masih juga di tempat ini
tempat yang mampu membuatku merasa dengan ikhlas
menjadi debu-debu beterbangan.
pada saatnya nanti kamu akan mengerti sendiri
ada hal sendu yang coba diucapkan bunga pada lebah yang menganggapnya biasa saja
juga tentang huruf yang tersesat pada rangkaian takdirnya sendiri
ke dalam kertas-kertas yang kadang dibaca dan dilupakan
berdua, kita memang pernah saling membaca
tak perlu saling bicara
aku disentil seseorang: kamu tak memberiku harapan
baiklah, aku paham, aku akan mengubur pelan
ini biasa saja
aku tak menyesal
aku tak perlu bersembunyi
biarkan kita saling beterbangan
dekomposisi
lagi, lagi, lagi
Minggu, 31 Mei 2015
Senin, 25 Mei 2015
Tuhan juga Penulis
Tuhan mengawali semua ceritanya dengan permulaan yang sama, yakni kelahiran. Dan mengakhiri semua ceritanya dengan akhiran yang sama, kematian. Hidup adalah apa yang terjadi di antara dua hal ini: kelahiran dan kematian. Tuhan tidak pernah membosankan.
Jogja, 24 Mei 2015
Jogja, 24 Mei 2015
Film Gula-gula Usia: Romantika Cinta yang Seksi
Tadi malam (24/5) sama Anis dan Madam nonton bareng tiga film persembahan Jamaah Cinema Mahasiswa (JCM) UIN Suka di gelanggang. Film terakhir bagiku paling menarik. Judulnya: Gula-gula Usia.
Film ini berkisah tentang seorang wanita yang usianya udah nenek-nenek. Dia hidup sendirian. Aktivitasnya menjahit. Seiring tuanya usia, barang-barang di rumahnya pun telah tua. Banyak barangnya yang rusak dan minta untuk direparasi. Dimulai dari jam tuanya yang mati, lalu wanita tua ini pergi naik becak ke tukang reparasi. Nah, tukang reparasinya ini juga kakek-kakek, dia sudah tua, nada bicaranya mbah nang banget, haha.
Setelah wanita pulang, ada lagi yang rusak setrikanya nggak panas. Dibawa lagi ke tempat reparasi kakek itu. Obrolan-obrolan terjadi. Sampai-sampai si kakek ini mengantarkan barang reparasi nenek ke rumah nenek langsung pakai onthel.
Si nenek kan suka mendengarkan radio, radionya sudah tua dan rusak lagi, dibawa lagi ke tempat reparasi kakek. Setelah usai diperbaiki, diantar langsung ke rumah nenek. Nenek menyambutnya di ruang tamu, trus tiba-tiba hujan turun dan lampunya mati. Mereka saling berdua di rumah, haha... lucu banget, serasa muda lagi, penonton pada berisik ciye-ciyein.
Nah, suatu hari si nenek gelisah. Dia rindu kakek tukang reparasi. Nenek keliling rumah, siapa ahu ada perabotan yang rusak. Dia meriksa alat elektroniknya dari kipas angin dan lampu yang masih sehat semua. Nenek kecewa, haha, cinta kadang aneh ya. Puncaknya si nenek ini ngrusak kipas anginnya sendiri coba, nenek mbanting kipas angin ke lantai sambil ketawa. Penonton di gelanggang pada ikut ketawa. Yah, seperti hutang kan, rindu harus dibayar dengan tuntas. Haha...
Trus si nenek bawa itu kipas angin ke tempat reparasi kakek naik becak. Namun, pas sampai sana tempat reparasi kakek tutup. Nenek duduk sendirian di depan toko kakek. Tamat. Ending terbuka. Uh, kasian.
Film ini menggelikan sekali. Idenya sederhana, konyol, tapi menarik dan baru. Aku setuju dengan pendapatnya si Surya (anak Teater Eska) dia bilang: "Ia memandang terbalik. Cinta yang kadang cuma monopoli anak-anak dan remaja, sekarang dibalik. Itu sangat seksi. Mahasiswa berkaryanya lebih seperti itu."
Bagiku sendiri melihat film itu sebagai subaltern yang coba diangkat oleh sutradanya Ninndi Raras. Nggak mainstream, dan menggelikan tadi. Ninndi nglepas hegemoni cinta ala remaja picisan. Pemuda memang berkaryanya harus seperti ini. Kritiknnya mungkin pas awal-awal temponya lambat (mungkin karena subjeknya manula kali ya) dan di awal juga kerasa membosankan, karena spot yang di-shoot itu-itu aja. Ending-nya juga menurutku kurang menohok, datar, nggak surprise, kayak orang di-PHP-in.
Last, manusia itu ibaratnya juga bagai perabot-perabot usia yang lambat laun ia akan ada pada titik menjadi "tua". Manusia kadang butuh direparasi untuk membuatnya sehat kembali. Mungkin begitu. Tentang cinta, tema yang digali tak ada habisnya. Mungkin ember jika diakatakan jatuh cinta tidak mengenal usia, bagiku cinta adalah bahasa kesunyian antara kakek dan nenek.
Doc: Festival Film Solo |
Setelah wanita pulang, ada lagi yang rusak setrikanya nggak panas. Dibawa lagi ke tempat reparasi kakek itu. Obrolan-obrolan terjadi. Sampai-sampai si kakek ini mengantarkan barang reparasi nenek ke rumah nenek langsung pakai onthel.
Si nenek kan suka mendengarkan radio, radionya sudah tua dan rusak lagi, dibawa lagi ke tempat reparasi kakek. Setelah usai diperbaiki, diantar langsung ke rumah nenek. Nenek menyambutnya di ruang tamu, trus tiba-tiba hujan turun dan lampunya mati. Mereka saling berdua di rumah, haha... lucu banget, serasa muda lagi, penonton pada berisik ciye-ciyein.
Nah, suatu hari si nenek gelisah. Dia rindu kakek tukang reparasi. Nenek keliling rumah, siapa ahu ada perabotan yang rusak. Dia meriksa alat elektroniknya dari kipas angin dan lampu yang masih sehat semua. Nenek kecewa, haha, cinta kadang aneh ya. Puncaknya si nenek ini ngrusak kipas anginnya sendiri coba, nenek mbanting kipas angin ke lantai sambil ketawa. Penonton di gelanggang pada ikut ketawa. Yah, seperti hutang kan, rindu harus dibayar dengan tuntas. Haha...
Trus si nenek bawa itu kipas angin ke tempat reparasi kakek naik becak. Namun, pas sampai sana tempat reparasi kakek tutup. Nenek duduk sendirian di depan toko kakek. Tamat. Ending terbuka. Uh, kasian.
Film ini menggelikan sekali. Idenya sederhana, konyol, tapi menarik dan baru. Aku setuju dengan pendapatnya si Surya (anak Teater Eska) dia bilang: "Ia memandang terbalik. Cinta yang kadang cuma monopoli anak-anak dan remaja, sekarang dibalik. Itu sangat seksi. Mahasiswa berkaryanya lebih seperti itu."
Bagiku sendiri melihat film itu sebagai subaltern yang coba diangkat oleh sutradanya Ninndi Raras. Nggak mainstream, dan menggelikan tadi. Ninndi nglepas hegemoni cinta ala remaja picisan. Pemuda memang berkaryanya harus seperti ini. Kritiknnya mungkin pas awal-awal temponya lambat (mungkin karena subjeknya manula kali ya) dan di awal juga kerasa membosankan, karena spot yang di-shoot itu-itu aja. Ending-nya juga menurutku kurang menohok, datar, nggak surprise, kayak orang di-PHP-in.
Last, manusia itu ibaratnya juga bagai perabot-perabot usia yang lambat laun ia akan ada pada titik menjadi "tua". Manusia kadang butuh direparasi untuk membuatnya sehat kembali. Mungkin begitu. Tentang cinta, tema yang digali tak ada habisnya. Mungkin ember jika diakatakan jatuh cinta tidak mengenal usia, bagiku cinta adalah bahasa kesunyian antara kakek dan nenek.
Kamis, 21 Mei 2015
Presentasi
Ini puisi yang saya bacakan tadi (21/5) setelah presentasi tentang resonansi siklotron.
Terima kasih telah mau mendengarkan... Pak Wahyu, Fisika 2013 UIN Suka... tentang sebuah apa yang kita sama-sama sebut "attitude".
Presentasi
: Wahyu Aji Eko Prabowo
Power point menatap aku, kamu, kita yang hampa
Kipas menari, aku bicara, kalian mendengar
Masukkah? Pahamkah? Mengertikah?
Setelah pulang apa yang kau dapatkan?
Aku seperti berada dalam pelat tabung dioda
Yang menyerap efek-efek klasik masa lalu
Berarus laksana prinsip kerja LED
Enyah kau Schrodinger, pergi kau Fermi-Dirac
Setelah itu masuk lagi
Aku ingin bebas laksana elektron bebas
Mengubah ambang laratmu menjadi energi
Lewat transuder yang berisi ribuan potensial
Mengalirkan cahaya ke otakmu, ke hatimu
Selasa, 19 Mei 2015
Terima kasih telah mau mendengarkan... Pak Wahyu, Fisika 2013 UIN Suka... tentang sebuah apa yang kita sama-sama sebut "attitude".
Presentasi
: Wahyu Aji Eko Prabowo
Power point menatap aku, kamu, kita yang hampa
Kipas menari, aku bicara, kalian mendengar
Masukkah? Pahamkah? Mengertikah?
Setelah pulang apa yang kau dapatkan?
Aku seperti berada dalam pelat tabung dioda
Yang menyerap efek-efek klasik masa lalu
Berarus laksana prinsip kerja LED
Enyah kau Schrodinger, pergi kau Fermi-Dirac
Setelah itu masuk lagi
Aku ingin bebas laksana elektron bebas
Mengubah ambang laratmu menjadi energi
Lewat transuder yang berisi ribuan potensial
Mengalirkan cahaya ke otakmu, ke hatimu
Selasa, 19 Mei 2015
Rabu, 20 Mei 2015
Nama
Saya tidak sengaja buka-buka buku wisuda. Sebenarnya pengen lihat profil-profilnya aja sih, siapa tahu ada nama yang bagus untuk dijadikan tokoh cerita--kalau jadi. Setelah saya lihat dari sekian ratus nama yang ada, nama yang memenauhi ekspektasi saya nggak ada lima, kayak "Lukis", "Taman", "Thowaf"... Nama yang unik... (Mungkin suatu hari bisa diciptakan tokoh bernama "Parkir", "Teater", "Khotbah", tapi jangan "WC").
Saya Tersadarkan satu hal: ini realita nama Indonesia yang beragam dan mayoritas sudah didengar. Kamu gunakan saja nama-nama yang sudah biasa itu. Itu lebih realistis ketimbang ngarang nama yang sok dikeren-kerenkan tapi nggak dekat dengan orang-orang--pembaca. Seperti tanah jauh dari langit. Atau mungkin saya harus baca buku wisuda universitas lain, daerah lain?
Saya Tersadarkan satu hal: ini realita nama Indonesia yang beragam dan mayoritas sudah didengar. Kamu gunakan saja nama-nama yang sudah biasa itu. Itu lebih realistis ketimbang ngarang nama yang sok dikeren-kerenkan tapi nggak dekat dengan orang-orang--pembaca. Seperti tanah jauh dari langit. Atau mungkin saya harus baca buku wisuda universitas lain, daerah lain?
Senin, 18 Mei 2015
Tuhan Berkarya
1/
Kata Hawking:
2/
Jangan terlalu percaya pada image. Ada dongeng yang menarik, begini: Ada sesosok mayat yang ditendang orang-orang di jalanan. Warga tak mau mengurusnya.Seorang Sultan besar yang menyamar layaknya orang biasa bertanya pada warga kenapa mayat itu tak diurus. Lalu mereka menjawab karena dulunya pas hidup orang itu sering mengunjungi tempat pelacuran dan pergi ke tempat mabuk.Si Sultan lalu menyolatkan mayat itu, warga tidak tahu bahwa sebenarnya mayat tersebut ketika ada di tempat pelacuran ia memberi uang ke pelacur agar si pelacur sadar dan bisa mengubah pekerjaannya. Ia datang ke tempat mabuk-mabukan untuk menyadarkan para pemabuk. Orang itu berbuat baik tapi warga menilainya negatif. Kita sering berpikir seperti kebanyakan orang-orang itu. Berpikirlah layaknya Sultan. Memahami mungkin itu kuncinya.
3/
Juga tentang pengetahuan. Kata Hawking lagi: the greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge. (Hati-hati dengan ilusi pengetahuan)
Kata Hawking:
"Work gives you meaning and purpose, and life is empty without it"Pagi ini saya diajari satu hal penting. Sama seperti filsafat manusia Marx, bahwa inti dari manusia adalah kerja. Dari sana ia bisa hidup, menemukan arti hiudp, dan tujuan. Bekerja, berkarya. Disadarkan juga bahwa salah satu konsep terpenting dari Tuhan adalah Tuhan Berkarya. Bersufi adalah bagaimana kita berkarya.
2/
Jangan terlalu percaya pada image. Ada dongeng yang menarik, begini: Ada sesosok mayat yang ditendang orang-orang di jalanan. Warga tak mau mengurusnya.Seorang Sultan besar yang menyamar layaknya orang biasa bertanya pada warga kenapa mayat itu tak diurus. Lalu mereka menjawab karena dulunya pas hidup orang itu sering mengunjungi tempat pelacuran dan pergi ke tempat mabuk.Si Sultan lalu menyolatkan mayat itu, warga tidak tahu bahwa sebenarnya mayat tersebut ketika ada di tempat pelacuran ia memberi uang ke pelacur agar si pelacur sadar dan bisa mengubah pekerjaannya. Ia datang ke tempat mabuk-mabukan untuk menyadarkan para pemabuk. Orang itu berbuat baik tapi warga menilainya negatif. Kita sering berpikir seperti kebanyakan orang-orang itu. Berpikirlah layaknya Sultan. Memahami mungkin itu kuncinya.
3/
Juga tentang pengetahuan. Kata Hawking lagi: the greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge. (Hati-hati dengan ilusi pengetahuan)
Kamis, 07 Mei 2015
Lirik Lagu Cinta - Sisir Tanah
cinta yang baik
menghadapi kemenangan dan kekalahan sekokoh batu
meredam musim, melampaui batas ruang, batas waktu
cinta yang baik
mampu bertahan dalam kehilangan dan perubahan
memahami dan menghormati perbedaan-perbedaan
memahami dan menghormati perbedaan-perbedaan
cinta yang baik
menjadi orang baik
dalam segala suka duka
merengkuh beragam perasaan yang berada di luar cinta
dalam segala suka duka
merengkuh beragam perasaan yang berada di luar cinta
cinta yang baik
bergelimang rasa syukur, sederhana, dan sabar
meraih dukungan banyak pihak
karena harum cinta itu menyebar
harum cinta pasti menyebar
cinta yang baik
menumbuhkan pepohonan menyembuhkan luka
merawat tanah, air, udara menjaga kita indah
sebagai manusia
merawat tanah, air, udara menjaga kita indah
sebagai manusia
merawat damai menjaga hidup indah
(SISIR TANAH)
Rabu, 06 Mei 2015
Baru
1.
Yang kita lakukan hanyalah pengulangan.
Pengulangan membosankan.
Pengulangan yang terus dinikmati.
2.
Aku seolah berdiri di atas idealisme orang lain.
3.
Aku sangat membenci ini setelah aku tak paham apa-apa.
Aku mencari titik tulenku.
Berpikir bahwa memang "aku tak paham apa-apa"
Yang kita lakukan hanyalah pengulangan.
Pengulangan membosankan.
Pengulangan yang terus dinikmati.
2.
Aku seolah berdiri di atas idealisme orang lain.
3.
Aku sangat membenci ini setelah aku tak paham apa-apa.
Aku mencari titik tulenku.
Berpikir bahwa memang "aku tak paham apa-apa"
Minggu, 03 Mei 2015
Lagi
aku janji
jika kamu datang
aku akan menatapmu sampai depan pintu
sambil kuucapkan rindu yang tak terjelaskan
lewat likat gerimis di luar
yang akut merembes ke pori-pori hati
merinai di ruang tunggu
semakin biut
tapi kamu tak datang-datang
dan aku gelisah
aku semakin menyerah
ya sudah, aku pulang ya
besok aku datang lagi
Jogja, 2-3 Mei 2015
jika kamu datang
aku akan menatapmu sampai depan pintu
sambil kuucapkan rindu yang tak terjelaskan
lewat likat gerimis di luar
yang akut merembes ke pori-pori hati
merinai di ruang tunggu
semakin biut
tapi kamu tak datang-datang
dan aku gelisah
aku semakin menyerah
ya sudah, aku pulang ya
besok aku datang lagi
Jogja, 2-3 Mei 2015
Sabtu, 02 Mei 2015
Malam Sastra V LPM Arena: Sastra dan Realitas (Buruh - Pendidikan)
Penulis tidak akan tinggal di menara emas, ia akan melebur dengan realitas yang brutal. Budi Darma mengatakan bahwa pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Ia butuh pengendapan panjang. Sastra yang hanya menyalin, ia tak bertahan lama. Sastra jenis ini lahir secara menggebu-gebu kemudian tenggelam dan dilupakan.
Melalui
diskursus anggota ARENA pada Minggu,
26 April 2015 mengenai sastra dan realitas, didiskusikan bahwa sastra adalah
cerminan dari realitas itu sendiri. Menurut idealisme Marx sendiri realitaslah
yang membentuk kesadaran, dalam artian keadaanlah yang membuat sadar. Bedanya,
realitas dalam sastra menggunakan rasa. Ia tak sekedar foto kopi, tak hanya
kesadaran utopia.
Realitas merupakan
dasar dari bentuk ekspresi sastra. Di sana ada imajinasi, agar dalam
perenungannya digunakanlah simbol-simbol. Realitas juga hanya sekali terjadi.
Ada proses rekontruksi, tak bisa disamakan yang sesungguhnya dan dengan yang
sastrawan gambarkan. Misalkan anologi bagaimana seorang koki membuat sup. Bahan
dasar membuat sup jika diibaratkan adalah realitas, koki butuh kemapuan yang
mumpuni untuk membuat bahan dasar itu menjadi enak dimasak. Jika bahan dasar
membuat sup dimasukkan secara membabi buat ke panci semua, ia akan chaos pun dalam bersastra.
Realitas sendiri
begitu luas. Karena pelaksanaan malam sastra V ini jatuh pada bulan Mei dan di
bulan ini ada dua hari besar: Pertama, Hari Buruh Internasional 1 Mei. Kedua,
Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Realitas kita batasi temanya mengenai buruh dan
pendidikan.
Berbicara buruh seperti
yang telah ARENA diskusikan bersama pada
Selasa, 28 April 2015 bersama Sabiq Ghidafian Hafidz. Waktu itu ada
pendeskripsian: apa sih yang disebut buruh? Apakah petani Indonesia yang
mempunyai alat produksi sendiri bisa disebut buruh? Melihat ini tentu berbeda
realitasnya. Jika petani konfliknya lebih banyak ke lahan, sedangkan buruh
lebih kepada hak dia dan majikan.
Ditarik ke
realitas yang lebih panjang yakni tentang sejarah mayday sendiri. Bermula pada 1 Mei 1886 di Amerika sekitar 400 ribu
buruh melakukan demo besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi
delapan jam. Demo ini berlangsung selama empat hari dan banyak korban yang
dijadikan martir. Dari situasi itu kita tarik ke Indonesia, bagaimana
kontekstualisasinya?
Kita digiring
membaca itu lewat kacamata ‘basis’ dan ‘struktur’ Marx. Basis buruh menekankan
pada produksinya ia terdiri dari modal (kapital) dan pekerja (proletar). Dua
basis ini menghasilkan produk (sebagai alat) yang memilki nilai yang sifatnya
fungsional, simbolik, dan imajiner. Dari basis menuju ke suprastruktur, di sana
lahir hukum, pendidikan, seni, dan lain-lainnya. Dari sana bisa dilihat
kepemerintahan suatu negara lewat hasil produksinya.
Penindasan real
yang terjadi pada buruh Indonesia bisa kita lihat salah satunya lewat film The New Rules of The World. Malam itu ARENA nonton bareng-bareng pakai satu komputer,
tiga leptop dengan lampu dimatikan
(semoga kenangan ini terus teringat). Di film itu kita melihat bagaimana
mirisnya kehidupan buruh. Di film itu juga disinggung tentang jurnalis dan
beritanya.
Tema spesifik
berikutnya adalah tentang pendidikan. Tema laten yang mungkin akan terus
didialektikakan hingga pohon masih terus berakar. Pendidikan telah ARENA diskusikan secara seru pada Rabu,
29 April 2015 di sekret kita tercinta bersama Januardi Husain (Juju).
Pembacaan
tentang pendidikan dimulai dari pembacaan terhadap kondisi pendidikan di
Indonesia. Kita sekarang mengupasnya melalui kacamata Althusserian. Lewat ideology state apparatus (ISA)
pendidikan berada di aparatus yang sifatnya ideologi. Produk lulusan pendidikan
Indonesia saat itu dibahas ia melanggengkan tirani dan melanjutkan sistem yang
telah ada. Menurut Althusser, kita dididik untuk reproduksi kondisi produksi.
Paulo Freire
juga merumuskan tentang epistemologi mengajar. Masalah besar pendidikan menurut
Freire adalah pendidikan gaya bank. Di mana peserta didik tak berangkat dari realitas nyatanya. Guru dalam sistem
ini menjadi sosok yang superior, materi semuanya dari guru. Pendidikan ideal,
ia berbasis masalah. Siswa harus memodelkan sendiri pendidikannya.
Tak usah
jauh-jauh, kita tarik saja ke kurikulum yang dipelajari di ARENA. Samakah
dengan pendidikan model bank? Bagaimana teman-teman magang disodori materi yang
ke-ARENA-an dan bisakah teman-teman magang (atau pengurus bahkan) membentuk
pola pikir mereka sendiri? Ini tentu menjadi renungan bersama.
Hal yang sulit
adalah melawan kewajaran. Sebagaimana yang dicontohkan Opik pada diskusi itu:
adakah orang yang bercita-cita menjadi bodoh dan ia dengan penuh usaha
mewujudkan cita-citanya itu? Tanpa disadari kita pun terjebak ideologi yang
sifatnya interpelatif dan mematerikan idea. Ya, pada akhirnya, Akarnya adalah
tahu akan posisi kita dengan begitu kita bisa membaca yang di luar.
Malam sastra ini
sebenarnya sebagai salah satu wujud bentuk kesadaran kritis menjawab pertanyaan
Faksi yang berat: apakah malam sastra ini hanya sekedar wacana yang cuma dipresentasikan.
Beramai-ramai hanya dalam pikiran setelah itu selesai? Ya, seperti yang dikatakan
Jamal: “Bersastra adalah berkarya.
Berkarya adalah bekerja!”
Konsep
Buat party dekat kali, juga upaya merayakan bangunan yang mati agar dia
hidup lagi. Kita melakukan pembacaan terhadap realitas buruh dan pendidikan
saat ini, dari sana kita merenungkan secara dalam, kita analisis dengan
teori-teori sosial yang kita terima. Dari perenungan itu bisa dihasilkan karya
untuk dipresentasikan. Bentuknya bisa puisi, dongeng, stand up comedy, monolog, drama, musik, tari, dan lain-lain. Kalau
mentok tidak bisa membuat karya ciptaan sendiri, bisa mengambil dari referensi
lain semisal buku/internet dengan dibacakan dengan jelas penciptanya.
Tempat
Laboratorium Biologi (utara Student Center, pinggir Kali Gajah Wong)
UIN Sunan Kalijaga.
Waktu
Minggu, 3 Mei 2015. Pukul 7 pm
s.d. game over.
MC
Olie
Rundown & Pengisi
13.00 Bersih-bersih, dekor
tempat, siap-siap.
19.00 Pembukaan
19.15 Pembacaan Al Quran (Faksi)
19.30 Sambutan (Jamal)
19.45 Arena 2014 Choir (Ida dkk)
20.00 Drama I (Kurnia, Agus,
Rouf, Ifa, Kartika)
20.10 Pantun I (Dewi, Laila,
Fatih)
20.20 Dongeng I (Zidni, Lisa)
20.30 Monolog (Lugas)
20.15 Puisi I (Ilmi, Rohim)
20.30 Musik Dangdutan (Anis)
20.45 Tari (Agus dkk—Uniq dkk)
21.00 Dongeng II (Isma, Rifki)
21.30 Puisi II (Masodi, Najib,
Kimbo)
21.45 Pantun Berbalas (Iim, Fai,
Nisa)
22.00 Stand up comedy (Muja, Agus)
22.15 Drama II (Amri, Ekmil,
Muti)
22.30 Musik II (Sabiq, Juju, Bayu,
Rimba)
(IS PSDM)