Selasa, 27 September 2016

Cerita Tentang Tigapagi

Orang lain mengingat orang lain di luar mereka sesuka mereka. Pun ketika saya mengingat Tigapagi, saya tidak ingin demikian. Perkenalan pertama saya dengan grup alternatif asal Bandung ini pada suatu hari (9/2) di sebuah rumah baca di Solo. Saat itu malam, saya dan  kawan saya yang sangat baik hati itu tengah beristirahat seusai kehujanan sejak siang. Kami berdua sepedahan mengelilingi beberapa tempat di Solo, malam itu juga gerimis, kawan saya bercerita dan mengenalkan saya dengan lagu Tigapagi, dia menyetel playlist Tigapagi dari netbook-nya. Mendengarnya pertama saya langsung tertarik. Ada campuran nuansa musik etnik-etnik Sunda.

Saat kembali ke Jogja, saya download album Roekmana’s Repertoire Tigapagi dari You Tube. Saya dengarkan di kos. Usai mendengarkan, jiwa liar saya yang sesekali (juga) misantropi ini bertanya: “Siapa Tigapagi? Enak sekali dia memusingkanku dengan lagunya? Memang dia siapa?” Jujur, saya yang selalu menolak ide-ide kerumunan lebih menyukai musik-musik indie dengan lirik-lirik berat daripada musik berlirik sekali lupa—yang isinya cuma mengajak orang galau, baper, egois, individualis. Musik yang merusak kesehatan jiwa, kerajaan semut yang hidup di bawah tanah pun pasti akan terbahak-bahak menertawakan lagu-lagu manusia yang seperti itu.

Minggu, 25 September 2016: Malam itu gerimis jatuh satu-satu di pelataran Jogja, hari ini iklim tengah ababil. Semoga musim tak ikut-ikutan. Pohon-pohon di Jogja banyak yang ditebang, diganti dengan hotel dan mall-mall. Malam itu saya asyik mencatat di kos, tak ingin kemana-mana. Namun, kalender di dinding yang angkanya sudah saya lingkari mengingatkan saya dengan tulisan: Tigapagi @ PKKH UGM. Pun di papan tulis kecil saya tertulis intinya: bisa main gitar kayak Tigapagi DL 12 Agustus 2016! Dan sampai sekarang saya belum bisa main gitar. 

Jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, saya hampir sesak nafas, sebenarnya saya ingin tidak nonton. Kiriman saya menipis, sedang pengeluaran tak terduga saya akhir-akhir ini membengkak. Beratnya menjadi mahasiswa miskin, tiket 40 ribu bisa untuk makan sampai empat  hari. Ini tanggal tua, kalau uang habis saya makan apa? 

Dan lirik: “…berharap pada tangan hampa dan kaki telanjang. Mungkin hancur ragaku, namun tanpa buta hati.” Seperti memberi keyakinan pada saya. Yah, mungkin besok saya akan lapar, tapi setidaknya saya bisa melihat apa yang menjadi impian saya sejak lama: menonton konser Tigapagi! Saya putus keraguan saya, ambil sepeda di parkiran kos dan ngontel ke PKKH UGM gerimis-gerimis sendirian. 

Malam itu di sebuah jalan juga saya lihat ada bendera lelayu, ada orang yang meninggal. Saya ingat lagu Tigapagi feat ERK yang Pasir. Saya pernah di kos ngunci pintu, terus menyanyikan lagu ini sambil menghayatinya dalam sekali. Saya memutarnya berkali-kali, dengan lebay saya mengatakan saya berderai-derai… 

Pasir, lelah mengukir. Terukir tersingkir. Pasir… tak terukur… 

Mendengar lagu ini saya seolah bisa mengimajinasikan apa itu samsara. Ketika saya merasa kosong dan rasanya begitu nikmat. Gie yang pernah menulis: “kita tak pernah menanam apa-apa, kita tak kehilangan apa-apa” memang benar. Mungkin pesan ini juga yang coba dibangun dalam lagu Tangan Hampa Kaki Telanjang (THKT). Saya sering membayangkan manusia itu lebih kecil dari pasir, lebih kecil dari debu. Manusia tidak ada apa-apanya tapi kemakinya luar biasa. Juga seperti pasir, tak bisa dihitung banyaknya.. Perlahan tersungkur, tersingkir..

Sampai di PKKH, saya lalu membeli tiket OTS. Masuk dikasi tiket dan dicap tangan. Banyak band yang tampil, ada yang tidak asing lainnya seperti Kelompok Penerbang Roket dari Jakarta. Grup lain yang tampil ada ZZUF, Talking Coasty, dan Sirati Dharma. Tajuk acara ini Stomp Out Fest UGM, entah itu agenda apa saya tidak tahu. Panggung yang dihadirkan panitia pun serasa hitam putih, tak ada semiotika apapun yang bisa saya baca di sana. Identitas yang mengadakan acara tak sampai di saya. Hiasannya cuma background hitam, itu saja, sudah. Dalam hati mbatin: cuma sampai sanakah jangkauan seninya? Entah, atau kosepnya memang begitu.

Di sana yang nonton sudah berkumpul banyak. Gedung itu panggungnya ada tiga level. Level pertama panggung utama, level kedua kosong, level ketiga buat penonton. Saya agak terganggu dengan penonton-penonton yang maju di level kedua yang panggungnya kecil dan menghalangi penonton yang kebanyakan di level ketiga. Saya lalu naik ke lantai dua PKKH. Akhirnya nonton di atas yang sepi, gelap, dan agak jauh.

Yang saya nanti-nanti hanya Tigapagi. Dan, kegembiraan yang tak sanggup saya tutupi, senang rasanya ketika pukul sekitar 21:50 mereka tampil. Akhirnya bisa lihat Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto, dan Prima Dian Febrianto di panggung secara langsung, juga lima personil tambahan lainya di biola,  violin, bass, flute, sampai kayaknya ada juga yang bawa kecapi Sunda. Sigit dengan rambutnya yang dikuncir setengah ke belakang, Eko yang main gitar sambil kaki kirinya ditaruh di atas lutut—sangat santai, juga Ewo dengan kacamatanya, pakaian mereka sama-sama hitam. Mereka konser sambil duduk, sangat elegan. Mata langsung segar. Apalagi saat dinyanyikan lagu pertama THKT. Mencoba merasakan. Saya yang hampir selalu dihantui akan makna dan kesan sering bertanya: bagaimana mengukur suatu “kedalaman”? Suatu yang dalam seni rasa disepakati sebagai sesuatu yang sublim?

Ini lagu-lagu yang Tigapagi nyanyikan:
  •    Tangan Hampa Kaki Telanjang (everlasting…)
  •    Batu Tua (lagu favorit saya, selalu merasa autentik kalau dengar lagu ini)
  •    Alang-Alang (rampas semuanya, rampas bedebah!) 
  •  Sembojan  (buat ibu-ibu yang berjuang mempertahankan tanah di Kulonprogo kata Sigit, #sweet)
  •  Tertidur (kosong)
  • The Way (“busy, busy, busy, we’re just too busy”)
Aa Sigit bilang ini konser pertama mereka di Jogja. Yah, selamat datang di Jogja kakak-kakak! Namun konser mereka kali ini saya rasakan begitu sebentar. Belum puas saya menonton. Saya belum mendegarkan lagu-lagu favorit saya yang lain dinyanyikan: Erika, S(M)UNDA, Yes We Were Lost In Our Home Town, dan saudara-saudaranya.

Sekarang ini, masa yang isinya hanya pengagungan diri tanpa ada fungsi dan kontribusi apa-apa untuk dunia, Tigapagi seperti oasis tersendiri. Ada satu garis yang sama setiap kali saya melihat penyanyi-penyanyi favorit saya berada di depan panggung: menunduk dalam, semakin dalam, dan semakin dalam. Mata konsentrasi penuh. Entah darimana koreo itu tercipta.

Terakhir, saya ingin menyampaikan kegelisahan seorang kawan saya mengenai lagu-lagu folk indie alternatif sekarang, kalau diperhatikan beberapa kelompok karyanya banyak yang sama. Entah “kesamaan” dari segi lirik sampai nada. Semoga, Tigapagi tak pernah sama. Elemen musik sekecil apapun sampai kata arbiter sekata apapun akan memberi sentuhan berbeda. Terus berkarya ya! Tetap menjadi jingga meski lelah kau mencoba

6 komentar:

  1. shitt....aku belum pernah nonton konser tigapagi e...hmmm, membuatku iri...
    terus menulis is, meski lelah kau berpikir... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ini memang membuat iri. Haha. Ntarlah kapan-kapan nonton bareng, nuggu Tigapagi buat komposisi yang bisa untuk jingkrak-jingkrak..

      Hapus
  2. Tulisannya bagus banget, mari ke bandung kebetulan domisili saya dekat dengan kang sigit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap. Kapan-kapan kalau ada budget dan kawan, hehe :D

      Hapus