang berisi roti-roti kesukaanku. Malam ini kita akan berangkat ke pasar malam.
Sepeda itu kau parkirkan sebentar. Kau menemaniku duduk. Kita saling berhadapan memandang sambil mendengar orkestra jangkrik dan gemerlap kunang-kunang. Kau tersenyum, aku tersenyum. Kau meraih tangan kananku dan mengajakku berdiri. Kita bersama naik sepeda. Kamu di depan dan aku menggonceng di belakang. Tanganku kulingkarkan di perutmu yang kurus, dan kepalaku kusandarkan di punggungmu yang lurus. Lalu kudengar kau sedikit tertawa dan berkikik.
Lebih erat, katamu. Aku hanya menurut.
Di sepanjang jalan kita asyik bercakap persoalan-persoalan yang tidak penting. Seperti merk buku tulis ketika kita masih SD, anak kucing tetangga yang baru saja melahirkan, potongan rambut kakek yang asimetris, panenan padi, hingga beranjak ke hal-hal yang sedikit penting. Kita mengulangi tentang mimpi masing-masing. Keinginanku pergi ke New York memakai mantel biru laut, keinginanmu memainkan gitar di tepi danau kecil saat musim semi Freiburg.
Mimpi-mimpi kita terlalu kolonial, ujarmu.
Bukankah imaji itu menarik?
Ya, untuk sementara.
Dalam hati, ketika denganmu aku tak butuh mimpi-mimpi lagi. Tapi itu tak mungkin kuucap karena kutakut kata-kata itu akan kehilangan maknanya.
Kayuhanmu mulai melambat, roda kurasakan terseret dengan kasar. Dan ban sepeda bocor.
Tenang, ini bukan produk kesialan, ucapmu sambil mengelus-elus setang sepeda; dan tanganmu mengelus-elus rambutku yang berantakan diterpa angin sejak dari tadi.
Tak ada jalan lain, kita akan berjalan hingga pasar malam.
Siap.
Dan tangan kirimu dan tangan kananku saling menggenggam. Tangan kita berayun-ayun di udara. Kita bercerita tentang hal-hal tak penting lagi. Kita juga memplesetkan pepatah-pepatah dan mitos-mitos. Semisal bagaimana jika kisah Bawang Merah dan Bawang Putih itu diganti menjadi Bawang Bombay dan Selada. Kita mereka-reka kisah yang mungkin muncul, dan di akhir dongeng kita selalu tertawa bersama saking lucunya akhir cerita yang kita buat.
Akhirnya kita sampai di pasar malam. Sepeda kau letakkan di sudut bawah tiang reklame. Kita menuju pusat keramaian dan menyaksikan hiburan-hiburan lokal.
Kau mau main apa?
Kora-kora.
Kau tak takut perutmu sakit?
Asal kau menjagaku.
Lalu kau tersenyum manja. Kau tarik tanganku naik di tempat duduk paling belakang, posisi gravitasi paling menantang. Hanya kita berdua di sana. Lalu mesin mengayun. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Aku yang tak pandai berteriak lalu berteriak dengan sangat keras. Tapi kau tak bersuara, kau terlihat sangat ketakutan. Tanganmu kupegang dan sangat dingin. Lalu aku tak bisa mengkondisikan diriku, aku refleks memelukmu erat, sangat erat dan tidak berteriak. Aku melihatmu memejamkan mata dan kulakukan hal serupa. Tiba-tiba rasanya diriku masuk ke dalam sebuah putaran cahaya. Gravitasi semakin besar mengguncang perutku, mengguncangmu. Aku harus kembali ke kenyataan. Kuharap kau belum mati karena permainan ini.
Aku masih memelukmu, tapi kau begitu berubah. Kau tertawa terkekeh saat kubuka mata. Aku menangis tiba-tiba: dasar! Kamu jahat buat aku khawatir!
Kamu lalu berteriak. Kita sama-sama berteriak. Hingga bandul itu berhenti. Kita turun dan memuntahkan isi perut. Lemas. Kita saling menertawakan diri sendiri.
Kau tak kapok?
Tidak.
Mau main lagi?
Permainan yang lain.
Komidi putar?
Boleh.
Tunggu di sini ya, aku ambil roti di keranjang sepeda dulu. Biar kita kuat lagi.
Ya.
Dua menit kemudian kau datang membawa keranjang roti itu. Kau mengajakku duduk di tepi keramaian dan kita makan bersama. Saling menyuapi.
Aku menatap matamu. Aku ingin membaca matamu lebih dalam. Aku ingin bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Juga ingin kukatakan, betapa bahagianya kekonyolan malam ini bersamamu. Aku pasar dan engkau malam. Kita malam ini menjadi pasar malam.
Komidi putar masih bergerak. Tubuhmu menanti. Wajahmu mendekat ke wajahku: nanti di atas kita ciuman ya, bisikmu nakal. Aku pura-pura tak mendengar, karena detik itu kembang api dalam jiwaku tengah kau nyalakan. Kita pun naik, dalam kurungan yang tertutup. Penjara yang rasanya ingin aku diami seumur hidup.
Di dalam kurungan itu, tanganmu mendekap pundakku. Kusenderkan kepalaku di pundakmu dan semua beban hidup rasanya pergi. Ketika kurungan menuju puncak tertinggi, tanganku semakin gemetaran. Tubuhmu kau rekahkan, dan kedua tanganmu membentuk cincin di leherku. Kita begitu dekat, dan matamu mendekat, bibirmu mendekat. Kita bertemu di bibir yang satu, di puncak yang satu. Kembang api dalam tubuhku telah meledak.
Yogyakarta, 21 November 2018
Sambil menunggumu, aku duduk di rerumputan. Lalu terbangun dengan suara lonceng sepeda onthel milik ayahmu yang telah kau hiasi dengan keranjang berisi roti-roti kesukaanku. Malam ini kita akan berangkat ke pasar malam.
Sepeda itu kau parkirkan sebentar. Kau menemaniku duduk. Kita saling berhadapan memandang sambil mendengar orkestra jangkrik dan gemerlap kunang-kunang. Kau tersenyum, aku tersenyum. Kau meraih tangan kananku dan mengajakku berdiri. Kita bersama naik sepeda. Kamu di depan dan aku menggonceng di belakang. Tanganku kulingkarkan di perutmu yang kurus, dan kepalaku kusandarkan di punggungmu yang lurus. Lalu kudengar kau sedikit tertawa dan berkikik.
Lebih erat, katamu. Aku hanya menurut.
Di sepanjang jalan kita asyik bercakap persoalan-persoalan yang tidak penting. Seperti merk buku tulis ketika kita masih SD, anak kucing tetangga yang baru saja melahirkan, potongan rambut kakek yang asimetris, panenan padi, hingga beranjak ke hal-hal yang sedikit penting. Kita mengulangi tentang mimpi masing-masing. Keinginanku pergi ke New York memakai mantel biru laut, keinginanmu memainkan gitar di tepi danau kecil saat musim semi Freiburg.
Mimpi-mimpi kita terlalu kolonial, ujarmu.
Bukankah imaji itu menarik?
Ya, untuk sementara.
Dalam hati, ketika denganmu aku tak butuh mimpi-mimpi lagi. Tapi itu tak mungkin kuucap karena kutakut kata-kata itu akan kehilangan maknanya.
Kayuhanmu mulai melambat, roda kurasakan terseret dengan kasar. Dan ban sepeda bocor.
Tenang, ini bukan produk kesialan, ucapmu sambil mengelus-elus setang sepeda; dan tanganmu mengelus-elus rambutku yang berantakan diterpa angin sejak dari tadi.
Tak ada jalan lain, kita akan berjalan hingga pasar malam.
Siap.
Dan tangan kirimu dan tangan kananku saling menggenggam. Tangan kita berayun-ayun di udara. Kita bercerita tentang hal-hal tak penting lagi. Kita juga memplesetkan pepatah-pepatah dan mitos-mitos. Semisal bagaimana jika kisah Bawang Merah dan Bawang Putih itu diganti menjadi Bawang Bombay dan Selada. Kita mereka-reka kisah yang mungkin muncul, dan di akhir dongeng kita selalu tertawa bersama saking lucunya akhir cerita yang kita buat.
Akhirnya kita sampai di pasar malam. Sepeda kau letakkan di sudut bawah tiang reklame. Kita menuju pusat keramaian dan menyaksikan hiburan-hiburan lokal.
Kau mau main apa?
Kora-kora.
Kau tak takut perutmu sakit?
Asal kau menjagaku.
Lalu kau tersenyum manja. Kau tarik tanganku naik di tempat duduk paling belakang, posisi gravitasi paling menantang. Hanya kita berdua di sana. Lalu mesin mengayun. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Aku yang tak pandai berteriak lalu berteriak dengan sangat keras. Tapi kau tak bersuara, kau terlihat sangat ketakutan. Tanganmu kupegang dan sangat dingin. Lalu aku tak bisa mengkondisikan diriku, aku refleks memelukmu erat, sangat erat dan tidak berteriak. Aku melihatmu memejamkan mata dan kulakukan hal serupa. Tiba-tiba rasanya diriku masuk ke dalam sebuah putaran cahaya. Gravitasi semakin besar mengguncang perutku, mengguncangmu. Aku harus kembali ke kenyataan. Kuharap kau belum mati karena permainan ini.
Aku masih memelukmu, tapi kau begitu berubah. Kau tertawa terkekeh saat kubuka mata. Aku menangis tiba-tiba: dasar! Kamu jahat buat aku khawatir!
Kamu lalu berteriak. Kita sama-sama berteriak. Hingga bandul itu berhenti. Kita turun dan memuntahkan isi perut. Lemas. Kita saling menertawakan diri sendiri.
Kau tak kapok?
Tidak.
Mau main lagi?
Permainan yang lain.
Komidi putar?
Boleh.
Tunggu di sini ya, aku ambil roti di keranjang sepeda dulu. Biar kita kuat lagi.
Ya.
Dua menit kemudian kau datang membawa keranjang roti itu. Kau mengajakku duduk di tepi keramaian dan kita makan bersama. Saling menyuapi.
Aku menatap matamu. Aku ingin membaca matamu lebih dalam. Aku ingin bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Juga ingin kukatakan, betapa bahagianya kekonyolan malam ini bersamamu. Aku pasar dan engkau malam. Kita malam ini menjadi pasar malam.
Komidi putar masih bergerak. Tubuhmu menanti. Wajahmu mendekat ke wajahku: nanti di atas kita ciuman ya, bisikmu nakal. Aku pura-pura tak mendengar, karena detik itu kembang api dalam jiwaku tengah kau nyalakan. Kita pun naik, dalam kurungan yang tertutup. Penjara yang rasanya ingin aku diami seumur hidup.
Di dalam kurungan itu, tanganmu mendekap pundakku. Kusenderkan kepalaku di pundakmu dan semua beban hidup rasanya pergi. Ketika kurungan menuju puncak tertinggi, tanganku semakin gemetaran. Tubuhmu kau rekahkan, dan kedua tanganmu membentuk cincin di leherku. Kita begitu dekat, dan matamu mendekat, bibirmu mendekat. Kita bertemu di bibir yang satu, di puncak yang satu. Kembang api dalam tubuhku telah meledak.
Yogyakarta, 21 November 2018
Senin, 19 November 2018
Puas dengan yang Sedikit
Kita ini makhluk mikro, sekeras apa pun menjadi makro. Dan bahkan
aku percaya, yang makro tak ada. Makro hanya mikro yang dipseudokan.
Mikro yang tumbuh di Dunia Berisik. Setiap detik status bermunculan di banyak lini massa. Tidak semua kebahagiaan, kesukaan, ketertarikan, dan kecintaan dibagikan dengan sangat boros pada orang lain, pada publik. Pun kesedihan, sakit, luka, dan kecewa. Yang tak pernah bertemu di titik hubung tak akan pernah bisa disentuh. Cobalah menikmati semua untuk dirimu sendiri dulu. Tak perlu berbagi jika orang lain tak butuh. Taraf butuh dan tidaknya ada di kamu.
Selalu ingat, mereka yang menceritakan masalah personalnya padamu belum tentu mereka percaya padamu, nyaman padamu, atau dekat padamu. Mereka hanya bingung kemana mengadu. Untuk mencapai level "percaya, nyaman, dan dekat" tak semua orang bisa memberi. Hanya orang yang telah mendalami dirimu dengan sedemikian rupa saja yang paham. Dan orang itu mungkin hanya satu atau memang tidak ada. Tak apa.
Aku puas dengan apa yang diberi padaku, meski itu sedikit, meski itu tidak ada.
Di tengah giringan kesana kesini, harus tetap punya jalan sendiri. Tak perlu silau dengan jalan orang lain. Sungguh merisaukan itu sama remeh temehnya dengan mengurusi patah hati. Jalan itu sederhana saja. Semisal bagiku, duduk di tepi pantai melihat laut dan merasakan angin, sambil mendengar Akeboshi, Beach House, dan Pink Floyd dengan damai. Tenang, tak ada yang mendiktemu, dan kamu tak perlu berbagi apa-apa lagi. Sebab semua telah cukup, telah terpenuhi.
It's something like a beautiful day.