Selasa, 05 Mei 2020

Tinder dan Bagaimana Caraku Mengartikan Kepulangan

Untuk I (a.k.a) D,

"Aku fikir lebih baik kamu pulang dulu, rencanain lebih matang baru balik lagi. Jika ingin balik ke Jakarta," katamu sekitar setahun yang lalu, dan entah kenapa aku ingin merefleksikan ulang kalimat ini lagi. Lebih tepatnya menangisi kesempatan-kesempatan berharga yang hilang, umur yang semakin tua, dan lingkaran yang semakin kecil.

Aku bertemu denganmu di sebuah aplikasi perjodohan, Tinder. Kamu satu-satunya orang yang paling mendekati kriteriaku untuk kujadikan kawan. Setelah berhari-hari lamanya reject ke kiri ratusan kali. Maaf, aku sangat-sangat selektif memilih orang. Aku tak mau berpura-pura. Aplikasi itu kuinstal hanya untuk motif keisengan, dan sedikit harapan yang maklum meski sangat bias: mendapat pasangan (meski ini aku tak berani berharap banyak). Jujur aku tak mencari laki-laki ganteng, pintar, kaya, dll, aku hanya mencari laki-laki yang berbeda. Setelah liku-liku pencarian itu, aku bertemu denganmu. Kamu satu-satunya yang paling berkesan di aplikasi itu, yang membuatku merasa tak menyesal memasang Tinder.

Foto-foto yang kau pasang di akun menarik, biodatamu juga. Hanya dengan sekilas mata aku langsung merasa klik. Entah kenapa aku seperti punya semacam intuisi pada setiap orang yang kutemui: apakah dia cocok denganku atau tidak. Jika aku merasa tak cocok, aku tak akan bisa bicara banyak dengan orang itu. Sesederhana itu. Sekali lagi, aku tak bisa berpura-pura, basa-basi, dan bersikap munafik sama orang. Dan sejauh ini orang yang bisa berbicara banyak denganku hanya sedikit, kamu salah satunya. Aku tahu banyak orang yang mengenalku tak suka dengan sikap diamku yang mungkin sombong, tapi itu natural yang susah diubah.

Suatu malam kau memberiku salam "hey", dan obrolan kita bergulir di tengah perantauanku tahun lalu yang sama sekali tak jelasnya: tak jelas ekonomi, tak jelas hidup, tak jelas masa depan, tak jelas masih bisa makan atau tidak, tak jelas pekerjaan, tak jelas pikiran, tak jelas perasaan, dan serba ketakjelasan lainnya.

Obrolan kita sering terjadi tengah malam sekitar jam 1-5 pagi dini hari saat orang tengah pulas-pulasnya. Apakah kau sering bergadang sama sepertiku? Di chat itulah kita saling mengenal, dan entah kenapa aku merasa sangat senang karena dapat teman curhat. Ya, aku banyak cerita tentang nasib perantauanku bahkan sampai hubunganku dengan orangtua.

Kita cerita asal usul, cerita seni, cerita film, cerita bitcoin, cerita cryptocurency, cerita Banksy, cerita Raden Saleh, cerita Jeihan, cerita Foucault, cerita Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho, cerita film Submarine, cerita kolektif-kolektifan, cerita kelas pekerja, cerita kehidupan urban, cerita Bogor, cerita Blora, cerita Depok, cerita Instagram, cerita media, cerita jurnalistik, cerita orangtua, cerita kota dengan post-trauma, dan cerita-cerita sentimentil nan emosionil lainnya.

"Tapi kenekatan kamu menarik untuk menggugat sentralisasi dan itu cerita klasik dari zaman dulu," katamu, dari kalimatmu ini aku sadar jika kau menganggapku sebagai perempuan yang nekat. Dan kalimat-kalimatmu kembali membuatku trenyuh saking terasa kasihnya:

--"Eh kamu klo butuh apa2 jangan sungkan yaah. aku juga kan orang daerah yg menantang ibukota walau daerahnya cuman 1 jam perjalanan hehhhe."
--"Ihh mbak aku orangnya agak lebay sih. Aku ngebayangin mbak sendiri di kota jakarta dari daerah, g nongkrong, g punya saudara agak serem2 gituu hehhe."

Kau mungkin sadar, kenekatanku datang ke kota itu adalah sebagai usaha memperjuangkan apa yang kusebut cita-cita. Ngomongin cita-cita, aku jadi ingin refleksi terkait pekerjaanmu sebagai film maker dan fotografer. Kau begitu menyukai dan menikmati pekerjaan itu, aku dapat melihat kebanggaanmu itu lewat feed Instagrammu, akun Youtube-mu, dan karya-karya serta caption-caption yang kau tulis di sana. Apa yang menjadi tema konsentrasimu ternyata menjadi tema konsentrasiku juga, terlebih soal kelas pekerja dan kehidupan urban. Mata fotografimu bagus, caption-mu banyak yang puitis, dan hidup yang kamu jalani serupa imajinasi hidup yang aku inginkan. Kamu supel, fleksibel, nyentrik, dan itu menarik.
Terima kasih I, foto ini aku snipping dari foto koleksimu.
Lalu kembali kumerenung akan cita-citaku. Cita-cita yang kini layu dan tak seheroik dulu. Entah apa dan siapa yang pelan-pelan menggembosinya. Aku sedih, jujur sedih banget, pengen nangis.

Aku: "Jadi kayak kehilangan arah gitu rasanya."
Kamu: "Kan jadi punya cerita hehhe."
Aku: "Cerita kesedihan."
Kamu: "Yaaa gpp. G semua orang punya cerita."
Aku: "Emang ada ya orang gak punya cerita?"

Kamu jawab ada, mereka yang hidupnya lempeng-lempeng aja. Kesedihan juga bagian dari perasaan yang bikin kita jadi lebih manusia. Masalahnya bagaimana mengkonversi rasa itu. "Kamu kan deket sama kesenian, seniman kan paling jago tuh soal mengkonversi rasa, hehhe," lanjutmu. Kuingat chat terakhir kita berdua di Tinder hanya sampai ucapan Idul Adha dan langit kota baruku yang lebih biru daripada langit Jakarta. Akun Tinder kunon-aktifkan permanen.

Sambil diiringi soundtrack Kidung Wahyu Kolosebo suatu hari di postingan Instagrammu. Yang terbaik semoga selalu menyertaimu. Terima kasih pernah mengisi ruang hidupku. Suatu hari mungkin aku akan menggeluti dunia urban lagi, suatu waktu mungkin saja aku dan kamu bisa bertemu untuk sekadar menyapa, "hey."

Dan perlahan kamu seperti berbisik, "Coba ajj ma. Kamu harus ambil keputusan secepatnya. Tapi klo menurutku sih, pulang ke rumah lebih baik. Ngadem dulu sebentar. Baru gaass lagii." Dan pulang yang kamu maksud mungkin adalah pulang ke dalam diriku sendiri.

Tengah malam, 02.42 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar