Sabtu, 27 Februari 2016

Kosku di Jalan Bimasakti

Kosku terletak di lantai dua di Jalan Bimasakti No. 7 Demangan. Saat kawan hendak memuju kosku, dua anjing lucu bernama Mio dan Moli akan menyapa dengan gonggongannya. Moli anjing laki-laki berbulu lebat warna putih perpaduan hitam, dia jago menggonggong. Mio anjing perempuan warna coklat mulus, dia sangat usil.

Mari masuk ke dalam…

Pintu kosku berwarna hijau. Di dekat pintu ada jendela kaca bertingkat-tingkat yang tak dapat dibuka. Selambu bepola garis warna hitam dan putih tergantung sekenanya dari tali rapia. Lantai kosku berdasar kayu dengan alas perlak warna coklat berpola bambu. Di atapnya duduk terbalik lampu Philips yang memberikanku penerangan kala gelap.

Ukuran kamarku sekitar 3.5 X 3.5 meter, lumayan besar untukku. Dindingnya berwarna putih. Di dinding sebelah barat, aku tempeli dengan tanggalan dari Bina Desa yang aku gosop dari Arena—karena Arena punya dua (jangan bilang-bilang ya). Di samping tanggalan ada stereofoam warna putih bertulis kalimat-kalimat semangat seperti: Keliling Dunia! Ya, semua tulisan di stereofam putih itu adalah manifestasi mimpiku. 

Di samping stereofoam putih ada stereofoam orange berisi foto-foto saat aku naik ke puncak Gunung Lawu sama Mas Juju, Mas Hari, dan Faksi. Foto kala aku baca puisi di sekitar nol km Jogja pas Hari Buruh. Foto ketika pentas teater pertama kali, juga foto dua seniorku di Arena: Mas Opik dan Mas Folly. Di stereofoam itu ada pula dua bunga mawar dari kertas klobot yang layu. Di samping bunga ada pesan dari seseorang yang aku tulis besar. Kalimat tentang kasih yang belum sampai: lebih baik cari rival Is, daripada cari pacar.

Di bawah tanggalan dan stereofoam ada potongan foto-foto berlatar Inggris. Juga gambar mimpi tentang rumah yang aku inginkan di masa depan. Lalu ada papan tulis kecil yang aku tempeli tak jauh juga dari foto teman-teman filsufku, foto dua macan tutul, dan tulisan dua kota, satu negara. Di depan papan tulis ada sebuah globe kecil hadiah ulang tahun yang berdiri di atas meja kecil yang tingginya tak lebih tinggi dari dengkulku. Meja ini kufungsikan sebagai meja belajar.

Di samping kiri meja belajar ada tas berpergian, di atas tas itu berdiri dengan cantik Melodi (gitar adikku yang kesepian, aku bodoh tak bisa memainkan, di sini aku kerap sedih, karena punya alat tapi gak bisa memanfaatkan itu sebodoh-bodohnya bodoh), lalu di samping tas berjejer dua kardus berisi buku-buku. Di sebelah kanan meja belajar tergelar kasur dengan tiga bantal, satu guling, dua selimut. Seprainya warna merah, hasil dari sarung yang kupotong. Di sini aku biasanya merebahkan tubuh lelahku. 

Di tembok sekitar kasur aku isi tembok-tembok dengan kertas-kertas berpesan dari Pramoedya, Soe Hok Gie, Soekarno, pesan dari diri sendiri, sampai slogan All Is Well dari Three Idiots. Juga terhias pula gambar-gambar dan foto-foto hasil kreativitas dari koran yang kugunting dan kutaruh di stereofoam yang besarnya meyesuaikan gambar. Ada gambar ilustrasi seorang perempuan memegang payung merah di bawah hujan, ada ilustrasi sebuah keluarga, sawah, cover Arena lama, pamphlet studi pentas pertama, sampai sertifikat menang lomba esai bahasa inggris dari fakultas. 

Di dinding sebelah timur, terpampang dengan nyentriknya poster Einstein yang sedang menjulurkan lidah. Dasar! Kadang aku sering mengajak dia ngobrol, bukan tentang fisika, tentang hidup. Sayang, aku belum begitu dekat dengannya. Aku kerap cuek. Di bawah Einstein ada puluhan buku hasil beli dari pameran buku murah, shoping, dan beberapa pinjaman. Belum kuselesaikan semua. Dekat dengan pintu ada tempat sampah, ember nyuci, gayung isi perlengkapan mandi, gantungan-gantungan. 

Dekat dengan jendela di sebelah utara, ada dua sepatu warna hitam, ada galon, ada kursi yang di atasnya ada magic jar, dan sebuah almari tua yang dari fisiknya menyembunyikan banyak cerita. Lemari itu mengingatkanku dengan rumah di Cepu, rumah ketika mbah nang dan mbah dok ada. Dulu mereka seperti pernah memiliki lemari itu. Tingginya seleherku. Satu pintu degan tiga ruang di dalamnya. Warnanya coklat tua.

Ini kosku yang kedua selama di Jogja. Kos pertama di rumah eyang di Jalan Kusbini No. 23 Demangan. Di sana sejuk karena banyak pohon. Bangunannnya bangunan tua, ala Holland gitu. Kadang aku kangen kos pertama, karena di sana suasana dan orang-orangnya lebih tenang dan lebih normal daripada di kos Bimasakti ini. Ciri khas tetap sama: dinding-dindingnya aku buat berisik. Ini sebagai balas dendam dari mimpiku sejak kecil yang bercita-cita ingin punya kamar sendiri tapi nggak kesampaian. Haha.

Ya. Beginilah kosku. Silahkan main.

4 komentar:

  1. siapkan hidangan dulu baru sy maen...hahahaha :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, siap!! Mau hidangan apa? :D

      Hm.. Kemarin saya nyari referensi lumayan banyak mas tentang nulis deskripsi. Saya coba-cobakan di tulisan ini.

      Deskripsi elemen penting buat nulis tulisan apapun.

      Hapus
  2. kopi dan cemilan cukup, yg penting kasih obrolan yg banyak, saya jadi pendengar yg baik nanti..haha

    saya malah awalnya gak tau kalo jenis tulisan saya itu deskripsi,,hehe, saya sekedar nulis dengan cara yg saya suka,mungkin benar kata mas dani, orang2 otodidak itu lebih detail sbenarnya, entahlah

    BalasHapus