Selasa, 03 Februari 2015

Medsos Ora Cetho (Analisis Terhadap Media Sosial)

Tulisan ini hasil ngobrol-ngobrol kemarin sama James, Maya, dan Anis di acara pura-pura ngeteh Arena...
Ya, kita sedikit mengobrolkan tentang media sosial dan para aktivisnya. Dimulai dari pernyataan James yang bilang kalau orang yang paling kebingungan itu adalah orang yang ketika dia ada dikerumunan, ia sibuk dengan HP-nya sendiri. Aslinya dia bingung mau ngapain. Lalu ditimpali sama Anis tentang sikap "autis" yang diakibatkan oleh medsos semacam FB/twitter/BBM, dll. James sedikit menyangkal tentang label autis itu sendiri dan dia menyarankan untuk baca tentang postmodern.
Ada pernyataan-pernyataan menarik yag dikatakan James terkait medsos, begini:
  • Orang yang terlalu aktif di medsos, mereka punya dua dunia. Dunia sekarang (yang mereka jalani) dan dunia bayang-bayang (dunia dimana mereka mereka-reka kata, berimajinasi sendiri, nanti saya akan posting atau nyetatus gimana ya?). Mereka melupakan dunianya sekarang. Ada istilahnya tapi lupa..
  • Orang sekarang dengan mudah membagikan pemikirannya, perasaannya, yaa.. dimana saja (terlebih medsos). Orang yang terlalu aktif di medsos itu jangan terlalu dipercayai, mereka orang yang ora cetho. Soalnya apa yang dibaca di status-status itu kebanyakan ngambang dan kebanyakan semuanya "asumsi".  Dan asumsi hanya berupa spekulasi, tidak berdasar fakta juga kadang. Pernyataan mereka tak mengakar.
  • Orang yang terlalu aktif di medsos mereka kebanyakan sok tahu. Ada semacam budaya "asal comot" dari statement orang, tulisan orang, pikiran/pandangan orang, juga soal berita-berita yang disajikan media massa (web, koran, TV). Parahnya itu gini: dengan sekali melihat judul berita, para medsos holic seolah-oleh bisa menebak isinya apa lalu meng-share-kannya. Mereka tidak membaca keseluruhan maksud dari isi berita. Kalau berita benar ga papa, tapi kalau berita yang ga jelas dan isu sensitif itu yang berbahaya.
Media sosial sebenarnya buat apa?
Lalu saya bertanya pada James, "Jems, bagaimana dengan status-status yang seperti "tidak dianggap"? Ada kan di medsos itu seolah tak dianggap?". Dia menjawab seperti ini: "Yang tidak dianggap menurut kamu itu bagaimana? Atau gini, aku pernah ada orang yang meneliti fesbukku bilang, aku ini kalau ada yang komen gak pernah aku bales dan itu dianggap sebagai 'sesuatu yang tidak dianggap', sampai ada lho yang marah-marah gara-gara komennya tak kubalas, Soalnya komentar mereka tak perlu jawaban, ya itu asumsi mereka, mereka berpendapat".

Saya: "Yang gini lho Jems, kita buat status, trus gak ada yang nge-like, nggak ada yang komen, itu gimana? Seolah itu nggak dianggap?" (Udah di dunia nyata gak dianggap, di dunia maya juga lagi, nelangsane cahh)
Maya: "Ya jangan gitu toh Ma" (Maya menepuk pundak saya)
James: "Oh, yaa, itu pengaruhnya juga pada kepopuleran. Setiap orang itu punya cara untuk bagaimana menghargai dirinya sendiri, termasuk me-like statusnya sendiri (sebagai cara menghargai dirinya sendiri). Tapi apakah setiap orang itu wajib menghargai dirinya sendiri?"
Maya: "Menurutku wajib, nge-like status sendiri itukan bentuk penghargaaan terhadap diri sendiri juga"
James: "Tapi apakah itu harus diperlihatkan?"
Saya, Maya, Anis: (ada yang ngomong tidak, ada yang geleng-geleng kepala)
James: "Tidak haruskan. Setiap orang itu punya cara bagaimana dia menghargai dirinya sendiri, lewat pakaian yang dia kenakan, lewat penolakannya tidak mengenakan baju seperti ini, seperti itu, dan lebih milih yang seperti ini. Termasuk dalam tindakan, misalkan di medsos itu aku gak mau SKSD (sok kenal, sok dekat) sama orang."

Berhenti beberapa saat...

Saya: "Tentang orang yang meneliti fesbukmu itu menarik mas, bisa diceritakan?"
James: "Iya, dia itu bilang aku kalau buat status gak pernah aku like sendiri, kalau ada orang komen jarang dibales....."
--
At least, tiap orang punya jadwal online-nya sendiri-sendiri. Oh, saya sering online jam segini, kamu jam segini, dia jam segitu. Atur itu dan gunakan secara bijak.

2 komentar: