Rabu, 26 Oktober 2016

Ruang Gelap

Usaha untuk lepas dari normatifitas rasanya hanya membuang-buang energi. Ceramah perubahan menyuruh dari negatif ke positif, dari jahat ke baik, dari bajingan menuju sholeh rasanya akan mengabadi diserukan. Bahkan oleh lagu-lagu folk, sastra-sastra kiri, sampai filsafat kritis sekalipun. Semua harus dimaknai secara linier pada arah kemajuan, pada sesuatu yang menggugah, meskipun itu kritik. Semua orang dasarnya hanya memburu terang dan tenang, tak peduli dia ateis, agamis, anarkis, sosialis, komunis, atau kapitalis. Dimana-mana orang-orang memburu guna dan manfaat, kembalinya pasti ke kepentingan dirinya lagi. Hal haram adalah semua hal yang tak berguna, hal yang tak menunjang kepentingan. Di luar misi kepentingan adalah jalang. Pantas dikebiri, dipermalukan, diserapah, ditakut-takuti, dikutuk, diinjak-injak, dan di satu sisi juga mensucikan yang lain. Tai yang sok suci atau aku yang sok antipati yang kehabisan pil penggugah.

Aku tengah bermimpi berada di ruang yang bebas dengan nilai. Ruang yang bukan serupa manusia. Aku mencari ruang baru itu. Dan, tak ada yang bisa kutemui di sana, kecuali aku tak tahu apa-apa. Aku lari… lagi-lagi aku terjebak pada terang. Pada ruh yang dicari orang-orang. Di sana aku pasti dikucilkan. Mereka tak menerima gelap yang sepertiku. Aku ingin memberontak, lari, lari, lari…

Hai terang. Benar kataku, anomali hanya quote-quote bullshit. Usaha untuk lepas dari normatifitas hanyalah kesia-siaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar